Agar Mudik Bernilai Ibadah

Selain sebagai fitrah manusia, mudik adalah pada hakekatnya adalah Perjalanan Ibadah. Di negara Islam, tradisi unik “mudik” ini hanya ada di Indonesia. Di Cina taktala Hari Raya Imlek, dimana rakyat Cina di perkotaan pulang mudik ke daerah asal mereka.
Di negara maju seperti Amerika Serikat-pun, budaya mudik ke Kampung halaman atau ke orangtua dan berkumpul dengan sanak saudara itu juga ada, yaitu pada “Hari Pengucapan Syukur (Thanksgiving Day)”.
Ibarat pedang bermata 2, mudik bisa menjadi Ibadah bisa pula tidak berarti Ibadah sama-sekali, sekedar jalan-jalan saja malah bisa jadi pamer (riya’). Semuanya akan bergantung kepada niat kita dan sikap kita selama mudik ke kampung halaman.
Meskipun tidak dicontohkan persis oleh Rasulullah SAW, mudik-pun bisa menjadi ibadah, dengan terus melaksanakan ibadah wajib dan perintah-perintah Agama. Nah bagaimana agar mudik kita bisa menjadi Ibadah?
1. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a safar (bepergian).
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga kali: “اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ,” kemudian berdo’a:
“سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ،
“Mahasuci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu.” (H.R. Muslim)
Salah satu tata cara bepergian yang diajarkan Islam (dari sekian banyak adabnya), yaitu seseorang mengawali perjalanannya dengan membaca doa safar yang mengandung makna yang sangat penting dan amat dalam.
Seorang Muslim selalu ingat kepada Allah Azza wa Jalla dimanapun ia berada. Selain memohon keselamatan dan kesehatan selama perjalanan. Berdoa ketika momen perjalanan memiliki nilai khusus yang tidak boleh dianggap remeh; karena termasuk salah satu waktu doa dikabulkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

“Tiga doa yang dikabulkan, tidak ada keraguan padanya, yaitu : doa orang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua kepada anaknya.” [HR. at-Tirmidzi]
2. Jika mudik tersebut ada “Birrul Walidain” atau berbakti kepada kedua orangtua kita (jika mereka masih hidup).
Ayah dan ibu adalah dua orang yang sangat berjasa kepada kita. Lewat keduanyalah kita terlahir di dunia ini. Keduanya menjadi sebab seorang anak bisa mencapai Surga. Do’a mereka ampuh. Al Qur’an memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orangtua kita.
Allah swt berfirman : “Dan Kami wajibkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua..” (Al Ankabut : 8)
Rasulullah saw memerintahkan kepada kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Rasulullah saw bersabda : “Ridha Allah terletak pada ridla orang tua. Dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan orang tua.”( HR. Tirmidzi 1899) •
3. Jika Mudik Menyambung Tali Silaturahim
Di dalam tradisi mudik, pada umumnya juga ada silaturahmi yaitu saling berkunjung ke kerabat usai shalat idul fitri.
