Kalau Anda tidak mampu meninggalkan kedua Keburukan itu, yaitu menerima suap dan memilih pemimpin kafir; jangan sampai melakukan keduanya.
1. Saudaraku kaum muslimin, Suaramu adalah amanah yang akan kalian pertanggung-jawabkan di hadapan Allah.
Sehingga berikanlah suara itu kepada paslon yg dihalalkan oleh Allah. Jangan sampai memberikannya kepada paslon yang diharamkan oleh Allah dan diselisihi ulama
“Wahai orang-orang yg beriman, janganlah kalian menjadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai Aulia”. [Almaidah:51].
Kata “aulia” bisa bermakna PEMIMPIN, teman setia, pelindung, penolong, pembela, dan lain-lain. Itu semua tercakup dalam kata “aulia”.
Sungguh inilah kehebatan Alquran Kalamullah, dengan redaksi yang singkat, bisa mencakup makna yang sangat luas.
2. Menjual suara adalah tindakan mengkhianati amanah yang ada di pundak kita.
Seharusnya ini tidak dilakukan seorang yang mengaku muslim. Pilihlah paslon berdasarkan dalil dan bukti yang kuat akan mensejahterakan kita semua selama masa kepemimpinannya. Terutama kesejahteraan dari sisi Agama.
Jangan sampai memilih paslon karena uang yang diberikan saat akan pencalonan. Karena itu bukan uang halal, itu juga hanya sesaat dirasakan, setelah itu kita akan ‘diperas’ selama masa kepemimpinannya.
3. Bagaimana dengan pembagian uang atau sembako dari para paslon, bolehkah kita mengambilnya?
Itu adalah bentuk lain dari suap menyuap, dan ini merupakan dosa besar, sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam:
Allah MELAKNAT orang yg menyuap, dan orang yg menerima suap!“. [HR. Abu Dawud: 3580, shahih].
Pantaskah kita memilih calon yg jelas-jelas melakukan dosa besar di hadapan kita?
Bagaimana jika dua-duanya melakukan dosa besar itu?
Kita pilih yg PALING SEDIKIT dalam menyuapnya. Mana yang lebih ringan keburukannya, itu yang kita pilih.
4. Bagaimana kalau kita sudah mengambil uang suap.
Pertama: Kita harus bertaubat kepada Allah dari dosa besar tersebut.
Kedua: Kita harus mengembalikan uang itu bila dimungkinkan.
Bila tidak mungkin mengembalikan kepada penyuap, maka kita bisa memberikan kepada fakir miskin, atau lembaga yang menyalurkan harta haram tersebut untuk fasilitas umum -misalnya- dengan niat membebaskan diri dari harta haram.
5. Bagaimana jika sudah BERJANJI, bahkan sudah BERSUMPAH untuk memilih paslon tertentu, padahal Allah melarang kita memilihnya.
Jika hanya berjanji saja tanpa sumpah dengan nama Allah, maka tidak menjadi masalah untuk mengingkari janji tersebut, karena itu adalah janji bermaksiat. Bahkan “janji bermaksiat” SEHARUSNYA tidak kita tepati.
Jika pun kita sampai bersumpah dengan nama Allah, bahwa kita akan memilih calon yang diharamkan Allah, maka ini masuk dalam bab sumpah “ghomus”, yakni sumpah yg bisa menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
Sumpah seperti ini harus TIDAK ditepati. Dan tidak ada tebusan untuk sumpah jenis ini. Kecuali bertaubat dan meminta ampun kepada Allah, karena bersumpah untuk melakukan kemaksiatan adalah perbuatan dosa.
6. Jika kita tidak kuat menolak “godaan suap”. Baik berupa uang atau sembako atau yang lainnya, karena berbagai alasan. Maka jangan sampai kita mengumpulkan dua keburukan sekaligus.
Jangan sampai kita “mengambil suap” dan memilih paslon yg diharamkan oleh Allah. Sungguh keduanya merupakan keburukan yg sangat nyata. Kalau kita tidak mampu meninggalkan dua-duanya, maka paling tidak jangan melakukan dua-duanya.
7. Kaum Muslimin -semoga Allah memuliakan kalian-. Penulis yakin masih ada kebaikan dan semangat iman di dada-dada kalian. Di sisi lain, penulis juga yakin, bahwa kalian sadar betul, bahwa sangat jarang dari kaum nasrani dan etnis ‘tionghoa’ yang akan memilih paslon kaum muslimin.
Oleh karena itu, janganlah ragu untuk menguatkan barisan kaum muslimin dengan memilih pemimpin dari kaum muslimin.
Ingatlah, karena tugas dan kewajiban memilih pemimpin sudah ditaruh di pundak kita, maka wajib bagi kita menunaikan tugas kewajiban tersebut sebaik-baiknya.
Jangan sampai kita menyia-nyiakannya, atau bahkan mengkhianatinya, karena itu semua akan kita pertanggung-jawabkan di hadapan-Nya.
Silahkan dishare. Semoga bermanfaat.
 
Ust. Musyaffa Ad Darini