Apakah Kita Lebih Sibuk Dari Umar?

Apakah kita lebih sibuk dari Umar bin Abd Aziz, sampai tak ada waktu membaca firmanNya?
Sungguh Umar bin Abd Aziz, jika ia sangat sibuk, maka ia tetap mengambil mushaf Al Qur’an, walau hanya beberapa ayat ia baca.
Adakah kesibukan kita mengungguli kesibukan Ustman bin Affan, dimana ia berkata : “Jika hati ini bersih, maka lisan ini tak mau berkesudahan mendengungkan kalamNya.”
Ibnu Taimiah berkata : Siapa yang tidak membaca Al Quran, maka ia telah meninggalkannya.
Satu hari tidak membaca Al Quran, maka sehari kita meninggalkannya.
Sebulan mata ini acuh akan firmanNya, maka sebulan juga kita meninggalkannya dalam lemari-lemari kita.
Maka saat itu AlQuran hanya menjadi hiasan di almari dan dinding kita
Ketahuilah bukan untuk itu al Quran diturunkan, ia adalah bacaan yang sempurna, bukan pajangan yang sempurna.
Janganlah sampai nama kita masuk daftar yang diadukan Nabi saw kepada Allah, karena cuek dengan Al Quran.
Al Quran itu untuk mereka yang hidup , kenapa baru engkau buka lembar lembarnya, saat ada diantara kita yang wafat ?
Al Quran itu bukan hanya menjadi alat pengusir Jin, kenapa engkau baru sibuk membacanya saat ada yang kerasukan ?
Kau jadikan Al Quran sebagai mahar akad sucimu, tetapi rumah tanggamu hening dari alunannya.
Sesungguhnya hati yang tidak terpaut dengan Al Quran ia akan berkarat.
Sesungguhnya mulut yang tidak terhiasi olehnya seperti rumah rusak
Sesungguhnya malaikat akan menjadi penduduk rumah kita, jika Al Quran menjadi sesuatu yang membasahi lisan penduduknya.
 
Sumber : Twit @kampungquran

Bolehkah Berdoa Memohon Kekayaan Seperti Nabi Sulaiman?

“Ya Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang-pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. Shad: 35)
Ayat di atas merupakan doa Nabi Sulaiman AS kepada Allah. Tentunya kita tahu bahwa Nabi Sulaiman adalah Nabi yang paling kaya di antara Nabi yang lainnya. Bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa kekayaan Nabi Sulaiman tidak pernah ada yang menandinginya hingga saat ini.
Kekayaan Nabi Sulaiman ini adalah jawaban dari doa-doa Nabi Sulaiman kepada Allah. Salah satu doanya adalah doa memohon kekayaan seperti yang tertera dalam al-Quran surat Shad ayat 35.
Lalu, bolehkan kita berdoa yang sama seperti halnya Nabi Sulaiman?
Adapaun makna dari doa Nabi Sulaiman sendiri adalah, “anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang-pun sesudahku,” di sana ada 2 pendapat ulama.
Pertama, beliau memohon kepada Allah agar tidak ada yang mampu menggulingkan kekuasaan beliau sampai beliau meninggal.
Kedua, beliau memohon kepada Allah agar beliau diberi kekuasaan yang tidak layak untuk dimiliki siapapun setelah beliau.
Al-Hafidz Ibnu Katsir lebih menguatkan pendapat kedua. Ibnu Katsir mengatakan, Yang benar, nabi Sulaiman memohon kepada Allah kerajaan yang tidak boleh dimiliki oleh manusia siapapun setelah beliau. (Tasir Ibnu Katsir, 7/70).
Karena itulah, siapapun manusia, dia tidak bisa memiliki kemampuan sebagaimana Sulaiman. Sehingga tidak ada manusia yang bisa menguasai jin atau binatang, kecuali atas mukjizat dari Allah, termasuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau tidak mau melangkahi doa Sulaiman ini.
Suatu ketika, pada saat mengimami shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan gerakan yang berbeda di luar kebiasaannya. Pagi harinya, Beliau menceritakan,
“Ada jin ifrit menampakkan diri kepadaku tadi malam, untuk mengganggu shalatku. Kemudian Allah memberikan kemampuan kepadaku untuk memegangnya. Aku ingin untuk mengikatnya di salah satu tiang masjid, sehingga pagi harinya kalian semua bisa melihatnya. Namun saya teringat doa saudaraku Sulaiman: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorangpun sesudahku.” Kemudian beliau melepaskan jin itu dalam keadaan terhina.” (HR. Bukhari 461 & Muslim 541).
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau mengikat jin itu di tiang masjid. Karena jika hal itu beliau lakukan, berarti beliau telah menguasai jin. Sementara kemampuan bisa menguasai jin, merupakan keistimewaan Sulaiman. Karena teringat doa Sulaiman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan jin itu.
Ada beberapa doa nabi yang itu bagian dari mukjizat beliau. Sehingga hanya berlaku untuk beliau dan bukan untuk ditiru. Karena manusia selain mereka, tidak mungkin memiliki mukjizat.
Seperti doanya Nabi Isa ‘alaihis shalatuwassalam yang beliau memohon kepada Allah agar diturunkan hidangan dari langit. Allah mengisahkan doa Nabi Isa as dalam Al Qur’an,
Isa bin Maryam berdoa, “Ya Allah, turunkan untuk kami hidangan dari langit, yang hari turunnya akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau…” (QS. al-Maidah: 114).
Termasuk juga doa Nabi Musa ‘alaihis shalatu was salam, yang beliau memohon kepada Allah agar bisa melihat-Nya. Allah ceritakan dalam al-Quran,
Musa berdoa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. al-A’raf: 143).
Atau doa Nabi Ibrahim, agar beliau diperlihatkan bagaimana cara Allah menghidupkan makhluk yang telah mati. Allah sebutkan doa ini dalam al-Quran,
“Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)…” (QS. al-Baqarah: 260).
Termasuk diantaranya adalah doa Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Karena doa ini bagian dari mukjizat beliau, maka tidak berlaku untuk yang lain. Sehingga orang lain tidak boleh menjadikannya sebagai doa, baik tujuannya untuk mendapatkan kekuasaan atau memperlancar rizki atau tujuan lainnya. Allahu a’lam.
 
