Terbang Berjam-Jam Bukan Alasan Pilot Muslimah Ini Tinggalkan Kewajiban Ibadah Puasa

 
JAKARTA–Setiap profesi pasti memiliki cara dan cerita sendiri dalam menjalani puasa di bulan Ramadan. Tak terkecuali untuk Sarah Widyanti Kusuma, pilot wanita cantik dari maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines.
Di sela-sela kesibukannya, Sarah bercerita bagaimana Ia harus menjalani puasa dari balik kokpit dan harus berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Hal itu dirinya rasakan mulai awal Ramadan tiba, di mana Ia harus rela saum jauh dari keluarga.
“Awal Ramadan kebetulan lagi di Chengdu menuju Indonesia,” ujar Sarah.
Mantan kontestan Indonesia Idol ini menuturkan, menjalani puasa sebagai penerbang memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya, dibutuhkan kekuatan fisik dan konsentrasi yang harus tetap terjaga selama menjalani tugas sembari berpuasa.
“Tantangannya harus tetap fokus di mana selama terbang kita lebih cepat kehilangan cairan dan oksigen,” ujarnya.
Oleh karenanya, ibu satu anak ini rutin berolahraga serta memperhatikan betul makanan dan vitamin yang dikonsumsi ketika sahur.
“Olahraga sama menu sahur dan buka yang benar, konsumsi vitamin juga. Kalau makan enggak benar dan enggak olahraga biasanya saya enggak akan kuat puasa saat kerja,” tutur wanita pemegang lisensi pesawat jenis Boeing dan Airbus ini.
“Kalau penumpang kan enggak puasa mungkin enggak apa-apa yah, karena cuma 1-2 hari aja flight-nya. Kalau crew kan setiap hari kerjaannya seperti itu jadi yah tetep harus dijaga staminanya.”
Sebagai muslim, Sarah selalu menyempatkan waktu untuk beribadah, termasuk ketika berada di udara dan negara lain. Kata dia, terbang selama berjam-jam bukan alasan untuk meninggalkan kewajiban sebagai muslim. Fotonya saat beribadah di ruang kokpit yang diabadikan rekan penerbangnya pun pernah viral di media sosial
“Alhamdulillah justru banyak yang bisa dilakukan saat terbang, saya bisa tadarusan saat di hotel, dibandingkan jalan-jalan keliling kota, saat mau buka puasa aja saya keluar hotel sambil ngabuburit cari makan untuk buka dan sahur,” ungkapnya.
Menjalani profesi sebagai pilot, Sarah juga tak pernah lupa perannya sebagai ibu dari satu anak. Menjalani Ramadan jauh dari keluarga, terkadang membuatnya rindu dengan keluarga.
“Kangen sama keluarga pasti. Tapi, saya tetap punya tanggung jawab di tempat lain selain di rumah, ya tetap harus profesional, saya titipkan anak kepada ibu saya atau kadang sama mertua, jadi saya tenang,” pungkasnya.
 
Sumber: Merdeka

Imam Syafi'i : Dunia, Seperti Daun Licin Dan Kampung Kumuh

 
Saudaraku, janganlah kalian menetap di suatu negeri yang di dalamnya tak ada seorang ulama yang memberikan fatwa tentang agamamu, dan seorang dokter yang memberitahu penyakitmu.
Saudaraku,
Jika kau khawatir terjebak dalam ‘ujub
Maka lihatlah siapa yang engkau hadapi saat bersujud,
Pahalakah yang kaumaksud?
Azabkah yang kautakut?
Nikmat kesehatan mana yang kausyukuri?
Musibah apa yang kaukufuri?
Jika kau memikirkan salah satu dari hal-hal tersebut akan terlihat kerdil amalanmu.
Saudaraku,
Perdalamlah ilmu agama sebelum kau menjadi pemimpin, karena saat kau menjadi pemimpin maka tak ada lagi waktu untuk mendalami ilmu.
Saudaraku,
Cukuplah ilmu menjadi sebuah keutamaan saat orang yang tak memiliki mengaku-ngaku memilikinya dan merasa senang jika dipanggil dengan gelar ilmuwan.
Cukuplah kebodohan menjadi aib saat orang yang bodoh merasa terbebas darinya dan marah jika digelari dengannya.
Barangsiapa mempelajari Al Qur’an, akan naik harga dirinya.
Barangsiapa mendalami fikih, akan berkembang kemampuannya.
Barangsiapa menulis hadits, akan kuat argumentasinya.
Barangsiapa berkecimpung dalam ilmu Bahasa, akan lembut perasaannya.
Barangsiapa berkecimpung dalam ilmu Matematika, akan luas akalnya.
Barangsiapa tidak menjaga hawa nafsunya, takkan bermanfaat ilmunya.
Saudaraku,
Barangsiapa mengejar kekuasaan, ia akan lari darinya. Jika terjadi sesuatu ia akan lupa terhadap ilmu.
Saudaraku,
Dunia adalah batu yang licin dan kampung yang kumuh. Bangunannya kelak roboh, penduduknya adalah calon penghuni kubur, apa yang dikumpulkan akan ditinggalkan, apa yang dibanggakan akan disesalkan, mengejarnya sulit, tetapi meninggalkannya mudah.
 
