Kepemimpinan dalam Islam

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Islam adalah agama yang komprehensif. Tidak ada satupun aspek dalam kehidupan ini kecuali telah diatur oleh Islam. Minimal dalam bentuk rambu-rambu umum yang menjadi pijakan dan landasan dalam mengambil keputusan. Allah befirman,
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS an-Nahl: 89).
Apabila konsep sekuler Barat cenderung memisahkan antara urusan agama dan dunia, maka Islam menjadikan urusan dunia sebagai bagian dari agama. Apabila sebagian mereka berkata, agama adalah milik Allah sementara negara adalah milik manusia sehingga mereka bebas mengurus negara sesuai dengan keinginan mereka, maka Islam menegaskan bahwa agama dan negara semuanya merupakan milik Allah sehingga harus diurus sesuai dengan tuntunan-Nya. Bahkan kehidupan dan kematian kita juga merupakan milik Allah sehingga harus dipersembahkan untuk-Nya.
Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.  (QS an-Nahl: 162-163).
Oleh karena itu, masalah negara, kekuasaan, dan kepemimpinan tidak bisa dipisahkan dari spirit dan nilai-nilai ajaran Islam. Nash Al Qur’an, sejumlah riwayat hadits, pandangan para ulama serta realitas sejarah membuktikan hal tersebut. Di antara nash Al Qur’an yang membahas tentang masalah kekuasaan dan kepemimpinan adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu”. (QS an-Nisa: 59).
Dalam hadits, Nabi saw bersabda,
Jika tiga orang berada dalam sebuah perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin”. (HR Abu Daud, Abu Ya’la dll).
Lalu sejarah juga membuktikan bagaimana ketika Nabi SAW wafat, hal yang menyibukkan para sahabat adalah memilih pemimpin. Bahkan masalah memilih pemimpin ini membuat proses penguburan jasad beliau menjadi tertunda.
Demikian sejumlah dalil dari begitu banyak dalil  dan riwayat menunjukkan perhatian Islam terhadap masalah kekuasaan dan kepemimpinan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyyah dalam buku as-Siyasah asy-Syar’iyyah berkata, “Harus diketahui bahwa al-Wilayah (perwalian dan kepemimpinan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakan penegakan agama dan dunia tanpa adanya kepemimpinan (al-wilayah)…”
Imam al-Ghazali juga menegaskan, “Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama adalah dasar dan sultan (kekuasaan) merupakan penjaga.” (Ihya Ulumuddin I/71).
Jadi, kepemimpinan dan kekuasaan merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan. Kepemimpinan adalah sesuatu yang inheren dalam Islam dan tidak bisa dipisahkan. Sebab tanpa adanya kepemimpinan, yang muncul adalah kekacauan dan ketidakteraturan. Tanpa adanya kekuasaan yang mengayomi, maka yang akan lahir adalah berbagai anarki dan kerusakan.
Apalagi pada masa sekarang saat kerusakan, kemaksiatan, dan kemungkaran merajalela. Untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita, narkoba dan miras yang beredar luas dari kota hingga ke desa-desa, pornografi dan pornoaksi yang demikian masif dipertontonkan di mana-mana, kejahatan dan penyimpangan seksual yang dilakukan tanpa mengenal batas dan norma susila, serta untuk menghadapi berbagai kemungkaran lainnya, dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan dan kekuasaan bisa menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan pengendalian, memberikan pengarahan, dan memberikan pencerahan kepada umat.
Wallahua’lam.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 367 – 8 April 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Makna Politik Islam Sesungguhnya