Kita bisa saling mengunjungi sanak saudara bahkan tetangga atau teman sejawat, atasan dan bawahan. Terkadang kita secara sengaja mudik, bepergian jauh, beratus kilometer bahkan mungkin beribu kilometer, hanya sekedar untuk menjumpai orang tua atau sanak famili.
Sekedar untuk menjumpainya dan bersilaturahmi, menyegarkan ikatan kekerabatan, menyambung dan mempererat tali persaudaraan.
Tentang menyambung tali silaturahmi, dalam hadist diriwayatkan Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan.” (Shahih Muslim No.4636)
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang merasa senang bila dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturahmi)”. (Shahih Muslim No.4638)
Ada janji Rasulullah yang patut untuk direnungkan agar mudik kita bernilai ibadah, maka mudik kita harus kita niatkan dalam rangka menyambung tali silaturahmi antar sanak saudara dan keluarga.
4. Jika Mudik kita Ada Saling Bermaaf-maafan
’Umumnya dalam mudik Idul Fitri juga ada tradisi bermaaf-maafan yang dilakukan usai shalat ‘Idul Fitri, dimana tua muda laki-laki dan perempuan saling bermaaf-maafan, sembari berkunjung untuk meminta maaf sebagai sesama Insan yang tidak luput dari salah dan silap yang pernah dilakukan.
Pada hari yang mulia tersebut jangan ragu-ragu untuk mengakui kekhilafan dan kesalahan yang mungkin pernah kita lakukan kepada sesama saudara kita muslim atau bukan.
Mungkin ada perasaan hasad dengki, khianat, ataupun berbagai kejahatan dan penganiaayaan yang pernah kita lakukan, maka mohonkanlah maaf.
Insya-Allah dihari baik dan bulan baik ini orang akan mudah memaafkannya.
Rasulullah saw bersabda, “Maukah kamu aku beri tahu tentang derajat yang lebih utama, dari derajat sholat, puasa dan sedekah?”
Para sahabat menjawab: “Bahkan mau” Rasulullah bersabda: “Mendamaikan antara dua orang yang berselisih, karena perselisihan antara dua manusia itulah yang membawa kehancuran.” (H.R.Abu Daud dan Tirmizi)
5. Jika Mudik Saling Berbagi Rezeki (sedekah)
Dalam mudik, biasanya orang kota menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk ia sedekahkan di kampung halamannya.
Jadi dalam tradisi mudik kita saling berbagi rezeki kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Bahkan menurut laporan pemerintah dana sebesar 20 Triliun mengalir dari kota ke desa-desa.
Dari Abu Umamah r.a., Nabi saw. bersabda, “Wahai anak Adam, seandainya engkau berikan kelebihan dari hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu. Dan seandainya engkau kikir, yang demikian itu buruk bagimu. Menyimpan sekadar untuk keperluan tidaklah dicela, dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggung jawabmu.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lainnya Rasulullah saw. bersabda, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Allah swt. akan menambah kemuliaan kepada hamba-Nya yang pemaaf. Dan bagi hamba yang tawadhu’ karena Allah swt., Allah swt. akan mengangkat (derajatnya). (HR. Muslim)
Dalam hadist Qudsi Allah Tabaraka wata’ala berfirman: “Hai anak Adam, infaklah (nafkahkanlah hartamu), niscaya Aku memberikan nafkah kepadamu.” (HR. Muslim)
 
