Memuliakan Ibu

Berkata Nabi Isa as, “Dia perintahkan aku bershalat dan zakat semasih hidupku, dan berbakti kepada ibuku …” (Q.S. Maryam : 31-32)
Ada pemuda yang berbakti pada ibu dimasa Umar ra. Dia menyuapi ibunya, mengipasinya, mengelap peluh, memandikan dan urus segala hajatnya. Pemuda itu gendong ibunya sepanjang jalan. Tiap henti, dia merangkak lengkukan badan. Lindungi ibunya dari mentari dan terpaaan hujan.
Rahim adalah nama Allah, disandang nama itu dalam tubuh ibu. Seperti Imam Syafi’i dimana cinta ibunya menumbuhkannya jadi alim ulama mahsyur. Sebagai balas fikihnya Imam Syafi’i dinamakan Al Umm (Sang Ibunda).
Umar ra pernah berkata, “Cukupkah ini untuk membalas kebaikan ibu diwaktu kecil?” tanyanya. “Tidak, sama sekali tidak!” jawab Umar berkaca-kaca.
“Sebab ibumu dulu lakukan semua itu sambil mendoa bagi kehidupanmu. Sementara engkau kini melakukannya sembari menanti kematiannya.” terangnya.
Sebagaimana Aisyah. Dia ummul mukminin, ibu dari semua orang beriman. Tersebab apakah ia mengandung, melahirkan, menyusui? Tidak. Aisyah tak diberi Allah luap rasa hakikat ibu itu. Tetapi wawasan dan bimbingannya kepada sahabat lain menjadikannya ibunda muslimin kala itu.
Allah menjawab doa hamba-Nya disaat panggilan ibu itu tak segera hadir. Istri Ibrahim dipenantian panjang usia udzur dengan melahirkan si shalih Ishaq as, istri Imran dengan si suci Maryam, istri Zakariya as dengan si alim Yahya as. Mereka rayakan syukur karunia setelah menunggu lama, tubuh senja, uban memutih, doa mengiba, dan rasa yang tersembilu.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

X