Penentuan Awal Ramadhan dalam Perspektif Sunnah

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Untuk dapat memastikan awal bulan Ramadhan secara benar maka diperlukan kajian terhadap dua hal.
Pertama, untuk mengetahui tanda masuknya awal bulan qamariyah, dapat diketahui melalui munculnya bulan sabit di ufuk yang berada di sebelah barat. Allah berfirman: ”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah: bulan sabit itu tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji”. (QS; al-Baqarah: 189).
Demikian juga berakhirnya bulan qamariyah selalu ditandai dengan munculnya bulan sabit baru yang berarti juga sebagai tanda awal bulan berikutnya.
Kedua, guna mendapatkan jawaban yang tepat tentang pertanyaan di atas maka kita akan merujuk berbagai petunjuk Rasulullah dalam hal ini. Paling tidak dari seluruh Hadits yang berbicara tentang masalah ini menunjukkan, bahwa cara menentukan awal Ramadhan dapat dilakukan melalui salah satu dari tiga cara di bawah ini:
Cara pertama: rukyatul hilal
Yaitu melihat hilal (bulan baru/sabit) setelah ijtima’ (konjungsi) dan setelah wujud/muncul di atas ufuk pada ahir bulan dengan mata telanjang atau melalui alat. Cara ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان، فقال: (لاَ تَصُوْمُوا حتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حتى تَرَوْهُ).
Dari sahabat Abdullah bin Umar berkata sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  berkata: ”Janganlah berpuasa (Ramadhan) sehingga kalian melihat hilal dan janganlah berhari raya sehingga kalian melihat hilal.” ( HR Bukhari dan Muslim)
Hadits yang lain juga menegaskan bahwa cara menentukan awal Ramadhan adalah dengan melihat bulan sabit.
قال النبي صلى الله عليه وسلم، أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: (صُوْمُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ).
Dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda: ”Berpuasalah jika telah melihat hilal dan berhari-rayalah bila telah melihat hilal”. ( HR Bukhari dan Muslim).
Namun cara penentuan awal bulan Ramadhan melalui rukyat hilal, mengundang perbedaan mengenai kriteria orang yang dapat dipercaya rukyatnya. Dalam hal ini para ulama fiqih memiliki tiga pandangan.
1. Bahwa hasil rukyat yang dilakukan seorang muslim yang dapat dipercaya dan tidak cacat dalam agamanya (adil) dapat dijadikan sebagai landasan untuk memutuskan tentang awal bulan Ramadhan. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Umar, “Dia berkata bahwa ketika semua orang sedang memantau awal bulan, maka sayalah yang melihatnya. Lalu saya laporkan kepada Nabi Saw kemudian beliau  berpuasa dan menyuruh seluruh kaum muslimin untuk berpuasa”. ( HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Dalil yang lain yang cukup menjadi penguat adalah hadits seorang a’rabi (badui Arab) yang datang memberi kesaksian kepada Rasulullah tentang dirinya telah melihat hilal, lalu Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan kepada seluruh kaum muslimin agar mereka melaksanakan tarawih (qiyam) dan puasa. (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan an-Nasai).
Dalam kaitannya dengan hadits ini, Yusuf Qaradhawi mengutip sebuah komentar para ulama bahwa “Menentukan awal Ramadhan berdasarkan rukyat satu orang dianggap lebih berhati-hati dalam memasuki sebuah ibadah, karena puasa satu hari dalam bulan Sya’ban lebih ringan resikonya daripada tidak berpuasa satu hari di bulan Ramadhan. (Lihat Fiqih Shiyam, Qardhawi: 27).
2. Pandangan kedua mensyaratkan bahwa rukyat yang dapat diterima sebagai landasan menentukan awal bulan Ramadhan adalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang yang dapat dipercaya dan tidak cacat dalam beragama.
