Kisah Kita, KH Wahid Hasyim dan Sebilah Bambu Runcing

Oleh: Rizki Lesus, Peneliti pada Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
 
Dulu sekali, bambu itu berkisah yang kisahnya termakan oleh zaman, berkisah tentang masa kini, tempat kita berpijak.
“..Bambu ini..” kata KH Wahid Hasyim memecah keheningan. Putera pendiri NU KH Hasyim Asy’ari itu mulai berkisah sambil menghela nafas.
Kala itu ia berada di dalam mobil menuju kota Parakan di tengah Pulau Jawa, tempat di mana lautan manusia berduyun-duyun berdatangan memanggul sebilah bambu runcing ujungnya sepanjang dua meter dari Parakan sepenggal Juni ‘46.
”..Iya! Tidak saja berpengaruh dalam perjuangan politik, tetapi dalam kehidupan bangsa dan kebudayan di masa yang akan datang,” lanjut pria yang akrab dipanggil Gus Wahid sambil melirik pria muda berusia 27 tahun,
Diriku yang sedang serius menyimak setelah menanyakan apa arti sebilah bambu runcing Parakan bagi umat Islam dalam perjuangan politik.
Mobil bertuliskan ‘Hizbullah fi Sabilillah’ itu berhenti sejenak. Di hadapan, ribuan orang lalu lalang. Truk-truk itu penuh dengan manusia membopong bilahan bambu runcing ke dan dari Parakan.
“Allahu Akbar..!” takbir itu menggema pada terik yang menggantung di siang hari dan dalam malam sunyi pekat tanpa listrik, karena Sekutu mulai merangsek dan tiba di pelabuhan-pelabuhan penting dan menyerang kota-kota di Indonesia yang baru seumur Jagung. Para pemimpin Negara harus memindahkan Ibu Kota hingga ke Yogyakarta.
Bambu di Parakan memang memegang peranan penting, lantaran tinggal para Kyai terutama KH Subeki yang sudah berusia kepala 9 atau yang sering dipanggil Mbah Subeki yang didatangi para pemimpin dan masyarakat untuk mendoakan mereka berjuang.
“Di mana-mana orang membicarakan bambu runcing. Pak Dirman (Panglima Besar TKR) sendiri tertari akan momentum Parakan. Dan pengaruhnya bagi para prajurit dan para pejuang di medan pertempuran sangat positif,” kata Gus Wahid yang kala itu menjadi Pimpinan Bidang Pertahanan DPP Masyumi.
Sambil melaju pelan, membalas salam para pejuang, Gus Wahid melanjutkan, “Perjuangan bersenjata melawan Belanda akan segera berakhir hanya memerlukan beberapa tahun saja, dan kita akan menang, insya Allah.”
“Tetapi perjuangan yang lebih lama dari itu adalah perjuangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan pembangunan akhlak. Perjuangan itu akan berlangsung lama, memerlukan kebijaksanaan dan kesabaran.” Nasihatnya.
Aku berpikir sejenak, apakah benar kita akan mengalahkan Belanda, dan di masa depan perjuangan politik, kebudayaan, akhlak akan lebih berat?
“Kurang berat apa perjuangan ini..” aku menghela nafas.
“Siang maupun malam mereka membajiri Parakan..” gumanku.
Aku sendiri melihat, bahwa kereta sudah tak mampu lagi menampung mereka membawa sebilah bambu.
“Mereka menjadi puas setelah pulang dari Parakan. Hatinya dalam semangat tinggi melawan musuh yang hendak merobek Republik Indonesia..” pikirnya.
bersambung

X