Oleh: DR. Yusuf Al-Qardhawi
 
Tema utama yang sering dihembuskan oleh kaum sekuler adalah bahwa jika politik dikaitkan dengan agama, maka politik tersebut akan terkekang olehnya. Agama akan membatasi ruang geraknya, terlebih lagi jika agama dimaknai sebagai sebuah bentuk komitmen secara menyeluruh terhadap dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pasalnya, politik membutuhkan ruang gerak yang luas dengan segala pertimbangan maslahat dan mudharat.
Selain itu, politik sangat membutuhkan strategi dan tipu daya melawan musuh, sedangkan agama seringkali menutup celah ini. Akibatnya, para musuh agamalah yang mendapatkan kemenangan, sebab mereka terbebas dari segala bentuk ikatan dan aturan agama. Adapun umat Islam terus tertawan dalam aturan-aturan perintah dan larangan.
Oleh sebab itulah, kaum sekuler berpendapat mengambil jalan lain dalam memaknai agama, yaitu dengan cara melihat pada maqashid (tujuan-tujuan) umum dari agama, bukan dengan melihat pada dalil-dalil saja. Mereka menganggap, ini adalah metode yang juga dipakai oleh Umar bin Khattab, dimana ia telah membatalkan beberapa dalil demi terciptanya kemaslahatan bagi kaum muslimin. Jika tidak demikian, maka agama akan menjadi penghalang dan batu sandungan dalam berpolitik, terutama dalam sistem politik modern.
Tentu ucapan itu penuh dengan kerancuan dan kesesatan. Inilah anggapan yang diyakini oleh mereka kaum sekuler. Jika kita benar-benar memahami syari’at Islam, maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa ia bukanlah sebuah penghalang, akan tetapi ia adalah pelita.
Syari’at Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim adalah aturan yang adil dan bijak serta mengandung kemaslahatan yang luas. Maka, setiap aturan yang menjauhkan manusia dari rasa keadilan menuju kezaliman, dari kemaslahatan menuju kerusakan, dan dari manfaat menuju kesia-siaan, maka itu semua bukanlah bagian dari syariat, meskipun ada yang memaksakannya masuk menjadi bagian dari syariat dengan cara ditakwil [1].
Oleh sebab itu, mengajak manusia untuk memahami Islam dan syariatnya secara benar merupakan bagian dari dakwah, bukan dengan menjauhkan mereka dari syariat agar menjadi bebas merdeka. Sebagian manusia ada yang berpandangan bahwa Islam adalah sebuah teori yang bersifat idealis namun tak bisa direalisasikan dalam kehidupan yang nyata. Ini adalah cara pandang yang keliru, sebab Islam dengan teorinya yang bersifat idealis, ia juga dapat menjadi solusi dalam kehidupan yang nyata.
Islam juga membolehkan umatnya untuk mempergunakan siasat dan tipuan disaat berhadapan dengan kelompok yang juga melakukan makar dan tipuan. Sebagaimana dalam sebuah hadits Bukhari, “Perang adalah sebuah tipuan.”
Islam juga menerapkan kaidah bahwa “Kondisi darurat memperbolehkan umatnya untuk melakukan hal-hal yang terlarang.
Begitu juga dengan kaidah, “Memilih salah satu diantara dua hal yang lebih ringan mudharatnya dan lebih kecil keburukannya. Diperbolehkan menanggung mudharat yang bersifat khusus untuk menghindar dari mudharat yang bersifat umum. Dan diperbolehkan juga untuk mengambil mudharat yang lebih kecil untuk menjauh dari mudharat yang lebih besar, sebagaimana diperbolehkan juga untuk membuang kemashlahatan yang lebih kecil demi terwujudnya kemashlahatan yang lebih besar.”
Semua teori tersebut merupakan teori terapan yang menjadi salah satu karakteristik dari syari’at Islam. Selain itu, syariat Islam berada juga mengusung teori orientatif, bahkan ia berada di garis terdepan diantara aturan lainnya.
Akan tetapi, kita selalu memperingatkan jangan sampai orientasi dan kemashlahatan menjadi alat untuk menggugurkan nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah, terutama jika nash-nash tersebut bersifat muhkamah dan pasti. “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. (QS. al-Ahzab : 36).
Kita selalu mengajak agar bisa menempatkan antara tujuan-tujuan dari syariat dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah secara seimbang. Kita tidak boleh membenturkan antara yang satu dengan yang lainnya, sebab mereka saling melengkapi bukan saling bertentangan. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ijma’ ulama, bahwa kemaslahatan yang hakiki tidak akan pernah bertentangan dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah.
Apabila ada anggapan bahwa keduanya ada pertentangan, maka ada dua kemungkinan.
Pertama, boleh jadi kemaslahatan tersebut hanya bersifat dugaan saja dan belum pasti. Contohnya adalah kemaslahatan dalam riba agar menarik investor atau kemaslahatan khamr untuk menarik para turis, atau yang lainnya yang mana semua itu hanyalah dugaan-dugaan saja.
Kedua, atau bisa juga nash tersebut tidak bersifat qath’i (pasti). Hal ini biasanya terjadi manakala nash-nash tersebut dikaji dan dianalisa oleh kalangan orang-orang yang tidak memahami syariat Islam, semisal pakar ekonomi, politisi, dan lainnya yang mana mereka mengira bahwa nash tersebut bersifat qath’i padahal tidaklah demikian.
Dengan demikian, politik Islam bersifat luwes karena ia selalu memandang kemaslahatan yang akan diwujudkan dalam setiap sikap berpolitik, dengan tetap memegang teguh nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah sebagai pijakan dan landasan utamanya. Maka dari itu, tidak ada benturan antara syari’at Islam dengan politik, karena keduanya akan membawa kemaslahatan yang hakiki terhadap kehidupan manusia secara utuh.
Referensi :
[1] I’lam Al-Muwaqqi’in (3/3)
*Penerjemah: Fahmi Bahreisy, Lc
**Sumber: http://iumsonline.org

