Panduan Shalat Tarawih (bagian 2)

Jumlah Rakaat Tarawih
Dalam riwayat Bukhari tidak menyebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan tarawih.
Demikian juga riwayat ‘Aisyah -yang menjelaskan tentang tiga malam Nabi Saw mendirikan tarawih bersama para sahabat- tidak menyebutkan jumlah rakaatnya, sekalipun dalam riwayat ‘Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya pembedaan oleh Nabi Saw tentang jumlah rakaat shalat malam, baik di dalam maupun di luar Ramadhan.
Namun riwayat ini tampak pada konteks yang lebih umum yaitu shalat malam. Hal itu terlihat pada kecenderungan para ulama yang meletakkan riwayat ini pada bab shalat malam secara umum.
Misalnya Imam Bukhari meletakkannya pada bab shalat tahajud, Imam Malik dalam Muwatha’ pada bab shalat witir Nabi Saw (lihat Fathul Bari 4/250; Muwatha’ dalam Tanwir Hawalaik: 141).
Hal tersebut memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39 rakaat.
Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat berikut:
a. Hadits Aisyah:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
Artinya: “Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan” (lihat al-Fath : ibid).
b. Imam Malik dalam Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari untuk  melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang.
Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman dinyatakan bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat (lihat al-Muwatha’ dalam Tanwirul Hawalaik: 138).
c. Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir).
Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan asy-Syafi’i (lihat Fiqhu Sunnah: 1/195).
d. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya (al-Fath: ibid ).
e. Imam asy-Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat. Sedangkan di Makkah 33 rakaat. Dan menurutnya  hal tersebut memang memiliki kelonggaran (al-Fath : ibid).
Dari riwayat diatas jelas bahwa akar persoalan dalam jumlah rakaat tarawih bukanlah persoalan jumlah melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan.
Ibnu Hajar berpendapat: “Bahwa perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya”.
Hal  senada juga diungkapkan oleh Imam Asy-Syafi’i: “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Jika shalatnya pendek dan jumlah rakaatnya  banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama”.
Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa :

  • Orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Saw.
  • Dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar Ra
  • Sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh Salafus shalih dari generasi sahabat dan tabi’in.

Bahkan menurut Imam Malik ra hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad ra bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250 dan seterusnya).
Imam az-Zarqani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat  yang sangat panjang.
Namun menjadi bergeser pada 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan dalam mendirikannya oleh umat Islam.
Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama (Lihat hasyiah Fiqhu Sunnah : 1/195).
Dengan demikian tidak ada alasan yang mendasar untuk saling memperdebatkan satu dengan yang lain dalam jumlah shalat tarawih, apalagi menjadi sebab perpecahan umat. Padahal persatuan umat adalah sesuatu yang wajib.
Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi perhatian dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media yang komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin, sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersama-Nya di manapun berada.
*bersambung
 
Sumber :
Buku Panduan Lengkap Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center

Ini Kesempatan Emas

Oleh: M. Lili Nur Aulia
 
Ramadhan adalah pengunjung dan Anda yang dikunjungi. Maka dimanakah kewajiban tuan rumah untuk menjamunya?!
Ramadhan adalah sebuah lautan dan hari raya idul fitri adalah sebuah pantai. Maka berapa banyak hasil tangkapan yang akan Anda dapatkan sebelum sampai ke pantai itu?!
Jadikanlah Ramadhan harapan paling dekat, dan akhir sebuah harapan.
Tutuplah pintu kemalasan. Bukalah pintu kerja dan amal.
(Baca juga: Untuk Allah, Karena Allah, Bersama Allah)
Sebelum Anda sakit dan menjadi kurus kering. Sebelum Anda tua dan menjadi rapuh.
Kemudian Anda mati dan dilupakan. Kemudian Anda dikubur dan punah. Kemudian Anda dibangkitkan dan hidup kembali.
Kemudian dipanggil. Kemudian Anda dikumpulkan. Kemudian diberi balasan..
Sumber:
Ramadhan Sepenuh Hati, M. Lili Nur Aulia.

