Panduan Shalat Tarawih (bagian 3-akhir)

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Ibadah yang sangat ditekankan Rasulullah Saw di malam Ramadhan adalah Qiyam Ramadhan. Qiyam Ramadhan diisi dengan shalat malam atau yang biasa dikenal dengan shalat tarawih. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ قامَ رَمَضانَ إيماناً واحْتِسَاباً غُفِرَ لهُ ما تَقدّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”
Barangsiapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan penuh iman dan perhitungan, maka diampuni dosanya yang telah lalu” (Muttafaqun ‘aliahi).
Cara Melaksanakan Shalat Tarawih
Dalam hadits Bukhari riwayat Aisyah menjelaskan bahwa cara Nabi Saw dalam menjalankan shalat malam adalah :
Dengan melakukan tiga kali salam, masing-masing terdiri 4 rakaat yang sangat panjang ditambah 4 rakaat yang panjang pula, ditambah 3 rakaat sebagai penutup (Lihat Fathul Bari : Ibid).
Bentuk lain yang merupakan penegasan secara qauli dan fili juga menunjukkan bahwa shalat malam dapat pula dilakukan dua rakaat-dua rakaat dan ditutup satu rakaat.
Ibnu Umar ra menceritakan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw tentang cara Rasulullah Saw mendirikan shalat malam, beliau menjawab: ”Shalat malam didirikan dua rakaat-dua rakaat jika ia khawatir akan tibanya waktu Shubuh, maka hendaknya menutup dengan satu rakaat (Mutaffaq alaihi al-Lulu wal Marjan : 432).
Hal ini ditegaskan filiyah Nabi Saw dalam hadits Muslim dan Malik ra (lihat Syarh Shahih Muslim 6/ 46-47; Muwatha dalam Tanwir: 143-144).
Dari sini Ibnu Hajar menegaskan bahwa Nabi Saw terkadang melakukan witir/penutup shalatnya dengan satu rakaat dan terkadang menutupnya dengan tiga rakaat.
Dengan demikian shalat malam termasuk tarawih dapat didirikan dengan :

  • Dua rakaat-dua rakaat dan ditutup dengan satu rakaat
  • Atau bisa juga empat rakaat-empat rakaat dan ditutup dengan 3 rakaat.

Demikian penjelasan seputar shalat tarawih dalam perspektif Islam. Semoga Allah Saw memberkahi dan selalu mengkaruniakan kesatuan dan persatuan umat melalui ibadah yang mulia ini.
Baca juga:
Panduan Shalat Tarawih (bagian 1)
Panduan Shalat Tarawih (bagian 2)
Sumber:
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Pilar-Pilar Kesempurnaan Puasa Umat Islam