Pujian Rasulullah Terhadap Para Sahabat

Oleh : Farid Nu’man Hasan
 
Berikut ini pujian Rasulullah terhadap para sahabatnya diantaranya adalah:
Pertama, hadits ‘Sebaik-baiknya manusia adalah zamanku…
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Sebaik-baik manusia adalah zamanku, dan kemudian setelahnya, dan kemudian setelahnya.” (HR. Bukhari No. 2509, 3451, 6065, 6282. Muslim No. 2533. At Tirmidzi No. 2320, dari Imran bin Al Hushain)
Manusia zaman nabi tentunya adalah para sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Imam An Nawawi Rahimahullah menerangkan:
Yang benar adalah bahwa manusia terbaik adalah zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat, kedua tabi’in, ketiga adalah orang-orang yang mengikuti mereka.” (Syarh Shahih Muslim, Bab Fadhlush Shahabah, No. 4603. Mausu’ah Syuruh Al Hadits)
Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri:
“Sabdanya: Sebaik-baik manusia adalah zamanku, yaitu yang hidup pada zamanku. Berkata Al Hafizh (Ibnu Hajar), yang dimaksud pada zaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini adalah sahabat nabi.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 6/469. Al Maktabah As Salafiyah. Madinah Al Munawarah)
Kedua, hadits ‘Jangan cela para sahabatku …
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Jangan kalian cela para sahabatku, seandainya salah seorang kalian menginfakkan emas sebesar Uhud itu tidak akan bisa menyamai satu mud-nya mereka bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari No. 3470. Muslim No. 2540. At Tirmidzi No. 3952)
Imam Al Baidhawi mengatakan:
“Makna hadits adalah tidaklah infakkan kalian walau emas sebesar gunung Uhud mampu menyamai keutamaan dan pahala yang sudah diraih oleh salah seorang mereka (para sahabat) yang sebesar satu mud makanan atau setengahnya saja.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/34. Darul Fikr)
Demikian keras larangan mencela para sahabat nabi, namun kaum Syi’ah mencela mereka, dan hal itu sama juga telah mencela orang-orang yang dicintainya.
Ketiga, keutamaan Ahli Badr, ‘Lakukan apa saja Allah Telah mengampuni kalian…’
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Lakukan apa saja oleh kalian, kalian telah diampuni.” (HR. Bukhari No. 2845, 4025, 4608. At Tirmidzi No. 3360, Ibnu Abi Syaibah No. 51, 74. Al Hakim No. 6968, dari jalur Abu Hurairah, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4798, juga dari jalur Abu Hurairah)
Keempat, keutamaan para peserta Bai’atur Ridhwan, ‘Tidak akan masuk neraka orang yang ikut bai’at di bawah pohon…’
Dalam Al Quran, Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji mereka. Berikut adalah pujian dari Rasulullah untuk mereka.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Tidak akan masuk neraka orang-orang yang berbaiat di bawah pohon.” (HR. Abu Daud No. 4653. At Tirmidzi No. 3795, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 7980).
Dari Jabir juga, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Benar-benar akan masuk surga orang-orang yang berbaiat di bawah pohon, kecuali pemilik Unta Merah.” (HR. At Tirmidzi No. 3955, katanya: hasan gharib. Al Haitsami mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Bazar dari Ibnu Abbas, rijalnya shahih kecuali Hidasy bin ‘Iyasy, dia tsiqah, Majma’ Az Zawaid, 9/161).
Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan tentang maksud ‘Pemilik Unta Merah.’ Katanya:
“Dikatakan: dia adalah Al Jadd bin Qais seorang munafiq.” (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/157. Maktabah Al Misykat)
Kelima, menyakiti para sahabat adalah sama dengan menyakiti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Bertaqwa-lah kalian kepada Allah terhadap hak-hak sahabatku, jangan jadikan mereka sasaran kata-kata keji setelah aku wafat. Barangsiapa yang mencintai mereka (para sahabat) maka dengan kecintaanku, aku akan mencintai mereka (orang yang mencintai sahabat), dan barangsiapa yang membenci mereka, maka dengan kebencianku, aku akan membenci mereka (orang yang membenci sahabat), dan barangsiapa yang menyakiti mereka maka dia telah menyakiti aku, dan barangsiapa yang telah menyakiti aku, maka dia telah menyakiti Allah, dan barangsiapa yang menyakiti Allah, maka Dia akan memberinya azab.” (HR. At Tirmidzi No. 3954, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 19641).
Dikutip dari dakwatuna.com
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 330 – 17 April 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