Mereka mendasarkan pendapat ini kepada hadist yang dikutip Ibnu Abidin dalam hasyiyah-nya diriwayatkan oleh al-Husen bin Harits al Hadali, dia berkata: Amir Makkah al-Harits bin al-Hathib mengungkapkan kepada kami bahwa “Rasulullah Saw  memerintahkan kepada kami untuk berpuasa setelah kita melihat hilal, dan jika kami tidak melihatnya maka kesaksian dua orang (yang melihat hilal) dan  adil dapat menjadi dasar untuk berpuasa. ( lihat Hasyiah Ibnu Abidin).
3. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpandangan bahwa kesaksian tentang melihat hilal yang dapat diterima adalah dari sejumlah (banyak) orang. Hal itu bila kondisi langit dalam keadaan bersih tanpa mendung atau awan atau penghalang lainnya. Karena dalam keadaan seperti ini sangat sulit diterima kebenaran kesaksian satu atau dua orang yang mengaku melihat hilal. Berbeda jika keadaan langit dalam kondisi mendung atau berawan, maka boleh jadi hilal nampak dalam beberapa saat yang hanya dapat dilihat oleh satu-dua orang lalu selanjutnya tertutupi oleh awan atau mendung dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini kesaksian satu atau dua orang yang adil dapat diterima sebagai landasan menjalankan ibadah puasa. (lihat maraji yang sama).
Sedangkan standar jumlah yang dapat dikategorikan banyak adalah tergantung ketentuan yang dikeluarkan oleh pemimpin Negara (lihat al Ikhtiyar fi Syarhil Mukhtar, 1:129).
Cara kedua: Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari
Ketika para perukyat tidak berhasil melihat hilal pada tanggal 29 bulan Sya’ban, baik keadaan langit berawan, mendung atau cerah, maka cara menentukan awal bulan Ramadhan dalam keadaan seperti ini adalah menjadikan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.
Pandangan ini didasarkan kepada Sabda Nabi:
قال النبي صلى الله عليه وسلم، أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: (صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين).
Dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda: ”Berpuasalah jika telah melihat hilal dan berhari-rayalah bila telah melihat hilal, apabila terhalang oleh mendung, maka sempurnakanlah bulan Sya`ban menjadi tiga puluh hari”. ( HR Bukhari dan Muslim).
عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنهما: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (الشهر تسع وعشرون ليلة، فلا تصوموا حتى تروه، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين).
Dari Abdullah bin Umar Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: ”Bulan (Sya’ban) itu dua puluh sembilan malam, maka jaganlah puasa hingga kalian melihatnya (hilal). Apabila terhalang olehmu mendung, maka sempurnakan menjadi tiga puluh malam” (HR Bukhari).
Namun cara ini memiliki beberapa kelemahan antara lain, tidak konsisten dalam melakukan rukyat setiap awal bulan. Padahal akhir bulan Sya’ban sangat bergantung kepada bulan sebelumnya, sehingga ketika terjadi kesalahan pada bulan sebelumnya akan berimbas kepada bulan Sya’ban dan otomatis juga pada bulan Ramadhan. Untuk menghindari implementasi petunjuk Nabi yang bersifat setengah-setengah, dan dapat membuahkan hasil yang maksimal, maka dapat dilakukan rukyat pada setiap awal bulan Hijriyah.
Cara ketiga: Memperkirakan bulan sabit.
Pandangan ini semulanya adalah sabda Rasulullah Saw :
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان، فقال: (لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له).
Dari sahabat Abdullah bin Umar ra. berkata sesungguhnya Rasulullah Saw berkata: ”Janganlah berpuasa (Ramadhan) sehingga kalian melihat hilal dan janganlah berhari-raya sehingga kalian melihat hilal, apabila terhalang olehmu mendung maka perkirakanlah” (H.R. Bukhori dan Muslim).
Para ulama beragam pandangan tentang makna “faqduru lah” (melakukan perkiraan bulan Ramadhan):
Menurut Imam Ahmad bin Hambal, makna faqduru lah adalah mencukupkan bulan Sya’ban pada hitungan 29 hari dan memperkirakan bahwa hilal berada di atas awan.