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Shaum atau shiyam bermakna menahan (al-imsaak), dan menahan itulah aktivitas inti dari puasa. Menahan makan dan minum serta segala macam yang membatalkannya dari mulai terbit fajar sampai tenggelam matahari dengan diiringi niat. Jika aktivitas menahan ini dapat dilakukan dengan baik, maka seorang muslim memiliki kemampuan pengendalian, yaitu pengendalian diri dari segala hal yang diharamkan Allah.
Al-Quran menjelaskan bahwa ibadah puasa adalah ibadah alamiyah (universal) yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Bahkan tradisi puasa juga dilakukan oleh binatang-binatang. Hakikat ini mengantarkan pada kita bahwa puasa adalah suatu aktivitas yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menuju tingkat kesempurnaannya.
Oleh karena itu orang-orang beriman harus mengetahui segala hal yang terkait dengan puasa, sehingga ibadah itu dapat menghasilkan sesuatu yang paling maksimal dalam kehidupan dirinya, keluarga dan  masyarakat. Baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam berpuasa, orang beriman tentunya harus mengikuti tuntunan Rasul Saw atau sesuai dengan adab-adab Islam sehingga puasanya benar. Dalam hal ini bahwa yang harus diperbanyak dalam bulan Ramadhan adalah ibadah, bukan makan atau memindahkan jadwal makan, apalagi daftar dan menu makan lebih banyak dari hari biasa. Pilar-pilar di bawah ini yang dapat mengantarkan kesempurnaan puasa umat Islam.
1. Memahami Fiqih Shiyam (Puasa)
Setiap ibadah dalam Islam pasti ada fiqihnya, begitu juga shiyam. Maka memahami fiqih dalam setiap ibadah adalah suatu keniscayaan yang tidak boleh ditinggalkan orang-orang beriman.
Dengan fiqih inilah, puasa yang dilakuakan oleh umat Islam benar-benar bernilai ibadah dan bukan tradisi yang dilakukan hanya sekedar ikut-ikutan tanpa mengetahui adab-adabnya dan segala sesuatu yang terkait dengan puasa.
Bukankah banyak umat Islam yang berpuasa cuma mengikuti arus orang banyak dan tradisi yang berjalan secara turun temurun?
Di beberapa daerah di Indonesia, setelah sahur, masyarakat turun ke jalan, sebagiannya tidak shalat Shubuh. Jalan-jalan ke sana kemari tidak ada sasaran yang jelas, kecuali menghabiskan waktu. Bahkan sebagian mereka — mungkin sebagian besar — berjalan-jalan dengan lawan jenisnya, bukan suami-istri. Tradisi yang lain jalan-jalan menunggu waktu berbuka, bahasa Sundanya  ngabuburit. Tradisi lain main-main di masjid saat shalat tarawih, atau menyimpan banyak sekali daftar makanan. Tradisi yang buruk dan membahayakan adalah main petasan dan masih banyak lagi.
Puasa bukanlah sekedar tidak makan dan tidak minum, tapi ada rambu-tambu kehidupan yang harus ditaati, sehingga puasa itu menjadi sarana tarbiyyah (pendidikan) menuju kehidupan yang bertaqwa kepada Allah Swt. Puasa seperti inilah yang bisa menghapus dosa seorang muslim, Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيماناً واحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ ما تَقَدّمَ مِنْ ذَنْبِهِ،
Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan sepenuh iman dan kesungguhan, maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukan.” (HR. Bukhari dan Muslim ).
2. Mengetahui awal dan akhir Ramadhan dengan benar.
Salah satu yang prinsip dan harus diketahui oleh setiap muslim adalah pengetahun tentang awal dan akhir Ramadhan, sehingga ibadah yang dilakukannya sesuai sunnah Rasul saw . dalam beberapa hadits Rasulullah saw . telah menetapkan awal dan akhir Ramadhan, beliau bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيتِهِ وأَفْطِرُوا لِرُؤْيتِهِ فإِن غُمّ عَلَيْكُم فَأكْمِلُوا العِدة
Artinya: ”Puasalah kamu jika melihat bulan, dan berbukalah kamu jika melihat bulan. Jika terhalang (mendung) maka sempurnakan bilangannya” (Muttafaqun ‘alaihi).
Pembahasan penentuan awal dan akhir Ramadhan telah dilakukan secara rinci sebelumnya
3. Tidak berbuka tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam.
Seorang muslim yang di bulan Ramadhan tidak berpuasa atau berbuka tanpa alasan syari, maka dia telah melakukan dosa besar. Karena puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam. Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ رُخْصَةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ عنهُ صَوْمُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ”
Barangsiapa tidak puasa pada bulan Ramadhan sekalipun sehari tanpa alasan rukhshah atau sakit, hal itu (merupakan dosa besar) yang tidak bisa ditebus, bahkan seandainya ia berpuasa selama satu tahun (HR.At-Turmudzi).
4. Menjauhi hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menggugurkan nilai shiyam
Puasa merupakan pengendalian diri dari segala sesuatu yang haram, syubhat, dan perkataan serta perbuatan yang tidak terpuji. Sehingga orang-orang beriman harus berusaha semaksimal mungkin menjaga puasanya dan tidak dirusak dengan perkataan dan perbuatan yang tidak terkait dengan nilai ibadah, khususnya ibadah puasa. Rasulullah bersabda bahwa:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لله حَاجَةٌ في أنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang selama berpuasa tidak juga meninggalkan kata-kata bohong bahkan mempraktekkannya, maka tidak ada nilainya bagi Allah, apa yang ia sangkakan sebagai puasa, yaitu sekedar meninggalkan makan dan minum” (HR.Bukhari dan Muslim).
5. Bersungguh-sungguh puasa karena Allah SWT dengan keyakinan penuh akan kebaikan-kebaikannya
Rasulullah Saw. bersabda:
من صام يوما في سبيل الله بعد الله وجهه عن النار سبعين خريفا
Barangsiapa berpuasa sehari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka selama 70 tahun” (Muttafaqun ‘alaihi).
6. Bersahur
Makan pada waktu sahur adalah berkah. Bagi orang yang hendak berpuasa, disunnahkan untuk makan sahur pada saat sebelum tiba waktu subuh (fajar), sahur merupakan makanan yang berkah (Al-ghada’ al-mubarak). Dalam hal ini Rasulullah bersabda bahwa :
“تسحروا فإن في السحور بركة
Makan sahurlah, karena pada makan sahur ada keberkahan” (HR Muslim)
السحور أكلة بركة فلا تَدَعوه ولو أن أحدكم تجرَّع جرعة ماء، فإن اللّه وملائكته يصلون على المتسحرين” (رواه الإمام أحمد عن أبي سعيد الخدري)
Makanan sahur semuanya bernilai berkah, maka jangan kalian tinggalkan, sekalipun hanya dengan seteguk air. Allah dan para Malaikat mengucapkan salam kepada orang-orang yang makan sahur (HR. Ahmad).
7. Ifthar (berbuka puasa)
Ketika waktu Maghrib telah tiba, yakni saat matahari telah terbenam, maka saat itulah waktu berbuka. Sangat ditekankan kepada orang yang berpuasa untuk segera berbuka puasa.
Rasulullah pernah menyampaikan bahwa salah satu indikasi kebaikan umat, manakala mereka mengikuti sunnah dengan mendahulukan ifthar dan mengakhirkan sahur.
Sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya termasuk hamba Allah yang paling dicintai oleh-Nya ialah mereka yang bersegera berbuka puasa.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bahkan beliau mendahulukan ifthar, walaupun hanya dengan ruthab (kurma mengkal), atau tamar (kurma), atau air saja (HR. Abu Daud dan Ahmad).
8. Berdoa
Sesudah menyelesaikan ibadah puasa dengan berifthar, Rasulullah Saw sebagaimana yang beliau lakukan sesudah menyelesaikan suatu ibadah, dan sebagai wujud syukur kepada Allah, beliau membaca doa sebagai berikut:
عن أنس قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : بسم الله اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطر ت. وزاد ابن عباس وقال: فتقبل مني إنك انت السميع العليم.
وعن ابن عمر قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا افطر قال : ذهب الظمأ وابتلـت العروق وثبت الاجر إن شاء الله
Ya Allah, karena Engkau kami berpuasa, dan atas rezeki-Mu kami berbuka”, dan ditambahkan oleh Ibnu Abbas: “Maka terimalah doaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Dan dari Ibnu Umar menceritakan ketika Rasulullah Saw berbuka, beliau mengucapkan: Telah hilang rasa haus dan basahlah tenggorokan serta ditetapkanlah ganjaran, atas kehendak Allah.”
Rasulullah bahkan mensyariatkan agar orang-orang yang berpuasa banyak memanjatkan doa, sebab doa mereka akan dikabulkan oleh Allah.
Dalam hal ini beliau pernah bersabda bahwa, “Ada tiga kelompok manusia yang doanya tidak ditolak oleh Allah. Yang pertama ialah doa orang-orang yang berpuasa, sehingga mereka berbuka.” (HR.Ahmad dan Turmudzi).
(Baca juga: Orang Yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa dan Wajib Membayar Fidyah)
Sumber:
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Panduan Shalat Tarawih (bagian 2)

