Fatwa Al Azhar Mesir : Apa Hukumnya Mengingkari Ijma’, Qiyas dan Perkataan Sahabat serta Hukum Mengikuti Salah Satu dari 4 Madzhab?

Pertanyaan : Ada sebagian orang menamakan diri mereka dengan Ahlul Qur’an dan Hadits atau Ahlu At-Tauhid, sedangkan mereka memiliki beberapa prinsip :

  1. Mengingkari Ijma’ dan Qiyas sebagai hujjah
  2. Dilarang mengikuti salah satu mazhab dari mazhab yang empat atau lainnya dan mewajibkan kepada setiap orang untuk berijtihad walupun mereka tidak mengerti bahasa Arab.
  3. Tidak membolehkan berhujjah dengan perkataan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum karena mereka mengklaim bahwa para sahabat telah menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallim.

 
Jawaban :
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah washsholatu wassalaamu ‘ala sayyidina Rasulillah SAW.
Pernyataan sesat tersebut tidak boleh dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak juga kepada Ahlul Hadits dan Ahlurra’yi, bahkan tidak termasuk ke dalam salah satu mazhab yang ada di dalam Islam.
Sesuai dengan kesepakatan para ulama bahwa Ijma’ adalah salah satu hukum Islam yang sudah jelas kedudukannya, yang tidak boleh dilanggar. Ia telah menjadi identitas Islam dan merupakan bagian dari Islam yang diketahui secara pasti.
Adapun dalil yang berkaitan dengan hal tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa’ : 115).
Hadits-hadits yang telah di riwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa umat Islam tidak akan bersepakat (berijma’) dalam kesesatan.
Demikian juga kalangan yang menerima adanya Qiyas dari kalangan Fuqaha’ telah sepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah dengan syarat-syarat tertentu yang telah digariskan di dalam kitab-kitab ushul. Bahkan sekelompok dari Fuqaha’ berfatwa bahwasanya kalau seandainya para Fuqaha’ diberikan harta wakaf, maka golongan yang mengingkari qiyas tidak berhak mendapakan bagian darinya.
Sedangkan sebuah pernyataan yang mewajibkan ijtihad bagi setiap orang, walaupun orang tersebut tidak mengerti bahasa Arab dan pernyataan yang mengharamkan taqlid (mengikuti) mazhab yang empat dan yang lainnya, itu semua adalah sebuah sikap yang bodoh yang tidak pantas disematkan kepada orang-orang yang berakal. Karena membebankan orang-orang awam untuk berijtihad sama dengan membebankan orang yang lumpuh untuk melakukan penerbangan, dan Itu adalah kewajiban di luar batas kemampuan.
Apabila ia berpendapat bahwa mengikuti mazhab yang empat adalah perbuatan yang haram, maka hal ini sama saja dengan melakukan penghancuran terhadap pondasi-pondasi Islam atas nama Islam, dan menghilangkan sunnah dengan klaim bahwa ia berpegang kepada sunnah. Dengan demikian, para ulama wajib melakukan intervensi untuk memerangi fitnah tersebut, yang telah menyebarkan pernyataan-pernyataan sesat.
Adapun yang berkaitan dengan hujjah atau tidaknya perkataan para sahabat yang berselisih, maka itu termasuk perkara khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, yang mana pembahasan tentang hal tersebut telah dijelaskan di dalam kitab-kitab ushul.
Akan tetapi, diwajibkan kepada setiap muslim untuk menjaga adab terhadap sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menemani sebaik-baik makhluk-Nya yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka adalah orang-orang yang membawa Islam dan yang menyampaikan syari’at-Nya. Sehingga mencela mereka dengan sengaja adalah bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan termasuk adab yang tercela terhadap mereka radhiallahu ‘anhum. Akan tetapi berbaik sangkalah kepada mereka dengan mengatakan: ini adalah derajat ilmunya fulan, atau: kemungkinan hadits ini belum sampai kepadanya, atau: hadits ini menurutnya radhiyallahu ‘anhu tidak shahih.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dan berusaha untuk mengikuti agama-Nya yang benar, serta tidak boleh mengambilnya dari sumber yang tidak jelas, sebagaimana Al-Imam Ahmad ibn Siiriin rahimahullah berkata : “Bahwa sesungguhnya ilmu itu adalah bagian dari agama maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama-mu”.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
 
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 39
Tanggal : 12/09/2006
Penerjemah : Syahrul
Editor Ahli : Fahmi Bahreisy, Lc

