Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang tanpa sengaja menyeret nama Ustadz Bachtiar Nasir. Islahudin Akbar sebagai pegawai bank disangkakan melanggar pasal UU Perbankan. Sementara Ketua Yayasan, Ustadz Adnin Armas diduga melanggar pasal UU Yayasan.
Berikut ini hasil wawancara Republika.co.id dengan Ustadz Adnin Armas, sebelum dia ditetapkan menjadi tersangka, Selasa (21/2):
Terkait kasus dugaan pengalihan kekayaan yayasan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) bagaimana bisa diduga terlibat dan melanggar pasal UU Yayasan tersebut? Tanggapannya?
Pasal beredar banyaknya tentang pencucian uang. Itu pasal yang cukup berat yang ditunjukkan kepada yayasan dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), karena pidananya 20 tahun dan denda Rp 10 miliar, dan itu pun sebenarnya harus dibuktikan lebih dulu. Para pakar juga berbicara kan harus ada tindak pidana asal. Nah tindak pidana asalkan seperti apakah itu uang narkoba, hasil tindak pidana perdagangan orang (TPPO), penjualan senjata gelap, korupsi atau perbuatan melawan hukum lainnya.
Sementara kan semua tahu kalau itukan sumbangan. Infak, jadi ibaratnya kan menyamakan infak misalnya dengan uang narkoba, itu kan adalah sesuatu yang jahat ya.
Infak ini kan orang mengeluarkan uang untuk akhirat, untuk kebaikan, sementara narkoba ini uang untuk neraka. Jadi dari situ saja sudah sangat bertentangan ya, orang mau berbuat baik justru uang itu yang dipersangkaan, jadi inikah sangat luar biasa. Sama saja (seperti) orang mau infak ke masjid atau sebagainya kok bisa (dipersangkakan) seperti itu.
Apalagi dari rekening yang masuk dari yang menyumbang itu sekitar 5.000 lebih. Kalau 5.000 lebih total dana itu sekitar enam miliar, kalau di rata-ratakan Rp 120 ribu rupiah, tentu kalau yang nyumbang ada yang jutaan ada yang di bawah Rp 100 ribu. Mungkin yang terbesar Rp 100 juta itupun bukan perorangan, tapi kelompok.
Jadi ini terlalu berlebihan dan bagaimanapun ada para ustadz dikenakan dengan pasal TPPU itukan sesuatu yang tidak tepat. Karena tindak pidananya kasar, menyamakan uang infak dengan uang hasil kejahatan itu sama saja menyamakan ustadz seperti pelaku koruptor atau TPPO atau narkoba.
Kemudian dengan hukuman 20 tahun penjara dan penggantian uang Rp 10 miliar, uang yang diterima kemarin saja hanya enam miliar, tiga miliar pun kurang lebih belum terpakai. Tiga miliar untuk aktivitas 411, 212, untuk bantuan sosial yang lain. Nah kok bisa sih polisi gegabah meletakkan pasal TPPU kepada para ustadz, para aktivis GNPF. Menurut saya ini gegabah dan berlebihan.
Menurut polisi, pidana terkena berdasar UU Yayasan, apakah ada aliran dana dari rekening yang diperuntukkan bagi umat justru masuk ke pribadi?
Perlu dijelaskan, kami di yayasan meminjamkan rekening ke GNPF, jadi itu uang GNPF bukan uang yayasan. Karena kami sudah pinjamkan jadi yang mengelola sepenuhnya adalah GNPF, dan tidak ada uang GNPF ibaratnya masuk rekening pembina, pengurus, atau pengawas karena itu uang GNPF. Lagian itukan mudah untuk membuktikan, tanyakan ke GNPF apakah ada dana yang masuk ke rekening kami? tidak ada.
Ini mudahlah dan bisa ditanya ke mereka atau bisa dilihat melalui transfer, bisa dilihat ke rekening kami, tidak ada. Itu uang umat yang diterima GNPF bukan uang yayasan karena kami sudah meminjamkan pada mereka.
Mengapa meminjamkan rekening tersebut?
Karena ini iktikad baik kami, karena waktu itu umat mau berinfak, kalau ke rekening pribadi jauh lebih berat. Jadi yang bisa kami lakukan untuk umat Islam adalah untuk membantu dalam aksi bela Islam 411 dan 212 sehingga umat Islam rekening itu digunakan.
Nah kami tidak campur tangan, bagaimana uang itu dikelola, bagaimana menentukan, tidak. Pengurus GNPF bukan pengurus yayasan, pengurus yayasan bukan pengurus GNPF. Jadi tidak ada kepentingan di situ. Kalau kami pengurus GNPF mungkin kami bisa mengelola ini dana ke sanalah, misalnya, ini kami sama sekali tidak tahu uang yang diterima nanti ada laporan di belakang, tapi faktanya adalah sepenuhnya itu uang yang dikelola GNPF dan tidak ada yang masuk ke rekening kami.