Jumlah Rakaat Tarawih
Dalam riwayat Bukhari tidak menyebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan tarawih.
Demikian juga riwayat ‘Aisyah -yang menjelaskan tentang tiga malam Nabi Saw mendirikan tarawih bersama para sahabat- tidak menyebutkan jumlah rakaatnya, sekalipun dalam riwayat ‘Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya pembedaan oleh Nabi Saw tentang jumlah rakaat shalat malam, baik di dalam maupun di luar Ramadhan.
Namun riwayat ini tampak pada konteks yang lebih umum yaitu shalat malam. Hal itu terlihat pada kecenderungan para ulama yang meletakkan riwayat ini pada bab shalat malam secara umum.
Misalnya Imam Bukhari meletakkannya pada bab shalat tahajud, Imam Malik dalam Muwatha’ pada bab shalat witir Nabi Saw (lihat Fathul Bari 4/250; Muwatha’ dalam Tanwir Hawalaik: 141).
Hal tersebut memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39 rakaat.
Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat berikut:
a. Hadits Aisyah:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
Artinya: “Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan” (lihat al-Fath : ibid).
b. Imam Malik dalam Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari untuk  melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang.
Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman dinyatakan bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat (lihat al-Muwatha’ dalam Tanwirul Hawalaik: 138).
c. Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir).
Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan asy-Syafi’i (lihat Fiqhu Sunnah: 1/195).
d. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya (al-Fath: ibid ).
e. Imam asy-Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat. Sedangkan di Makkah 33 rakaat. Dan menurutnya  hal tersebut memang memiliki kelonggaran (al-Fath : ibid).
Dari riwayat diatas jelas bahwa akar persoalan dalam jumlah rakaat tarawih bukanlah persoalan jumlah melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan.
Ibnu Hajar berpendapat: “Bahwa perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya”.
Hal  senada juga diungkapkan oleh Imam Asy-Syafi’i: “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Jika shalatnya pendek dan jumlah rakaatnya  banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama”.
Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa :

  • Orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Saw.
  • Dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar Ra
  • Sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh Salafus shalih dari generasi sahabat dan tabi’in.

