Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) menolak renovasi Masjid Agung Al-Aqsha di Sentani, Papua. Di antara alasannya, menara masjid itu lebih tinggi dari gereja di sekitar lokasi di Jalan Raya Abepura.
Penolakan itu termuat dalam sebuah surat pernyataan, yang merinci 8 poin sikap keberatan yang mengatasnamakan PGGJ.
Selain soal menara masjid, enam poin lain:
- Toa harus diarahkan ke masjid
- Melarang dakwah Islam khususnya di Jayapura
- Melarang anak sekolah memakai seragam “bernuansa agama tertentu”
- Melarang ruang khusus seperti mushala pada fasilitas umum di pasar, rumah sakit, terminal, komplek dan sebagainya
- Melarang pembangunan masjid dan mushala di area perumahan KPR BTN
- Tinggi rumah ibadah lain dan menara agama lain tidak boleh melebihi tinggi gereja disekitarnya
- Pembangunan rumah ibadah wajib mendapatkan rekomendasi bersama PGGJ, pemerintah daerah, dan pemilik hak ulayat sesuai peraturan pemerintah.
Surat pernyataan tersebut diakui oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Papua Saiful Islam Al Payage.
Namun ustad Payage mengatakan surat ini “hanyalah sikap sejumlah pihak”, bukan sikap umat Kristen secara keseluruhan.
“Memang ada surat itu dari PGGJ, tapi umat Islam menolak 8 poin itu,” kata Payage, Senin kemarin (19/3/2018).
Meski demikian, kata Payage, umat Islam di Papua tak bersikap antipati atas surat tersebut, melainkan mencoba berkomunikasi dengan sejumlah organisasi masyarakat dan tokoh masyarakat setempat termasuk dengan PGGJ.
Kepala Humas Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Jeirry Sumampouw mengatakan “sedang mencari tahu duduk masalah” dari munculnya surat pernyataan tersebut.
Sumampouw berkata bahwa PGI sedang berkomunikasi dengan GP Ansor, MUI, dan pimpinan gereja di Jayapura soal masalah tersebut.
Menurut dia, PGI tak punya pretensi untuk menyelesaikan kasus ini dan hanya bisa mendorong komunikasi antar pemeluk agama.
Jayapura, salah satu wilayah perkotaan dan kabupetan di Papua, termasuk yang paling banyak didatangi oleh para migran ekonomi di luar Papua.
Menurut sensus penduduk tahun 2010, Kota Jayapura ditempati 65 persen orang di luar Papua sementara Kabupaten Jayapura ditempati 39 persen warga non-Papua.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Papua tahun 2017, pemeluk Kristen Protestan maupun Katolik berjumlah 85 persen. Sementara umat Islam berjumlah 15,12 persen dari total penduduk.
Di Kabupaten Jayapura, umat Kristen berjumlah 59 persen dari total penduduk, baik Protestan maupun Katolik. Sementara umat Islam mencapai 41 persen
Dialog yang dilaksanakan pada Senin malam waktu Papua itu menghasilkan keputusan bahwa MUI tetap melanjutkan renovasi dan menolak 8 poin yang katanya diajukan Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ).
“Mereka [PGGJ] masih harus bikin tim lagi, tapi mungkin dalam tim itu kami tetap akan berpegang teguh [membangun masjid]. Kami juga sudah bikin komitmen bahwa 8 poin tidak akan kami terima, itu imposible,” ucap ustad Payage.
Sikap MUI yang tetap melanjutkan renovasi, kata ustad Payage, bukan lantaran MUI bersikap intoleran. Ia bilang keputusan ini diambil lantaran Masjid Agung Al-Aqsha bukan masjid baru di wilayah Jayapura.
“Kondisinya aman dan baik-baik saja,” kata ustad Payage menegaskan situasi kebebasan beragama di Papua, meski ada perbedaan pendapat soal renovasi masjid.
Sumber : Tirto