Muthrif bin Abdullah, Abul Abbas bin Suraij dan Ibnu Qutaibah berpendapat, bahwa maksud faqduru lah adalah perkirakanlah bulan sesuai dengan manzilahnya (posisi orbitnya).
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan mayoritas ulama Salaf dan Khalaf memandang, bahwa makna faqduru lah adalah sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa riwayat lain yang bersifat menjelaskan terhadap riwayat faqduru lah. Riwayat-riwayat tersebut adalah fa’akmilul `iddah tsalatsin. Riwayat ini dilansir oleh Imam Bukhari dalam kitab Sahihnya dari sahabat Ibnu Umar dan Abu hurairah (Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar: 4/119, bab Qaulun Nabi: Idza raitum …).
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmuk berpendapat bahwa pandangan  yang menafsirkan faqduru lah dengan memperkirakan bulan sesuai dengan manzilahnya (garis orbitnya) dianggap tidak relevan karena dua hal. Pertama, karena pada saat itu Rasulullah Saw dan mayoritas umat Islam tidak bisa baca dan tidak bisa tulis berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
(إنا أمة أمية، لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا).
Dari Ibnu Umar Rasulullah Saw bersabda: ”Kita adalah umat yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis” (HR Bukhari).
Kedua, karena untuk mengetahui posisi bulan pada porosnya dibutuhkan ilmu falak. Padahal ilmu tersebut belum dikenal di kalangan para sahabat, bagaimana Rasulullah Saw menyuruh para sahabat kepada sesuatu yang mereka tidak mampu? (Lihat al-Majmuk oleh an-Nawawi: 6/270).
Pendapat ini berbeda dengan pendapat Abul Abbas Ibnu Siraj dari kalangan ulama Syafi`iyah, dimana orang yang mengetahui awal Ramadhan melalui ilmu falaknya dia wajib berpuasa (Lihat al-Majmuk oleh an-Nawawi: 6/279 dan 280).
Cara ketiga, untuk penentuan awal bulan mengundang perhatian lebih luas bagi para ulama kontemporer dengan berkembangnya ilmu falak modern. As-Syaikh Rasyid Ridha dalam risalahnya tentang penetapan Ramadhan mengajak kepada umat Islam untuk menggunakan ilmu falak yang akurat dalam menetapkan kalender Ramadhan (lihat Hakikat Shiyam wa Isbat Sahar Ramadhan oleh Rasyid Ridha).
Sebagaimana dikutip oleh al-Qardhawi dalam risalah ramadhannya, dimana sebagian ulama besar pada abad modern ini seperti Ahmad Muhammad Syakir dan Mustafa Zarqa’ berpandangan bahwa perlunya umat Islam beralih dari cara yang sederhana menuju cara yang lebih modern dan terukur dalam menentukan awal bulan Ramadhan, yaitu dengan berpedoman kepada ilmu falak modern, yang mana teori-teori yang dibangun berdasarkan ilmu yang pasti dan perhitungan yang sangat teliti. Agar umat Islam mendapatkan kesatuan pendapat tentang penentuan awal Ramadhan (lihat Fiqih Siyam oleh Qaradhawi: 30-31),
Sementara Syaikh al-Qardhawi mencoba mencarikan alasan-alasan yang dibangun oleh pendapat lama dan modern, dimana alasan para fuqaha menolak penetapan Ramadhan dengan hisab (ilmu falak), karena aliran falak konvensional berdasarkan tanjim (ilmu nujum atau perbintangan) yang lebih dikenal dengan ramalan bintang. Sedangkan ilmu falaq modern didasarkan atas perhitungan yang sangat teliti, dimana tingkat akurasinya mencapai hampir 100%, sedangkan potensi kesalahan dalam menghitung berkisar 1 – 100.000 per detik. Dengan demikian mereka perlu mengkaji ulang pendapat mereka yang menolak ilmu falaq modern.
Sumber :
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center

X