Bersemangat untuk jadi kaya, kuat dan bermanfaat bagi seluas-luas sesama adalah mulia. Tetapi haruskah kita mencela kemiskinan dan keadaan papa?
Andai pada kemiskinan sama sekali tiada kebaikan, akankah Nabi bersabda, “Aku diperlihatkan surga, kebanyakan penduduknya miskin adanya.”
Adalah Abdurrahman bin Auf, si kaya yang penampilannya tak beda dengan budaknya. Suatu hari menangis ketika hidangkan roti lembut. Tersedu dia berkata, “Mush’ab bin Umair lebih baik dari kami. Dia tak pernah menikmati makanan seperti ini. Kala syahid di Uhud, tiada kafan baginya selain selimut usang. Kalau ditutup ke kepala terbuka kakinya, jika diselubungkan ke kaki tersingkap kepalanya.
Tangisan Abdurrahman adalah sebab terkenang ungkapan Nabi saat melihat Mush’ab di Madinah. Si tampan yang sejak hijrahnya menjadi papa. Kulitnya mengelupas bagai ular berganti sisik, baju bertambal, tubuhnya kurus kurang gizi.
Saat hijrah Nabi menitikkan air mata dan bersabda, ” Bagaimana kalian jika dunia dibukakan, lalu masing-masing kalian berlimpah kekayaan dan kemuliaan?” Beliau memandangi sahabat-sahabatnya. Mereka yang saat itu nyaris semua fakir menjawab adanya, “Jika demikian keadaan kami pastilah baik ya Rasulullah!” Nabi menggeleng dengan pelupuk tergenang, “Tidak! Demi Allah! Demi Allah, kalian hari ini lebih baik daripada kalian pada hari itu!”
Begitulah faktanya, Nabi lebih khawatir dengan kekayaan daripada keadaan kemiskinan sahabat kala itu. Allah mencela orang tatkala diberi karunia mengatakan: “Tuhanku memuliakanku” dan saat disempitkan rezeki mengeluh: “Tuhanku menghinakanku” (Surah Al Fajr ayat 15-16)
Namun benar kata Nabi, “Ni’mal malish shalih, li rajulish shalih! Sebaik-baik harta yang baik, ditangan lelaki baik (shaleh). Maka kekayaan itu kebaikan yang pujian padanya bersyarat. Jika penggenggamnya mulia bahkan memandangnya sebagai beban di yaumil akhir.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media