Indahnya Bersahabat dengan Al Qur’an (bagian 2)

Dari manakah sisi tidak meruginya perdagangan dengan membaca Al Quran?
1. Satu hurufnya diganjar dengan 1 kebaikan dan dilipatkan menjadi 10 kebaikan.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6469)
Dan hadits ini sangat menunjukan dengan jelas, bahwa muslim siapapun yang membaca Al Quran baik paham atau tidak paham, maka dia akan mendapatkan ganjaran pahala sebagaimana yang dijanjikan. Dan sesungguhnya kemuliaan Allah Ta’ala itu Maha Luas, meliputi seluruh makhluk, baik orang Arab atau ‘Ajam (yang bukan Arab), baik yang bisa bahasa Arab atau tidak.
2. Setiap kali bertambah kuantitas bacaan, bertambah pula ganjaran pahala dari Allah.
عنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ بِمِائَةِ آيَةٍ فِى لَيْلَةٍ كُتِبَ لَهُ قُنُوتُ لَيْلَةٍ»
Tamim Ad Dary radhiyalahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membaca 100 ayat pada suatu malam dituliskan baginya pahala shalat sepanjang malam.” (HR. Ahmad dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6468).
3. Bacaan Al Quran akan bertambah agung dan mulia jika terjadi di dalam shalat.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ أَنْ يَجِدَ فِيهِ ثَلاَثَ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ قُلْنَا نَعَمْ. قَالَ « فَثَلاَثُ آيَاتٍ يَقْرَأُ بِهِنَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثِ خَلِفَاتٍ عِظَامٍ سِمَانٍ
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maukah salah seorang dari kalian jika dia kembali ke rumahnya mendapati di dalamnya 3 onta yang hamil, gemuk serta besar?” Kami (para shahabat) menjawab: “Iya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Salah seorang dari kalian membaca tiga ayat di dalam shalat lebih baik baginya daripada mendapatkan tiga onta yang hamil, gemuk dan besar.” (HR. Muslim).
4. Membaca Al Quran bagaimanapun akan mendatangkan kebaikan
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ ».
Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala” (HR. Muslim).
Tentunya apa yang dijanjikan kepada para sahabat Al Qur’an sangatlah banyak, namun tidak banyak kita ungkap pada makalah ini. Kita berharap keterangan di atas menjadi dorongan dan motivasi bagi kita semua untuk meningkatkan interaksi persahabat dengan Al Qur’an.
Dan ternyata generasi yang diridhai Allah itu, adalah mereka orang-orang yang giat dan semangat membaca Al Quran bahkan mereka mempunyai jadwal tersendiri untuk baca Al Quran.
Abu Musa Al Asy’ary radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suara kelompok orang-orang keturunan Asy’ary dengan bacaan Al Quran, jika mereka memasuki waktu malam dan aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara-suara mereka membaca Al Quran pada waktu malam, meskipun sebenarnya aku belum melihat rumah-rumah mereka ketika mereka berdiam (disana) pada siang hari…” (HR. Muslim).
Masya Allah, coba kita bandingkan dengan diri kita apakah yang kita pegang ketika malam hari, sebagian ada yang memegang remote televisi menonton program-program yang terkadang bukan hanya tidak bermanfaat tetapi mengandung dosa dan maksiat. Jauhnya kita dengan kebiasaan para sahabat yang selalu mengisi hari-harinya dengan kegiatan positif yang membangun jiwa dan semangat dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT.
Menjadi wajar halangan dan rintangan yang menghadang mereka dalam rangka menegakkan islam menjadi terasa ringan dikarenakan keyakinan dan keimanan mereka kepada Allah swt yang tercermin dari tingginya intensitas mereka bersama Al Qur’an.
Al Qur’an memberikan kelapangan dada kepada mereka yang dirundung kegalauan, ia juga menjaga harapan sehingga sumbu semangat mereka tidak pernah habis. Tak salah jika Al Qur’an dan kemenangan merupakan integrasi yang tidak dapat terpisahkan.
Begitulah Al Qur’an membentuk kepribadian rasul dan para sahabatnya. Dimulai dari mendengarkan, memahami, menghafal, hingga mempraktekkan ayat-ayatnya dalam kehidupan keseharian.
Bersahabat dan mencintai al-Quran memang butuh pendekatan. Tetapi puncak para pecintanya, berada di barisan para penjaganya. Hafizh al-Quran, merupakan cita-cita tertinggi para pecintanya. Semoga Allah memberi kita rasa cinta terhadap Al Qur’an. Dan bisa berbaris dalam barisan para penjaganya (Hafizh Al Qur’an).

