Apalah Lebaran tanpa ibu? Pengalaman tiga bocah ini melintasi 500 kilometer perjalanan dengan bersepeda, tunjukkan betapa ibu adalah tempat untuk kembali. Sebagian besar informasi dikutip dari laporan jawapos.com.
Dini hari jelang Ramadan. Kakak-beradik Muhammad Okta Firmansyah (15) dan Muhammad Afrizal (13) tiba di rumah kakek – neneknya di Bukit Kecil, Kota Palembang, Sumatra Selatan. Mereka tiba setelah menumpang truk dari Ciledug, Kota Tangerang, Banten. Bersama keduanya ikut pula Aslam Alamsyah (10), anak tetangga yang merupakan teman bermain mereka di Ciledug.
Ayah dan ibu yang sering bertengkar, menjadi alasan mereka untuk tak betah di rumah. Mereka pun beberapa kali nekat menumpang truk arah Sumatra, untuk sementara tinggalkan rumah. Biasanya mereka kunjungi kerabat yang ada di Jambi dan Padang, selain rumah kakek dan nenek di Palembang.
Menumpang truk bukan hal baru bagi mereka, terutama Okta yang kerap mengikuti ayahnya yang berprofesi sebagai sopir dan kernet bus lintas Sumatra. Ini pula yang membuatnya tahu alamat tempat tinggal neneknya.
Awalnya mereka sampaikan ingin berlebaran di Palembang, bersama sang nenek. Namun sepekan sebelum Lebaran, adik mereka di Ciledug mengabarkan bahwa kedua orangtuanya bertengkar hebat. Okta sang kakak diminta pulang untuk menjaga keempat adiknya. Selain Okta dan Rizal, ada empat saudara sekandung lain. Paling kecil berusia 1,5 tahun, dimana keenamnya adalah laki-laki.
Telepon itu membuat keduanya ingin kembali ke Ciledug. Apalagi sebulan sudah mereka tak bersua dengan sang ibu. Mereka pun pamit pada sang nenek, untuk lakukan perjalanan pulang dengan bus. Nenek yang sedang tak sehat, tak mengantar mereka pulang. Ia hanya membekali sejumlah uang.
Itu malam takbiran. Tanpa pamit, mereka pinjam dua sepeda milik sepupunya. Secara bergantian, kaka-beradik ini membonceng Aslam yang berdiri di pijakan belakang sepeda. Sejumlah kantong kresek tergantung di stang sepeda, berisi pakaian ganti seadanya.
Dari hasil menjual tas kresek di pasar selama tinggal di Palembang, mereka mmapu kumpulkan uang. Malam itu sebanyak Rp 150 ribu mereka kantongi. Sayangnya jumlah ini tak cukup untuk membawa mereka ke Pelabuhan Bakauheni, lokasi penyeberangan untuk ke Pulau Jawa.
Uang tersebut habis untuk membayar ongkos bus dan makan di jalan. Bus yang mereka tumpangi, sekaligus membawa sepeda mereka itu, berhenti di Terminal Rajabasa Lampung. Terminal ini berjarak 60 kilometer dari pelabuhan penyeberangan. Untuk itu mereka harus kembali mengayuh sepeda, beristirahat tiap gelap tiba.
Minggu (25/06) itu adalah hari pertama Idul Fitri. Ketiga bocah ini tiba di Terminal Indralaya, Ogan Ilir, Sumsel. Mereka beristirahat setelah kelelahan mengayuh sepeda.
Usai kehabisan uang, mereka mengubah rencana dengan menumpang truk sebagaimana yang mereka gunakan untuk tiba di Palembang. Sayangnya hari itu tak satu truk pun lewat. Mereka terpaksa menempuh perjalanan selanjutnya dengan bersepeda.
Penampilan lusuh dengan kondisi perjalanan yang dianggap tak lazim, membuat ketiganya dikirim ke Panti Sosial Darmapala yang terletak tak jauh dari Terminal Indralaya.
Petugas terminal yang mengantar mereka ke Panti Sosial, meminta mereka mandi dan makan. Sebab kondisi ketiganya tampak lusuh dan lelah.
Petugas bermaksud menitipkan ketiganya kepada sopir bus jurusan Tangerang, keesokan harinya. Namun mereka kabur, terus mengayuh untuk mencapai Pelabuhan Bakauheni.
Dalam perjalanan, ketiganya harus menahan lapar. Uang sebanyak Rp 10 ribu yang tersisa harus mereka simpan untuk membeli tiket kapal. Mereka sempat pula menerima pemberian uang dan makanan dari seorang ibu. Meski demikian, mereka tak mau mengemis. Rizal mencoba peruntungan dengan mengamen untuk mendapat uang.
Saat lewati hutan, mereka dikejar anjing yang membuat mereka harus mengayuh lebih kencang lagi. Okta pun sempat terjatuh, sehingga Rizal dan Aslam tiba lebih dahulu di pelabuhan. Ketika menanti Okta, keduanya beristirahat di pos PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) . Saat itulah mereka bertemu Vice President Services and Assurance PT ASDP Rizki Dwiana.
Rizal yang duduk hadapi kipas angin untuk hilangkan penat, bertanya pada Rizki.
“Pak saya tidak punya hape, kalau beli tiket di sini bisa?”
Aslam tunjukkan uang Rp 20 ribu yang mereka miliki. Rizki tak percaya omongan mereka, lalu menginterogasi kedua anak ini. Setelah Okta datang, Rizki pun percaya bahwa ketiganya kehabisan uang. Ia pun mengajak mereka makan, lalu menyeberangkan ketiganya dengan mobil ASDP yang kemudian mengantar ke pangkuan orangtua masing-masing.
Sulastri dan Muhammad Nasir, orangtua Okta dan Rizal, tak mengetahui perihal kepulangan anak mereka. Hingga pukul 01.00 dini hari tersebut, ada rombongan datangi rumah mereka. Rombongan ini membawa anaknya serta wartawan. Ia awalnya takut kedua anaknya berbuat onar.
Menurut Sulastri, ia tak akan izinkan jika tahu ketiganya pulang dengan bersepeda. Meski demikian, ia mengaku tak miliki cukup uang untuk menjemput mereka ke Palembang.
Kisah ketiganya diunggah ASDP 191 ke akun Instagram pada Sabtu (1/07) yang menuai banyak komentar.
Banyak pembaca terharu akan kisah menyentuh Okta, Rizal dan Aslam, yang berbekal rindu mengayuh 500 kilometer agar dapat berlebaran dengan sang ibu.
Sumber : Jawapos