Oleh : Imam Puji Hartono
Edited : Aliman

Adab dan Doa Safar (Berpergian)

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Adab Safar
Apabila seorang muslim hendak melakukan safar / perjalanan mudik maka hendaknya memperhatikan adab-adab safar berikut ini:
1. Jika terdiri dari dua orang atau lebih, maka harus diangkat seorang ketua rombongan.
2. Sebelum berangkat dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rakaat.
3. Berdoalah kepada Allah untuk memohon keselamatan dirinya, keluarga yang ditinggal dan kaum muslimin, seperti:
اللَّهُمَّ بِكَ أسْتَعِينُ وَعَلَيْكَ أتَوَكَّلُ؛ اللَّهُمَّ ذَلِّلْ لي صعُوبَةَ أمْرِي، وَسَهِّلْ عَليَّ مَشَقَّةَ سَفَرِي، وَارْزُقْنِي مِنَ الخَيْرِ أكْثَرَ مِمَّا أطْلُبُ، وَاصْرِفْ عَنِّي كُلَّ شَرٍّ. رَبّ اشْرَحْ لي صَدْرِي، وَيَسِّرْ لِي أمْرِي، اللَّهُمَّ إني أسْتَحْفِظُكَ وأسْتَوْدِعُكَ نَفْسِي وَدِينِي وأهْلِي وأقارِبي وكُلَّ ما أنْعَمْتَ عَليَّ وَعَليْهِمْ بِهِ مِنْ آخِرَةٍ وَدُنْيا، فاحْفَظْنَا أجمعَينَ مِنْ كُلّ سُوءٍ يا كَرِيمُ.
Ya Allah, kepada-Mu aku memohon dan bertawakkal, ya Allah mudahkan urusanku, gampangkan kesusahan safarku, berilah rezeki padaku berupa kebaikan yang lebih banyak dari yang aku minta, jauhkan dariku segala keburukan. Ya Rabb lapangkan dadaku, mudahkan urusanku. Ya Allah aku memohon perlindungan-Mu, dan menitipkan diriku, agamaku, keluargaku, kerabatku dan nikmat yang telah Engkau berikan padaku dan pada mereka dalam hal akhirat dan dunia, dan jagalah kami semua dari setiap keburukan ya Karim.”
Memberi wasiat (nasehat) dan meminta wasiat, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw  dan para sahabatnya. Dikatakan  Ibnu Umar pada Qoz’ah: ”Kemarilah saya akan melepasmu sebagaimana Rasulullah Saw  melepasku (saat akan bepergian):
“أسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وأمانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ”.
Saya titipkan pada Allah dinmu, amanatmu, dan akhir amalmu (HR Abu Dawud).
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, datang seseorang kepada Nabi SAW  dan berkata:
Wahai Rasulullah Saw saya akan bepergian, maka bekalilah saya! Rasulullah Saw  bersabda: Semoga Allah membekali engkau dengan taqwa. Tambahlah!. Semoga Allah mengampuni dosamu. Tambahlah!. Semoga Allah memudahkanmu dimana saja engkau berada.”
4. Saat dalam perjalanan harus menjaga shalatnya, memberi hak tubuh untuk istirahat, tidak membebani kendaraan melebihi kapasitas dan mematuhi peraturan lalu lintas.
5. Menggunakan waktunya pada sesuatu yang baik dan bermanfaat, seperti memperbanyak dzikir dan doa, membaca al-Quran, membaca buku, tafakur alam, mendengarkan nasyid (lagu-lagu Islami) dan lain-lain.
6. Jangan melakukan kemaksiatan, dan mengupayakan agar suasana di kendaraan menjadi Islami, dengan tidak berkata kasar dan sabar saat perjalanan serta memberi salam.
Doa Safar
Doa Keluar Rumah
بِسْمِ الله تَوَكّلْتُ عَلَى الله، لا حَوْلَ وَلا قُوّةَ إِلاّ بالله
Artinya: ”Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah”.
Do’a Naik Kendaraan dan Safar
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ . اللَّهُمَّ إنَّا نَسألُكَ فِي سفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنْ العَمَلِ ما تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوّنْ عَلَيْنا سَفَرَنَا هَذَا، وَاطْوِ عَنّا بُعْدَهُ. اللَّهُمَّ أنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالخَلِيفَةُ في الأهْلِ. اللَّهُمَّ إني أعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثاءِ السَّفَرِ وكآبَةِ المَنْظَرِ وَسُوءِ المُنْقَلَبِ في المَالِ والأهْلِ. وإذا رَجع قالهنّ وزاد فيهنّ: آيِبُونَ تائبُونَ عابدُونَ لرَبِّنَا حامِدُون”
Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dalam safar ini kebaikan dan ketaqwaan, dan dari amal yang Engkau ridhai. Ya Allah mudahkan safar kami, dan pendekkan jauhnya perjalanan. Ya Allah Engkau teman dalam safar dan pemimpin keluarga. Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari susahnya safar, kesedihan dan buruknya kesudahan pada harta dan keluarga. Jika akan pulang maka baca do’a serupa dan ditambah: ”Kami kembali, bertaubat, beribadah dan memuji kepada Allah”.
Ketika kendaraan yang dinaiki adalah kapal laut, maka membaca do’a:
بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ(41)
Artinya: ”Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ(67)
Artinya:” Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan (QS Az-Zumaar : 69)
 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Musafir, Manakah yang lebih Utama : Puasa atau Tidak?