Rekening memang kami pinjamkan, tapi sekalipun saya dan pengurus lain di yayasan tidak pernah menarik uang GNPF itu. Salah kalau saya melakukan itu.
Bagaimana dengan surat kuasa itu?
Jadi kami buat surat kuasa saja untuk GNPF agar proses pencairan bisa dimudahkan, tapi enggak ada itu untuk memperkaya pembina, pengurus, ditanyakan ke GNPF atau buktikan di pengadilan atau dibuktikan dari rekening kami, itu tidak ada. Tidak ada memperkaya diri, itu uang GNPF.
Saldo punya yayasan ada berapa sebelum dipinjamkan?
Ada Rp 2,5 juta, gampang tinggal dikembalikan. Enggak Masalahkan.
Yayasan Keadilan untuk Semua kapan dibentuk?
Tahun 2014, waktu itu ada kasus Rohingya kami bergerak, di Tolikara juga kami bergerak, ya untuk umat kami melakukan itu. Nah, kemudian 411 dan 212 juga itu yang bisa kami lakukan.
Misalnya kan semua orang ingin berpartisipasi, nah yayasan kami ini sudah melakukan hal yang positif pada muslim Rohingya di Myanmar dan masjid Tolikara yang dibakar di Papua.
Nah ini yang bisa kami lalukan untuk umat, kalau tidak waktu itu bisa dibayangkan bagaimana kondisi akomodasi, transpotasi, konsumsi dengan jutaan orang yang hadir 411 dan 212, itukan riweh, nah inilah sumbangsi kita, itikad baik kita.
Jadi kami tegaskan. Ini bukan uang kami, intinya, kami hanya menyediakan fasilitas, nah bagaimana digunakan uang itu pihak GNPF yang menggunakan karena kita percaya untuk dikelola dan disalurkan menjadi sebuah sesuatu yang berhasil. Kita lihat berhasil kan, kalau kita lihat dana ada enam miliar rupiah, tiga miliar dikeluarkan dan masih ada sisanya tiga miliar lagi.
Dibandingkan dengan Temen Ahok, untuk satu Ahok Rp 30 miliar, ini kita tiga miliar untuk jutaan umat dan umat pun memberi pada GNPF, enggak protes. Kemudian enggak dihabiskan? Ya mubadzir kan udah cukup. Jadi biarkan sepenuhnya GNPF. Nah kalau kami? Kami hanya meminjamkan, tidak ada balik ke rekening kami sebagai pembina enggak ada, tapi ko bisa kami dikena.
Kalau mau kita bedah, tiga miliar itu untuk jutaan orang, sedangkan (Ahok) Rp 30 miliar untuk dia (Ahok). Jadi kalau dibandingkan Teman Ahok, yayasan yang kemarin itu ada Rp 4,7 triliun di gereja pengurus sudah gaduh, tapi kami engga ada yang begaduh. Kalau ini tindak pidana harus ada pihak yang dirugikan ini tidak ada pengurus yg dirugikan, engga ada yang lapor polisi karena tidak ada yang merasa dirugikan.
Jadi dibilang TPPU, ini uang umat, dibilang pengayaan kami enggak dapat, kan memang karena bukan uang kami. Saya tidak pernah melakukan penarikan karena bukan uang saya, karena bukan hak saya. Saya memang menandatangani agar uang itu cair tapi saya tidak pernah ambil atau menerima.
Saya memang tandatangan (surat kuasa) karena kalau saya tidak tandatangan uang itu jadi uang yayasan, malah umat bisa protes. Karena kan bukan untuk yayasan jadi ini uang GNPF jadi saya tanda tantangan buat uang itu bisa cair dan yang menggunakan GNPF. Jadi saya lihat kenapa TPPU itu pasal berat ya, pasal jahat.
Sejak kapan rekening dipinjamkan?
Sebelum aksi 411, untuk aksi bela Islam 411, 212.
Adnin Armas, M.A., pria kelahiran Medan tahun 1972 ini menjabat sebagai Ketua Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) Bina Tamaddun Islam, merangkap sekretaris MIUMI pusat dan Pemimpin Redaksi Majalah Gontor.
Beliau menyelesaikan pendidikan menengahnya di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo tahun 1992 dan melanjutkan kuliah S-1 ke Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (UIA), dalam bidang Filsafat. Kemudian Adnin Armas melanjutkan pendidikan S-2 di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) bidang Pemikiran Islam (Islamic Thought). Di kampus ini Adnin belajar langsung kepada S.M.N al-Attas. Adnin kemudian memperoleh gelar M.A. dari ISTAC dengan tesis berjudul Fakhruddin al-Razi on Time pada tahun 2003.
Ia telah menerbitkan beberapa karya seperti Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an (Diterbitkan Gema Insani Press tahun 2005). Buku ini telah direkomendasikan sebagai bacaan wajib di University Malaya dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Satu buku lagi berjudul Pengaruh Kristen Orientalis terhadap Islam Liberal (diterbitkan Gema Insani Press tahun 2003).