Perlukah Zakat dari Harta Waris yang Didapat?

Assalamualaikum ustad. Perkenalkan , Nama saya sefti dwijayanti teruni . Saya ingin bertanya: Bagaimana hukumnya apabila seseorang menerima harta waris ? Apakah orang tersebut wajib atau tidak membayar zakat, atau sedekah, infaq dan yang lainnya? Kalau memang ada keharusan, apakah ada anjuran berapa jumlah banyaknya? Lalu bagaimana seharusnya mengelola uang harta waris tersebut agar benar-benar bermanfaat bagi si penerima ?
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengeluarkan zakat dari harta waris yang ia terima, kecuali jika harta tersebut mencapai nishab (jumlah harta yang wajib dizakati) dan sudah mencapai haul (sudah dimiliki selama setahun) sesuai syarat harta zakat biasa.
Namun jika harta waris tersebut baru diterima sehingga belum mencapai setahun atau jika jumlahnya tidak mencapai nishab (yaitu senilai 85 gram emas), maka tidak wajib dizakati.
Sebagai gantinya, bisa bersedekah atau berinfak, tanpa ada ketentuan dan keharusan mengenai berapa besaran atau jumlahnya.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
 

Menjalankan Wasiat untuk Tidak Menjual Harta Waris, Bolehkah?

Assalamualaikum wr. wb. Kedua orang tua kami meninggal pada tahun 2008. Kami ahli warisnya terdiri dari 6 orang bersaudara (5 Laki-laki dan 1 Perempuan). Sebelum orang tua meninggal, beliau (Bapak) berencana akan menjual rumah dan tanah satu-satunya harta warisan yang dimiliki oleh orang tua, tetapi beberapa ahli waris menolak dengan alasan bahwa tanah dan rumah tersebut lokasinya sangat strategis karena berada di persimpangan dan sangat strategis untuk dagang, sementara kehidupan para ahli waris hampir semuanya masih ikut orang tua.
Karena perdebatan yang cukup sengit akhirnya diputuskan tanah dan rumah tersebut tidak jadi di jual dan yang cukup mengejutkan, Bapak melarang tanah dan rumah tersebut di jual dan beliau mengatakan ” Tidak selamat hidup kalian (Ahli Waris) dunia akhirat jika sampai menjual tanah dan rumah tersebut”. Namun persoalan yang timbul setelah kedua orang tua meninggal, kehidupan saudara-saudara saya tetap masih dalam keadaan pas-pasan dan dengan kondisi ini membuat mereka mengusulkan untuk di jual dan yang menjadi permasalahan adalah terbentur dengan ucapan almarhum Bapak. Dengan informasi di atas ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan :

  1. Apakah kami berdosa jika tetap menjual tanah dan rumah tersebut sementara kami kehidupannya masih pas-pasan. Di satu sisi kami sangat tergantung dengan harta warisan tersebut. Selain itu saudara-saudara saya tinggal di tempat yang sama, yang sudah barang tentu dengan kondisi ini terjadi perselisihan yang tidak pernah ada penyelesaian bahkan sebelum orang tua meninggal sekalipun perselisihan antar saudara sangat sering terjadi dan sampai detik ini. Tujuan kami ingin menjual tanah dan rumah tersebut adalah agar kami dapat membuka kehidupan baru dan agar perselisihan dapat terselesaikan.
  2. Kami ahli warisnya terdiri dari 5 laki-laki dan 1 perempuan, bagaimanakah pembagian harta warisannya? Apakah jika rumah dan tanah tersebut di jual dan uang hasil penjualan di bagi rata apakah adil?