Bersaing dengan Orang yang Mati Syahid

Oleh: M. Lili Nur Aulia
 
Dengan ketaatan, Anda bersaing dengan orang yang mati syahid dalam kedudukan dan ada kemungkinan Anda mengalahkannya. Diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada dua orang dari Bani Qadha’ah datang kepada Rasulullah saw, keduanya masuk Islam secara bersamaan. Salah seorang dari keduanya sangat tekun dan sungguh-sungguh beribadah dibandingkan yang satunya.
Keduanya berangkat perang di jalan Allah, kemudian seorang yang tekun dan sungguh-sungguh gugur syahid. Sedangkan yang satunya tetap hidup setelahnya selama setahun, baru kemudian meninggal.
Thalhah mengatakan, “Aku bermimpi berada di pintu surga dan tiba-tiba bertemu dengan keduanya. Pemuda yang meninggal belakangan dipersilakan lebih dahulu untuk masuk surga. Tidak lama kemudian barulah diizinkan kepada yang mati syahid (yang meninggal lebih dahulu) untuk masuk. Setelah itu ia berkata padaku, ”Pulanglah kamu belum waktunya.”
Paginya, Thalhah menceritakan apa yang dilihat dalam mimpinya kepada orang-orang. Mereka heran, bagaimana orang yang meninggal biasa bisa mendahului orang yang mati syahid untuk masuk surga. Berita itu akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.
(Baca juga: Perasaan Istimewa)
Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah saw, orang ini lebih tekun dan sungguh-sungguh dibandingkan temannya yang mati syahid. Kenapa temannya masuk surga lebih dulu dari yang mati syahid?” Rasulullah SAW menjawab, “Bukankah setelah itu dia hidup selama satu tahun?” Mereka menjawab, “Betul”.
Rasulullah SAW bersabda, “Dia menjumpai Ramadhan, dia berpuasa dan shalat demikian dan demikian dalam setahun?” Mereka menjawab, “Betul”. Rasulullah SAW bersabda, “Maka jarak antara keduanya lebih jauh (dibandingkan jarak) antara langit dan bumi.” (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Oleh karena itu, berpuasa Ramadhan dengan puasa yang benar karena iman dan penuh harap serta merebut kebaikan-kebaikan yang ada di bulan Ramadhan akan menjadi amal ibadah luar biasa dibanding dengan lainnya.
Maka timbangan (kebaikan) Anda menjadi berat dan derajat Anda di surga menjadi tinggi. Anda berada di samping Nabi, shahabat dan orang yang mati syahid. Dan mereka adalah sebaik-baik teman.” (QS. An Nisa’: 69)
Sumber :
Ramadhan Sepenuh Hati, M. Lili Nur Aulia.

Beberapa Hal Makruh dalam Puasa

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Hal hal yang dimakruhkan ketika berpuasa adalah
1. Puasa wishal (puasa dua hari bersambung tanpa makan -berbuka/sahur).
Hal ini makruh menurut mayoritas ulama, dan haram menurut madzhab Syafi’i. Dikecualikan bagi diri Nabi Muhammad Saw yang hukumnya boleh, sebagaimana yang termuat dalam haditsnya Ibnu Umar:
” واصل رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان، فواصل الناس، فنهى رسول الله عن الوصال ، فقالوا : إنك تواصل ؟ قال : إني لست كأحدكم ، إني أظل يطعمني ربي ويسقيني ” متفق عليه
Rasulullah Saw melakukan puasa wishal pada bulan Ramadhan, maka orang-orang pun ikut melakukan wishal, kemudian Nabi melarang mereka agar tidak melakukan wishal. Mereka berkata: “Tapi, engkau melakukan wishal?”. Beliau bersabda: “Aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum oleh Allah“. (Muttafaqun alaih).
2. Melakukan hubungan mesra
Yakni dengan suami/isteri tanpa bersetubuh seperti mencium, meraba, dan lain lain. Karena dikhawatirkan bisa mengeluarkan air mani yang bisa membatalkan puasa. Dan dikhawatirkan jatuh dalam persetubuhan yang haram untuk dilakukan saat puasa, yang bisa memberatkan dalam hukuman batalnya puasa.
3. Berlebih-lebihan dalam melakukan hal yang  mubah, seperti mencium wangi-wangian di siang hari bulan Ramadhan.
(Baca juga: Hal-hal yang Disunnahkan dalam Puasa)
4. Mencicipi makanan
Karena dikhawatirkan bisa tertelan dan bisa tercampur ludah yang kemudian tertelan.
5. Berkumur dan istinsyaq (menghirup air dengan hidung) secara berlebihan
Karena dikhawatirkan bisa tertelan yang mengakibatkan puasanya menjadi batal.
Sumber :
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center
 

X