Referensi: KonsultasiSyariah

Lelaki yang Bacaan Al Qur'an Terdengar di Syurga

Lelaki ini bernama Haritsah bin An Nu’man, dia adalah laki laki yang salamnya di jawab oleh malaikat Jibril ketika ia lewat di hadapan Nabi saw dan Jibril duduk disampingnya dalam rupa seorang laki laki .
Dia lah sahabat yang tilawah Al Qurannya terdengar di surga, karena ia begitu berbakti kepada orang tuanya .
Haritsah suka menyuapi ibunya dengan tangannya dan selalu melaksanakan perintah ibunya tanpa banyak tanya.
Ada dua orang dari sahabat nabi saw yang paling berbakti kepada ibunya , yaitu Usman bin Affan dan Haritsah bin Nu’man .
Ustman pernah berkata : Aku tidak kuasa memperhatikan wajah ibuku setelah aku masuk Islam .
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku pernah tidur, lalu aku bermimpi diriku berada di Surga, lalu aku mendengar suara seorang yang sedang membaca (al-Qur’an), lalu kutanyakan, ‘Siapa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah Haritsah bin an-Nu’man”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demikianlah ganjaran dari berbakti, demikianlah ganjaran dari berbakti”
Beliau adalah orang yang paling berbakti terhadap ibunya. [HR. Ahmad dengan sanad yang shahih]
Subhanallah begitu agung pahala berbakti kepada ibu, hingga Allah swt meletakkan surga dibawah kakinya .
Begitu besar hak ibu, sampai Nabi saw menyebut 3 kali namanya dalam hal berbakti, baru kemudian ayah .
Jangan harap sukses hidupmu. Jika tidak memuliakan ibu. Alangkah ruginya seseorang yang mendapatkan orang tuanya sampai tua, namun ia tidak berhasil masuk surga.
 
Oleh : Ustad Faisal Kunhi

Peristiwa Tanjakan Emen Jangan Dikaitkan Dengan Mistis

KITA tentu sudah pasti sudah tidak asing lagi dengan salah satu misteri ini? Misteri tanjakan emen. Misteri Tanjakan Emen ini dikabarkan karena adanya sosok ghaib dari Emen, salah seorang yang mengalami kecelakaan maut di tanjakan, tepatnya di kota Bandung. Sosok Emen akan mengganggu kendaraan yang melintasi jalan tersebut.
Terkait hal ini, wartawan islampos mewawancarai ustad Yusef Solehuddien, M. Ag., Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Purwakarta sekaligus pemimpin Yayasan Al-Manar Purwakarta, Jawa Barat.
Dalam kasus Tanjakan Emen, menurut ustad Yusef ada tafsiran yang bersifat mistis. Tafsiran yang cenderung ke arah khurafat, apalagi kalau adanya kepercayaan kuat akan timbul sebuah kemusyrikan.
“Masyarakat harusnya tidak memercayai atau melakukan sesuatu yang sifatnya percaya dengan adanya mistis di situ, misalnya dengan melempar roti, memencet klakson dan lain sebagainya.” terang sekjen MUI itu.
Ustad Yusef mengatakan, Sudah ada doa dalam perjalanan yaitu: “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, wa laa haula wa laa quwwata illa billah.”
Atau, “Alhamdulillah, subhaanal ladzii sakhkhara lanaa, haadza wa maa kunnaa lahu muqriniin, wa inna ila rabbinaa lamunqalibuun.”
Atau melafalkan kalimat Taawudz untuk mendapat perlindungan dari Allah SWT. /Ip