Bahkan menurut Imam Malik ra hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad ra bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250 dan seterusnya).
Imam az-Zarqani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat  yang sangat panjang.
Namun menjadi bergeser pada 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan dalam mendirikannya oleh umat Islam.
Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama (Lihat hasyiah Fiqhu Sunnah : 1/195).
Dengan demikian tidak ada alasan yang mendasar untuk saling memperdebatkan satu dengan yang lain dalam jumlah shalat tarawih, apalagi menjadi sebab perpecahan umat. Padahal persatuan umat adalah sesuatu yang wajib.
Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi perhatian dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media yang komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin, sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersama-Nya di manapun berada.
*bersambung
 
Sumber :
Buku Panduan Lengkap Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center

Perkara yang Membatalkan Puasa

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Perkara yang membatalkan puasa dan mengharuskan untuk qadha (diganti dihari lain),
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Jika makan dan minum itu dilakukan tidak dengan sengaja, seperti lupa maka tidak membatalkan puasa, dan tidak mengharuskan untuk diqadha. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:
” من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله وسقاه ” رواه الجماعة
Barangsiapa yang lupa sedangkan ia sedang berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka teruskan puasanya, karena ia telah diberi makanan dan minuman oleh Allah Swt.”
Hal yang sama juga, minuman atau obat-obatan yang bisa berfungsi seperti makanan, seperti infus, vitamin, dan lainnya.
2. Muntah dengan sengaja.
Jika muntah tanpa sengaja, maka puasanya tidak batal, dan tidak wajib diqadha. Seperti yang disabdakan oleh Nabi Saw:
” من ذرعه القيء فليس عليه قضاء ، ومن استقاه عمدا فليقض ” رواه أحمد وأبو داود وابن ماجة والحاكم وصححه
“Barangsiapa yang muntah dengan tidak sengaja, maka tidak diwajibkan baginya qadha, dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengqadha”.
(Baca juga: Beberapa Hal Makruh dalam Puasa)
3. Haidh dan nifas
Walaupun sedikit dan terjadi sesaat menjelang terbenamnya matahari.
4. Istimna’
Yaitu mengeluarkan air mani dengan sengaja, baik dengan onani, mengkhayal, atau mencium isterinya.
5. Memasukkan sesuatu yang bukan makanan pokok melalui lubang yang bisa sampai ke perut besar, seperti gula, garam, mentega, dan lain lain.
6. Makan, minum dan bersetubuh dengan meyakini bahwa matahari sudah terbenam atau fajar belum terbit, ternyata sebaliknya, matahari belum terbenam atau fajar sudah terbit.
Dalam keadaan seperti ini batallah puasa dan baginya wajib mengqadhanya di kemudian hari.
Sumber :
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center

Beberapa Hal Makruh dalam Puasa

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Hal hal yang dimakruhkan ketika berpuasa adalah
1. Puasa wishal (puasa dua hari bersambung tanpa makan -berbuka/sahur).
Hal ini makruh menurut mayoritas ulama, dan haram menurut madzhab Syafi’i. Dikecualikan bagi diri Nabi Muhammad Saw yang hukumnya boleh, sebagaimana yang termuat dalam haditsnya Ibnu Umar:
” واصل رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان، فواصل الناس، فنهى رسول الله عن الوصال ، فقالوا : إنك تواصل ؟ قال : إني لست كأحدكم ، إني أظل يطعمني ربي ويسقيني ” متفق عليه
Rasulullah Saw melakukan puasa wishal pada bulan Ramadhan, maka orang-orang pun ikut melakukan wishal, kemudian Nabi melarang mereka agar tidak melakukan wishal. Mereka berkata: “Tapi, engkau melakukan wishal?”. Beliau bersabda: “Aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum oleh Allah“. (Muttafaqun alaih).
2. Melakukan hubungan mesra
Yakni dengan suami/isteri tanpa bersetubuh seperti mencium, meraba, dan lain lain. Karena dikhawatirkan bisa mengeluarkan air mani yang bisa membatalkan puasa. Dan dikhawatirkan jatuh dalam persetubuhan yang haram untuk dilakukan saat puasa, yang bisa memberatkan dalam hukuman batalnya puasa.
3. Berlebih-lebihan dalam melakukan hal yang  mubah, seperti mencium wangi-wangian di siang hari bulan Ramadhan.
(Baca juga: Hal-hal yang Disunnahkan dalam Puasa)
4. Mencicipi makanan
Karena dikhawatirkan bisa tertelan dan bisa tercampur ludah yang kemudian tertelan.
5. Berkumur dan istinsyaq (menghirup air dengan hidung) secara berlebihan
Karena dikhawatirkan bisa tertelan yang mengakibatkan puasanya menjadi batal.
Sumber :
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center
 

X