Oleh : Sayyid Sabiq
Abu Hanifah, Syafi’i, dan Malik berpendapat bahwa berpuasa lebih utama bagi yang kuat melakukannya, sedangkan berbuka lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa. Ahmad berpendapat bahwa berbuka lebih utama. Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa yang lebih utama adalah yang lebih mudah. Jika ia kesulitan dalam mengqadha dan lebih mudah jika berpuasa di hari-hari Ramadhan, maka ia lebih baik berpuasa.
Syaukani berpendapat, jika berpuasa akan memberatkannya atau membahayakan keselamatannya, maka tidak berpuasa lebih baik baginya. Begitu juga dengan orang yang menolak menerima rukhshah, tidak berpuasa lebih baik baginya. Demikian juga dengan orang yang khawatir akan merasa ujub atau riya jika berpuasa saat musafir, maka ia lebih baik tidak puasa. Namun, jika semua hal di atas bisa dihindari, maka ia lebih baik berpuasa.
Jika seorang musafir meniatkan puasa di malam hari, lalu pagi harinya ia sudah mulai puasa, tidak mengapa jika setelah itu ia membatalkan puasanya. Jabir bin Abdullah ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pergi ke Mekah pada saat Penaklukan Mekah. Beliau berpuasa hingga tiba ke dekat lembah  Ghamime (sebuah lembah dekat perkampungan Asfan) dan orang-orang pun ikut berpuasa. Lalu ada yang berkata kepada Nabi,
Orang-orang keberatan jika harus meneruskan puasa. Mereka menunggu apa yang akan engkau lakukan.” Maka Nabi saw. meminta segelas air, lalu meminumnya. Ini terjadi setelah ashar. Melihat Nabi membatalkan puasanya, ada yang ikut membatalkan puasa mereka dan ada yang melanjutkan puasa mereka. Ketika Nabi mendengar bahwa ada yang masih berpuasa, beliau bersabda, “Mereka itu para pembangkang.” (H.R. Muslim, Nasa’i, dan Tirmidzi) Tirmidzi menshahihkan riwayat ini.
Adapun jika berniat puasa saat mukim, lalu melakukan perjalanan (musafir) di siang hari, maka jumhur ulama berpendapat, “Ia tidak boleh membatalkan puasanya.”
Sementara itu, Ahmad dan Ishaq membolehkannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa Muhammad bin Ka’ab meriwayatkan, “Pada bulan Ramadhan, aku datang kepada Anas bin Malik yang hendak musafir. Kendaraannya telah siap, dan ia juga telah mengenakan pakaian musafir. Ia minta disediakan makanan, lalu ia makan. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah ini sunah?’ Ia menjawab, ‘Ya’ Kemudian ia menaiki kendaraannya.
Ubaid bin Jubair menceritakan, “Di suatu bulan Ramadhan, aku berlayar dengan sebuah kapal bersama Abu Bashrah Al-Ghifari dari kota Fustot (Mesir kuno). Ia mengemudikan perahu layarnya. Kemudian ia mendekatkan makan siangnya. Ia berkata,
Mendekatlah.’ Aku bertanya, ‘ Bukankah engkau masih berada di perkampungan?’ Abu Basrah menjawab, ‘Apakah engkau membenci ajaran Rasulullah saw.?'” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud) Sanadnya terdiri dari orang-orang yang terpercaya.
Syaukani berkata, “Kedua hadits di atas menegaskan bahwa seorang musafir diperbolehkan membatalkan puasanya sebelum keluar dari kampungnya. Ibnu Arabi berkata, “Hadits Anas di atas shahih, yang berarti boleh membatalkan puasa bagi orang yang benar-benar sudah siap berangkat melakukan perjalanan jauh.’ Inilah pendapat yang benar.”
Perjalanan jauh (safar) yang diperbolehkan tidak puasa adalah safar yang diperbolehkan shalat qashar. Begitu juga jangka waktu dibolehkannya tidak puasa adalah sama dengan jangka waktu dibolehkannya shalat qashar.
Mansur Al-Kalbi meriwayatkan bahwa suatu ketika di bulan Ramadhan, Dihyah bin Khalifah berpergian dari sebuah kampung di Damaskus. Jarak tempuh perjalanannya sama dengan jarak antara Fustot ke Uqbah (kurang lebih satu farsakh). Saat itu, ia membatalkan puasanya. Sebagian rombongan ikut membatalkan puasa, namun sebagian yang lain tidak mau membatalkan puasa mereka. Ketika sudah sampai di kampungnya, ia berkata,
Hari ini aku melihat satu perkara. Aku tidak mengira akan melihatnya. Ada sekelompok orang yang tidak suka dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.” Ia mengatakannya kepada mereka yang tetap berpuasa. Setelah itu ia berkata, “Ya Allah, kembalikan aku kepada-Mu.” (Semua perawi hadits ini dapat dipercaya, kecuali Manshur Al-Kalbi. Tetapi Al-Ajali menegaskan bahwa ia bisa dipercaya)
 
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat

X