Mengapa Dajjal Tidak Disebutkan Dalam Al-Quran?

 
DALAM bahasa Arab, istilah dajjal lazim digunakan untuk menyebut “nabi palsu”. Namun, istilah ad-Dajjal, yang dimaksudkan di sini merujuk pada sosok “pembohong” yang muncul menjelang dunia berakhir atau kiamat.
Sosok itu juga disebut sebagai al-Masih ad-Dajjal; yang dimaksudkan di sini adalah “Al-Masih Palsu”. Menurut beberapa sumber, istilah ini berasal dari istilah Syria, yakni Meshiha Deghala yang telah menjadi kosakata umum di Timur Tengah selama lebih dari 400 tahun sebelum al-Qur’an diturunkan.
Dalam kamus Lisân al-‘Arab, dikemukakan bahwa Dajjal berasal dari kata dajala, artinya menutupi. Mengapa dikatakan menutupi?
Karena ia adalah pembohong yang akan menutupi segala kebenaran dengan kebohongan dan kepalsuannya. Dikatakan “menutupi” karena Dajjal kelak akan menutupi bumi dengan jumlah pengikutnya yang sangat banyak.
Ada juga yang berpendapat bahwa Dajjal kelak akan menutupi manusia dengan kekafiran atau ingkar terhadap kebenaran yang datangnya dari Allah Swt.
Menurut Al-Qur’an
Lalu, siapakah sesungguhnya Dajjal menurut rujukan utama dan pertama kita dalam menggali berbagai informasi, utamanya berkaitan dengan agama, yakni al-Qur’an al-Karim?
Sayangnya, kata Dajjal ini tidak disebut secara langsung di dalam al-Qur’an. Namun, sumber kedua kita, yakni hadits Nabi Muhammad Saw banyak menginformasikan tentang Dajjal ini.
Mengapa Dajjal tidak disebut secara langsung di dalam al-Qur’an? Pertanyaan ini perlu kita jawab terlebih dahulu sebelum menelusuri informasi tentang Dajjal dari hadits Nabi Saw.
Jawaban yang sesungguhnya, sudah barang tentu, hanya Allah Swt. Yang Maha Mengetahui. Namun, para ulama memberikan pendapat mengenai hal ini.
Penyebutan Dajjal di dalam al-Qur’an sudah termasuk dalam kandungan ayat sebagai berikut:
“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu sesungguhnya Kami pun menunggu (pula).” (QS al-An’âm [6]: 158).
Dalam surat al-An’âm ayat 158 di atas disebutkan “tanda-tanda atau ayat Tuhanmu”, yang dimaksudkan adalah tanda-tanda kiamat, dalam hal ini adalah munculnya Dajjal.
Sebab, disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Tiga hal apabila telah muncul (terjadi) maka tiada bermanfaat lagi sebuah keimanan bagi seorang yang belum beriman (sebelumnya): Dajjal, dâbbah, dan terbitnya matahari dari arah barat.”
Ada yang berpendapat bahwa tidak disebutkannya Dajjal secara langsung di dalam al-Qur’an adalah sebagai bentuk penghinaan kepada Dajjal yang di akhir zaman mengakui diri sebagai Tuhan.
Hal ini berbeda dengan disebutkannya Fir’aun di dalam al-Qur’an, meski dia telah mengakui diri sebagai Tuhan, karena Fir’aun telah habis atau selesai masanya sehingga hal ini dapat sebagai peringatan atau pelajaran bagi umat manusia setelahnya.
Namun, Dajjal akan hidup di akhir zaman dan akan menjadi ujian bagi umat manusia.
Demikianlah di antara jawaban dari para ulama tentang tidak disebutkannya Dajjal secara langsung di dalam al-Qur’an.
 