Atas jawabannya, diucapkan terima kasih.
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu was-salamu ala Asyrafil Anbiya’ wal Mursalin. wa ba’du:
Seluruh peninggalan mayit menjadi milik sah ahli warisnya. Dengan kata lain, kepemilikannya otomatis berpindah dari mayit kepada para ahli warisnya. Ketika harta peninggalan tersebut sudah dimiliki oleh ahli waris, maka mereka berhak untuk memergunakannya. Tentu sesudah hutang, nadzar, atau berbagai kewajiban mayit lainnya ditunaikan.
Karena itu, jika mayit berwasiat melarang memperjualbelikan harta peninggalannya, hal itu tidak wajib dipatuhi. Sebab, harta tersebut bukan lagi harta mayit, tapi sudah menjadi harta ahli warisnya. Ahli warisnya yang lebih mengetahui maslahat mereka. apalagi jika kondisinya seperti yang Anda sebutkan.
Kedua, berdasarkan hukum Islam, waris untuk anak laki-laki adalah dua kali dari yang diterima anak perempuan. Namun kalau ketika bapak Anda meninggal, ibu (isteri almarhum) masih hidup, berarti sebelum dibagikan kepada anak-anaknya, ibu atau isteri almarhum mendapat 1/8.
Baru kemudian dibagi kepada anak-anaknya di mana anak laki mendapat dua bagian anak perempuan. Adapun jika sesudah masing-masing mengetahui haknya, lalu mereka sepakat untuk membagi rata, hal itu diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Indahnya Bersahabat dengan Al Qur’an (bagian 1)

Al Qur’an merupakan mu’jizat terbesar Rasulullah saw. Satu-satunya mu’jizat teragung yang masih bisa kita saksikan dan kita rasakan daya tariknya yang luar biasa sampai saat ini bahkan sampai berakhirnya kehidupan ini.
Betapa banyak pelajaran yang terkandung di dalamnya yang menjadi petunjuk dan pedoman dalam menjalani kehidupan ini sehingga orang yang mengikutinya mendapatkan ketenangan dan kedamaian dan insya Allah nanti di akhirat akan mendapat kebahagian yang tiada ujungnya di dalam syurga-Nya. Dan sebaliknya siapa yang berpaling dari Al Qur’an dan tidak menjadikannya sebagai jalan hidupnya maka baginya kehidupan yang sengsara.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS.Taha : 124).
Sebagai seorang muslim sepatutnya merasa bangga mendapatkan warisan mu’jizat yang luar biasa ini, kita terpilih sebagai penerima, pembaca sekaligus penjaganya.
Maka menjadi sebuah keharusan bagi muslim untuk lebihmengenal, mencintai, dan memahami serta mengamalkan kandungan Al Qur’an dalam kehidupan ini, lebih tepatnya menjadi sahabat Al Qur’an. Karena hanya menjadi sahabat Al Qur’an yang lebih mengerti kewajibannya terhadap sahabatnya (Al Qur’an) dari mulai membacanya, mentadaburinya dan mengamalkannya. Begitu juga Al Qur’an akan memberikan perlakuan yang lebih baik dari apa yang kita lakukan terhadapnya.
Coba kita perhatikan Al Qur’an memberikan beberapa keistimewaan terhadap para sahabatnya diantaranya :
1. Al Qur’an akan memberikan syafa’at (pertolongan)
Rasulullah saw bersabda “Bacalah Al Qur’an sebab di hari Kiamat nanti akan datang Al Qur’an sebagai penolong bagi sahabatnya (pembacanya)” (HR. Tirmidzi).
2. Memberikan kemuliaan
Dari ‘Amir bin Watsilah, dia menuturkan bahwa suatu ketika Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan Umar di ‘Usfan (sebuah wilayah diantara Mekah dan Madinah, pent). Pada waktu itu Umar mengangkatnya sebagai Gubernur Makkah. Maka Umar pun bertanya kepadanya, “Siapakah yang kamu angkat sebagai pemimpin bagi para penduduk lembah?”. Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.” Umar kembali bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?”. Dia menjawab, “Salah seorang bekas budak yang tinggal bersama kami.” Umar bertanya, “Apakah kamu mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin mereka?”. Maka Nafi’ menjawab, “Dia adalah seorang yang menghafal Kitab Allah ‘azza wa jalla dan ahli di bidang fara’idh/waris.” Umar pun berkata, “Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam memang telah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Kitab ini sebagian kaum dan dengannya pula Dia akan menghinakan sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an [5027])
3. Sebagai perdagangan yang tidak pernah merugi
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
قال قتادة رحمه الله: كان مُطَرف، رحمه الله، إذا قرأ هذه الآية يقول: هذه آية القراء.
“Qatadah (wafat: 118 H) rahimahullah berkata, “Mutharrif bin Abdullah (Tabi’in, wafat 95H) jika membaca ayat ini beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran” (Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim).
Asy Syaukani (w: 1281H) rahimahullah berkata,
أي: يستمرّون على تلاوته ، ويداومونها .
“Maksudnya adalah terus menerus membacanya dan menjadi kebiasaannya”(Lihat kitab Tafsir Fath Al Qadir).

X