7 Golongan yang Mendapat Naungan Allah

Oleh : Rasyid Bakhabazy, Lc
 
Dari Abu Hurairah radiallahuanhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:  “Ada tujuh (golongan) yang akan Allah SWT berikan buat mereka naungan pada hari di mana tidak ada naungan saat itu kecuali naungan-Nya: (1) Pemimpin yang adil. (2) Pemuda yang tumbuh dalam (suasana) ibadah kepada Allah. (3) Seseorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid. (4) Dua orang yang saling cinta karena Allah Azza wa jalla. Mereka berkumpul dan terpisah karena Allah. (5) Seorang pria  yang diajak (bermaksiat) oleh seorang wanita yang punya kedudukan dan cantik namun, dia malah berkata ‘Aku takut kepada Allah’. (6) Seseorang yang bersedekah dan dia menyembunyikan sedekahnya sampai tangan kanannya tidak mengetahui apa yang telah diinfakkan tangan kirinya. (7) Seseorang yang berzikir kepada Allah dalam kesendirian lalu dia menangis mencucurkan air mata.” (HR. Muslim).
Dari hadits diatas terdapat sejumlah pesan di dalamnya, diantaranya adalah
Pertama, pemimpin yang adil.
Diletakkannya pemimpin yang adil pada urutan pertama menunjukkan bahwa urusan kepemimpinan & keadilan dalam memimpin adalah urusan besar. Kita semua tahu bahwa adilnya pemimpin itu akan memberikan efek manfaat pada orang banyak dan bukan hanya pada diri sendiri. Dan banyak yang mengatakan bahwa kekuasaan dan jabatan itu cenderung mendorong seseorang untuk bertindak korup dan tidak adil. Di sinilah beratnya amalan yang satu ini.
Kedua, pemuda yang tumbuh dewasa dalam ibadah.
Ini adalah pemuda yang spesial. Kenapa? karena dia bisa menahan diri dan mengarahkan keinginannya pada ibadah, berbakti pada orang tua serta hal-hal positif yang diridhoi oleh Allah SWT. Padahal kita tahu bahwa jiwa pemuda biasanya cenderung liar, tak mau ikut aturan sehingga bersenang-senang dan memperturutkan hawa nafsu adalah hobinya. Disinilah  beratnya amalan yang satu ini.
Ketiga, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid.
Zaman sekarang ini, kesibukan dengan urusan dunia dan pekerjaan telah menyita waktu banyak orang. Tak sedikit orang yang tak pernah mengenal shalat lima waktu di masjid dengan berjamaah atau pengajian, dan lain-lain. Alasannya sibuk.
Spesialnya kelompok ketiga ini adalah mereka sibuk dengan pekerjaannya tapi hati mereka tetap terpaut dengan masjid. Setiap kali adzan dikumandangkan, kita dapati mereka sudah hadir dan siap untuk shalat berjamaah. Bila dia keluar dari masjid, dia rindu untuk kembali.Dan bila dia sudah di masjid, dia rasakan ketenangan luar biasa.
Keempat, dua orang yang saling cinta karena Allah SWT.
Berteman dan saling cinta karena Allah adalah amalan spesial. Tidak semua orang mampu melakukannya.  Kenapa? karena bukan rahasia lagi bahwa pertemanan dan saling cinta pada saat ini banyak didasarkan  pada keuntungan materi belaka atau mungkin karena sekedar kesamaan suku atau hobi dan bukan karena nilai kebaikan dan ketaqwaan yang ada pada diri seseorang.
Kelima, pria yang tahan terhadap godaan wanita karena takut kepada Allah.
Tak ada ujian yang paling membahayakan bagi pria melebihi ujian dengan wanita. Itulah kurang lebih makna sebuah hadits yang pernah disampaikan oleh Nabi saw. Pria yang sifatnya disebut dalam hadits ini tentulah sangat spesial. Dia diajak untuk melakukan perbuatan tak senonoh oleh seorang wanita yang cantik, kaya dan berkedudukan tapi dia menolak karena takut kepada Allah SWT. Namun lihatlah di zaman sekarang, sebagian orang tak perlu diajak tapi dia bahkan mencari sendiri untuk melakukan perbuatan tak senonoh. Laa hawla wa laa quwwata illa billah. Di sinilah beratnya amalan yang satu ini.
Keenam, menyembunyikan sedekah yang ikhlash.
Menyembunyikan sedekah yang diberikan adalah amalan yang luar biasa. Karena tak sedikit orang yang memang ingin sedekahnya diumumkan. Walaupun mengumumkan sedekah bukanlah amalan yang terlarang dan belum tentu juga tidak ikhlas. Namun, terkadang hati seseorang bisa saja bergerak, merasa bangga saat sedekahnya dipublikasikan. Apalagi jika sedekah yang diberikan adalah dalam jumlah besar. Berat rasanya untuk tidak menceritakannya pada orang. Di sinilah beratnya amalan yang satu ini.
Ketujuh, ingat kepada Allah  dalam kesendirian sampai menangis.
Ini bukanlah amalan ringan. Sungguh berat menumbuhkan kemauan mencari kesempatan untuk menyendiri dengan Allah SWT di tengah malam yang sunyi, bermunajat dan mohon ampun akan kesalahan dan dosa sampai meneteskan air mata. Di sini orang belajar untuk menjauhkan diri dari riya’serta melatih untuk ikhash dalam beramal. Di sini beratnya amalan yang satu ini.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 329 – 10 April 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Apakah Anda Mukmin?