Sumber: Ammazet

Tengah Malam, Umar bin Khattab Melayani Rakyatnya

Tengah Malam, Umar bin Khattab Melayani Rakyatnya

Di suatu malam, Khalifah Umar mengajak seorang sahabat bernama Aslam untuk mengunjungi kampung terpencil di sekitar Madinah.
Langkah Khalifah Umar terhenti di dekat sebuah tenda lusuh. Suara tangis seorang gadis kecil mengusik perhatiannya. Khalifah Umar lantas mengajak Aslam mendekati tenda itu dan memastikan apakah penghuninya butuh bantuan.
Setelah mendekat, Khalifah Umar mendapati seorang wanita dewasa tengah duduk di depan perapian. Wanita itu terlihat mengaduk-aduk bejana.
Setelah mengucapkan salam, Khalifah Umar meminta izin untuk mendekat. Usai diperbolehkan oleh wanita itu, Khalifah Umar duduk mendekat dan mulai bertanya tentang apa yang terjadi.
“Siapa yang menangis di dalam itu?” tanya Khalifah Umar.
“Anakku,” jawab wanita itu dengan agak ketus.
“Kenapa anak-anakmu menangis? Apakah dia sakit?” tanya Khalifah selanjutnya.
“Tidak, mereka lapar,” balas wanita itu.
Jawaban itu membuat Khalifah Umar dan Aslam tertegun. Keduanya masih terduduk di tempat semula cukup lama, sementara gadis di dalam tenda masih saja menangis dan ibunya terus saja mengaduk bejana.
Perbuatan wanita itu membuat Khalifah Umar penasaran. “Apa yang kau masak, hai ibu? Mengapa tidak juga matang masakanmu itu?” tanya Khalifah.
“Kau lihatlah sendiri!” jawab wanita itu.
Khalifah Umar dan Aslam segera melihat isi bejana tersebut. Seketika mereka kaget melihat isi bejana itu.
“Apakah kau memasak batu?” tanya Khalifah Umar dengan tercengang.
“Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum,” kata wanita itu.
“Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rezeki. Namun ternyata tidak. Sesudah maghrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku dengan harapan dia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar dia bangun dan menangis minta makan,” ucap wanita itu.
“Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Dia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya,” lanjut wanita itu.
Wanita itu tidak tahu yang ada di hadapannya adalah Khalifah Umar bin Khattab. Aslam sempat hendak menegur wanita itu. Tetapi, Khalifah Umar mencegahnya. Khalifah lantas menitikkan air mata dan segera bangkit dari tempat duduknya.
Segeralah diajaknya Aslam pergi cepat-cepat kembali ke Madinah. Sesampai di Madinah, Khalifah langsung pergi ke Baitul Mal dan mengambil sekarung gandum.
Tanpa mempedulikan rasa lelah, Khalifah Umar mengangkat sendiri karung gandum tersebut di punggungnya. Aslam segera mencegah.
“Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku yang memikul karung itu,” kata Aslam.
Kalimat Aslam tidak mampu membuat Umar tenang. Wajahnya merah padam mendengar perkataan Aslam.
“Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?” kata Umar dengan nada tinggi.
Aslam tertunduk mendengar perkataan Khalifah Umar. Sembari terseok-seok, Khalifah Umar mengangkat karung itu dan diantarkan ke tenda tempat tinggal wanita itu.
Sesampai di sana, Khalifah Umar menyuruh Aslam membantunya menyiapkan makanan. Khalifah sendiri memasak makanan yang akan disantap oleh wanita itu dan anak-anaknya.
Khalifah Umar segera mengajak keluarga miskin tersebut makan setelah masakannya matang. Melihat mereka bisa makan, hati Khalifah Umar terasa tenang.
Makanan habis dan Khalifah Umar berpamitan. Dia juga meminta wanita tersebut menemui Khalifah keesokan harinya.
“Berkatalah yang baik-baik. Besok temuilah Amirul Mukminin dan kau bisa temui aku juga di sana. Insya Allah dia akan mencukupimu,” kata Khalifah Umar.
Keesokan harinya, wanita itu pergi menemui Amirul Mukminin. Betapa kagetnya si wanita itu melihat sosok Amirul Mukminin, yang tidak lain adalah orang yang telah memasakkan makanan untuk dia dan anaknya.
“Aku mohon maaf. Aku telah menyumpahi dengan kata-kata dzalim kepada engkau. Aku siap dihukum,” kata wanita itu.
“Ibu tidak bersalah, akulah yang bersalah. Aku berdosa membiarkan seorang ibu dan anak kelaparan di wilayah kekuasaanku. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan ini di hadapan Allah? Maafkan aku, ibu,” kata Khalifah Umar.
27748025_1551642321539415_1990840140556891753_o
27624798_1551866358183678_8537456991402995297_o
 
Sumber : buku Umar bin Khattab sang khalifah Islam

X