Sumber: Diambil dari kitab Mawa’idh Imam Syafi’i

Mengkaji Doa Buka Puasa yang Dhaif, Hasan dan Shahih

Masyhur tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada doa berbuka puasa. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu shahih derajatnya.
Terkabulnya doa dan ditetapkannya pahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari setiap doa yang kita panjatkan tentunya adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita mengkaji secara ringkas, doa berbuka puasa yang terkenal di tengah masyarakat, kemudian membandingkannya dengan yang shahih. Setelah mengetahui ilmunya nanti, mudah-mudahan kita akan mengamalkannya. Amin.
Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat
Lafazh pertama:
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”
Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai Dhaif (lemah) oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.
Perawi hadist bernama Mua’dz ini tidak dianggap sebagai perawi yang tsiqah. Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.
Lafazh kedua:
اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”
Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.
Berbuka Puasa dengan Doa-doa berikut Ini
1. Do’a pertama:
Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki
(Hadits shahih , Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678)
Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”
Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa) pada waktunya (waktu berbuka).
Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka.
Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”.
(HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)
2. Do’a kedua:
Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma adalah,

اَللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ

“Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”
[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku]
(HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342)
 
Disadur : Konsultasi Syariah

Jangan Membuang Muka Ketika Berbicara

Membuang muka adalah memalingkan muka atau menghadapkan muka ke lain arah ketika berbicara dengan orang lain.
Membuang muka ketika berbicara dengan orang lain merupakan perilaku yang merendahkan lawan bicara dan cerminan sifat tinggi hati pembicara. Allah telah membahas ini dalam firmannya:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong); dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi tinggi hati.” (QS. [31] ayat 18).
Maksud ayat di atas adalah apabila kita berhadapan dengan orang yang sedang berbicara dengan kita, kita tidak boleh memalingkan muka dari lawan bicara kita. Sebaliknya, hendaklah kita menghadapkan wajah kita kepada lawan bicara kita dan mendengarkannya dengan seksama dan penuh persaudaraan.
Memalingkan atau membuang muka dari siapapun merupakan perilaku yang tidak disukai oleh Allah dan Rasul-Nya, karena sikap semacam ini adalah bukti kesombongan dan tinggi hati pelakunya. Bersikap sombong dan tinggi hati adalah perbuatan yang sangat dimurkai oleh Allah swt
Rasulullah SAW pun bersabda:
“Janganlah kamu saling membenci, jangan saling mendengki, dan jangan saling membelakangi; tetapi hendaklah kamu sekalian menjadi hamba Allah yang saling bersaudara. Tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Anas)
Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap akhlak seseorang dalam menghadapkan muka ketika berdialog dengan lawan bicara. Karena sikap seseorang ketika berbica dengan orang lain mencerminkan tingkat penghormatan kepada lawan bicara. Apa lagi apabila lawan bicara kita adalah ibu bapak sendiri. Sudah tentu haknya untuk diperlakukan dengan penuh rasa hormat lebih besar daripada orang lain sebagai lawan bicara.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang anak-anak membuang muka ketika bertemu dengan orang tuanya; atau ketika disuruh menghadap kedua orang tuanya. Mereka menjawab sambil memalingkan muka ke arah lain. Perilaku semacam ini adalah bukti sikap penghinaan terhadap lawan bicara. Apalagi yang menjadi lawan bicara adalah ibu bapak sendiri.
Maka dari itu, ketika bertemu dengan orang tuanya, hendaknya anak-anak menghadapkan wajahnya kepada mereka. Jika anak dipanggil menghadap orang tuanya, hendaklah mukanya dihadapkan kepada mereka. Menghadapkan muka kepada orang tua ketika berbicara termasuk memperlakukannya secara hormat. Mendapatkan perlakuan hormat dari anak-anak mereka adalah hak orang tua.
Namun, apabila anak telah melakukan kedurhakaan dengan memalingkan mukanya ketika berbicara dengan orang tua, hendaklah ia segera meminta maaf kepada kedua orang tuanya. Ketika seorang anak sudah meminta maaf atas kesalahannya, alangkah lebih bijaknya jika orang tua mampu memaafkan kesalahan anaknya tersebut dan mendidiknya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
 
Sumber : Buku 20 perilaku Durhaka Anak Terhadap Orang Tua
Oleh : Drs. M. Thalib, Penerbit : Irsyad baitus Salam

X