Rasulullah saw bersabda “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang dan saling mencintai adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam.” (Shahih Muslim No.4685).
Pelajaran yang bisa dipetik:

  1. Hadits di atas membeikan standar dan ukuran siapa yang disebut sebagai orang beriman atau orang mukmin.
  2. Keberadaan iman dalam diri ditandai dengan adanya cinta kasih diantara saudara seiman; bahkan  ia seperti satu tubuh.
  3. Karena itu, mukmin  sejati mencintai, mengasihi, membantu dan ikut merasakan derita dan kesulitan mukmin lainnya, di manapun ia berada dan dari manapun asalnya.

Shalahuddin al-Ayyubi satu saat ditanya, “Mengapa senyummu tak terlihat lagi?” Ia menjawab, “Bagaimana aku bisa tersenyum sementara al-Aqsa dalam kondisi tertawan? Bagaimana aku bisa ceria sementara kaum muslimin di sana dalam kondisi terjajah dan teraniaya?!”
Alfaqir ilallah
Fauzi Bahreisy
***
Majelis Taklim Al Iman
Infaq kegiatan dakwah dapat disalurkan melalui rekening an. Yayasan Telaga Insan Beriman
BSM 703.7427.734
BNI 1911.203.63
Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik dan memberikan keberkahan di dunia dan akhirat.
Kegiatan dakwah dapat dilihat di web www.AlimanCenter.com dan fanpage facebook: AlimanCenter.com
Silahkan disebarkan tanpa merubah isinya, semoga bermanfaat dan menjadi amal sholeh. Jazakumullah khairan

X