Dimana Akhlak Kita

Ada seorang laki-laki, entah sudah berapa tahun ia mengaji, tapi mengerikan. Ia mencaci maki seorang ustadz, hanya karena berbeda manhaj.
Mengomentari status dengan kata-katanya yang kasar lagi buruk.
Saya liat profil picture laki-laki itu. Apa tulisannya?
“Kata-katamu adalah kualitas dirimu.”
Saya tersenyum sendiri. Lalu ingat sebuah pepatah : “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Meludah ke atas, jatuh menimpa muka sendiri”.
Mungkin terlalu banyak menggeluti ilmu sampai lupa mempelajari adab dan akhlak.
Imam Malik pernah menasehati murid-muridnya, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Mencaci maki itu tiada gunanya. Jika cacianmu benar, tiada menambah kemuliaanmu. Bila cacianmu salah, pastilah merendahkan kehormatanmu.
Para ulama dulu mempelajari adab lebih panjang dari mempelajari ilmu.
“Kami memperlajari adab 30 tahun,” kata Imam Ibnu Mubarak, “Lalu mempelajari ilmu 20 tahun.”
Mereka, orang-orang besar itu, menjadikan ilmu sebagai garam. Dan adab sebagai tepungnya.
Para ulama juga saling mengoreksi. Tapi tak ada yang paling mereka jaga kecuali kemuliaan akhlak. Seorang ulama pernah bersaksi mengenai Imam Asy Syafii.
“Ada dua keperihan berdebat dengan Imam Asy Syafii.
Pertama, kau akan dikalahkan, dengan kecerdasan pikirannya.
Kedua, kalaupun kau menang, kau akan dikalahkan oleh akhlaknya.”
Seberapa berat ilmu-mu?
Seberapa dalam sumur yang kau gali menampung mata air guru-gurumu? Beratnya ilmu akan membuatmu merunduk.
Dalamnya ilmu, akan membuatmu tenggelam dalam kerendahan hati.
Jika tidak: ringan dan dangkal keilmuanmu.
Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengutip perkataan sebagian ulama, “Diantara tanda tawadhu adalah seseorang meyakini bahwa setiap muslim lebih baik daripada dirinya.”
Lalu dimana kita?
Aina nahnu min akhlaqis salaf?
Ingat, daging ulama itu beracun. Kebenaran yang ingin kau sampaikan, tak menghalalkanmu untuk mencaci maki mereka.
Barakallahu fiikum..
Oleh : Ustadz Bakhabazy

Bertetangga dengan Ibnul Mubarok

Ibnul Mubarak tinggal di Khurasan. Ia memiliki rumah yang besar tempat menjamu orang-orang. Di samping rumahnya seorang yahudi tinggal.
Apabila Ibnul Mubarak membeli daging untuk anak-anaknya, ia juga membelikan daging untuk anak-anak orang yahudi tadi dan keluarganya.
Apabila pada hari raya memberikan baju baru kepada anak-anaknya, Ibnul Mubarak juga memberikan baju kepada anak-anak yahudi tersebut. Demikian pula ketika mambawa buah dari pasar.
Suatu hari ada sejumlah pedagang mendatangi si yahudi tersebut. Mereka bertanya, “Maukah engkau menjual rumahmu ini kepada kami?”
“Rumahku aslinya seharga seribu dinar. Namun nilai bertetangga dengan Ibnul Mubarak adalah seribu dinar. Sehingga totalnya dua ribu dinar,” Ujarnya.
Beberapa hari kemudian, orang yahudi tersebut mendatangi Abdullah ibnul al-Mubarak dengan keinginan sendiri. Ia tidak datang dengan terpaksa atau karena perintah seseorang.
Namun ia datang karena kemauan sendiri. Ia duduk di hadapan Ibnul al-Mubarak dan berkata,
“Wahai Abdullah, agama yang melahirkanmu adalah agama yang haq. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah. Kupersaksikan kepada semua yang hadir bahwa aku telah masuk Islam.”
Sebabnya adalah akhlak dan kehidupan Ibn al-Mubarak.

X