Tentang krisis besar Tahun Ramadah dimasa Umar bin Khathab, ketika bumi berwarna abu-abu akibat kering yang membunuh. Sungguh benar, barakah itu bukan berarti tiada persoalan. Disebaik-baik zaman, dipimpin lelaki penuh iman, krisis tetap ada.
Pintu keberkahan yang terbuka dari langit dan bumi ketika penduduk negeri beriman dan bertakwa (Surat Al A’raaf ayat 96) bisa saja berbentuk musibah.
Maka krisis itu mengungkapkan lebih jauh tentang sosok Umar yang bukan hanya keras dan tegas, tapi sungguh penyantun dan penyayang. Dia haramkan bagi dirinya segala makanan lembut dan lezat. Dimakannya tepung kasar, garam, kurma yang berulat dan lemak kertas. Kulitnya yang semula putih kemerahan, berubah menghitam, kering dan pecah-pecah. Galur air mata dipipinya kian dalam.
Demikian pula, rakyat yang dipimpin Umar terbimbing penuh kepedulian, prihatin bersama, saling membantu dan membahu. Tercontoh Uwais Al Qarni setiap hari dia berkeliling membagi makanan, hingga lelah dan tak sanggup berjalan. Lalu dia menangis. Dalam tangis, berdoalah Uwais, “Ya Allah, janganlah Engkau marah padaku jika hari ini masih ada hambaMu yang kelaparan.”
Duhai sedihlah hari ini mengukur kemuliaan dengan tak adanya derita yang menghinggapi. Lihatlah Umar dan rakyatnya dalam lapar dan dahaga. Jangan kiranya hari ini kekayaan menjadi Tuhan, diangankan, dirindukan, dicitakan, dipikirkan, dibincangkan, melebihi Allah. Hari itu, ujar Hasan Al Bashri mulialah mereka sebab tiada beda memandang emas ataukah tanah, tapi persaudaraan imani menggelora.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media