Tiap Pemilik Ilmu Ada yang Lebih Berilmu

Kisahnya terjadi pada suatu musim haji. Saat itu berhimpunlah tiga ulama ahlul: Ishaq bin Rahawayh, Ahmad dan Yahya bin Ma’in. Mereka hendak menemui Imam Abdurrazaq, penulis Al Mushannaf. Tetapi di pintu Masjidil Haram terlihat seorang pemuda berwibawa. Dia duduk dikursi indah dan dikelilingi oleh begitu banyak orang yang bergantian menanyakan berbagai macam persoalan dan fiqih.
Ketiga alim itu bertanya, “Siapakah pemuda ini?” Seseorang menjawab, “Fakihnya Quraisy dari Bani Muthalib, Muhammad bin Idris.” Selama ini ketiganya baru mendengar nama Asy Syafi’i yang mahsyur; baru pertama kali ini mereka melihatnya. Sungguh masih muda dan tawadhu. Yahya bin Ma’in pakar dalam Jahr wat Ta’dil (ilmu kritik kelayakan rawi) segera menyuruh Imam Ahmad menguji Imam Syafi’i. “Tanyakan padanya tentang perkataan Nabi saw: ‘Biarkan burung dalam sangkarnya!‘” ujar Yahya (H.R. Abu Dawud 2835, Ahmad 6/381-422, Al Humaidi 345, Ath Thayalisi 1634, At Tirmidzi 1516, An Nasa’i 7/164, Ibnu Majah 3163)
Ahmad menanyai Yahya, “Apa tafsirnya?” Kata Yahya, “Sepahamku, biarkanlah burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.” Imam Ahmad tersenyum, sebab tafsir itu darinya. Ishaq bin Rahawayh menyahut, “Baiklah, aku yang akan menanyai!” Maka dia memanggil Syafi’i, “Wahai pemuda Bani Muthalib!”
“Ya wahai alimnya orang Persia!” sahut Asy Syafi’i. Lalu Ishaq menanyakan tafsir itu. Yang ditanya tersenyum tawadhu. “Aku mendengar bahwa sahabat kalian Ahmad bin Hambal menafsirkannya sebagai : biarkan burung dalam sarangannya, yakni pada malam hari.
” Adapun aku”, lanjut Asy Syafi’i, “mendapatkan itu dari Sufyan bin Uyainah. Ketika itu aku telah menanyakan tafsirnya.” Tetapi Ibnu Uyainah menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa maksud ini.” Aku berkata, “Rahimakallah, ya Aba Muhammad.”
Maka,” sambung Asy Syafi’i, “Ibnu Uyainah mengamit tanganku dan mendudukanku dikursinya. Ujarnya, ” Ajari kami apa tafsirnya!”
Maka Asy Syafi’i saat itu dengan penuh ta’zhim membahas tafsirnya. Dia berkata, “Dahulu, orang Jahiliyah jika hendak berpergian menangkap burung, lalu melepaskannya lagi dengan mantra. Jika burungnya terbang ke kanan, ia anggap pertanda baik. Mereka akan melangsungkan perjalanannya. Tetapi jika si burung terbang ke kiri atau ke belakang, ia dianggap pertanda buruk sehingga mereka mengurungkan niat safarnya.
Ketika Rasulullah melihat hal ini (tathayyur) masih tradisi, maka sabdanya, “Biarkan burung didalam sarangnya. Berangkatlah pada pagi hari dengan menyebut asma Allah.” Demikian Asy Syafi’i bertutur.
Para ulama yang hadir berdecak takjub akan ilmu Asy Syafi’i. Ishaq bin Rahawayh tersenyum pada dua rekannya dan berkata, “Demi Allah, andaikan kita datang jauh-jauh dari Iraq hanya untuk mendengar makna ini saja, cukuplah itu bagi kita!” Ahmad mengangguk. Lalu berkatalah Ahmad dengan menukil Surat Yusuf ayat 76, “Wa fauqa kulli dzii ‘ilmi ‘aliim” (Dan tiap-tiap pemilik ilmu ada yang lebih berilmu -red). Manaqib Asy Syafi’i, Al Baihaqi, 1/38
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media

X