Pertama Kali, 2 Wanita Muslim Resmi Terpilih Jadi Anggota Kongres AS

Washington DC – Warga Amerika Serikat(AS) memilih dua wanita muslim menjadi anggota Kongres AS dalam pemilihan umum (pemilu) sela 6 November.
Ini menjadi momen pertama kali dalam sejarah AS ketika dua wanita muslim menjadi anggota Kongres AS saat retorika anti-Muslim merajalela.
Seperti dilansir AFP, Rabu (7/11/2018), dua politikus wanita itu adalah Ilhan Omar (36) dan Rashida Tlaib (42), yang sama-sama mewakili Partai Demokrat dalam pemilu sela 6 November.
Omar yang seorang pengungsi Somalia, dipastikan memenangkan kursi House of Representatives (HOR) — setara DPR — untuk salah satu distrik Minnesota.
Dia akan menggantikan Keith Ellison, anggota parlemen Demokrat yang juga seorang muslim.
Sedangkan Tlaib yang seorang pekerja sosial, dipastikan memenangkan kursi House atau HOR di salah satu distrik di Detroit, Michigan.
Tlaib yang merupakan anak imigran Palestina ini tidak menghadapi perlawanan dari kandidat Republik dalam pemilu sela ini.
Pada Agustus lalu, Tlaib hampir dipastikan menduduki kursi House untuk salah satu distrik Michigan setelah memenangkan pemilihan pendahuluan. Tlaib mengalahkan lima kandidat Partai Demokrat lainnya dalam pemilihan pendahuluan itu.
Kedua wanita muslim ini akan menambah jumlah total politikus muslim di House menjadi tiga orang.
Anggota parlemen Andree Carson, yang seorang muslim dan keturunan Afrika-Amerika, juga dipastikan mempertahankan kursi House untuk salah satu distrik Indiana.
Terpilihnya Omar dan Tlaib dalam pemilu sela ini sungguh bertolak belakang dengan meningkatkan sentimen anti-Islam di AS.
Council on American-Islamic Relations (CAIR) melaporkan peningkatan 21 persen dalam kejahatan kebencian anti-Islam dalam enam bulan pertama tahun 2018.
 
Sumber : Detik

OKI Akan Gugat di PBB atas Pemindahan Kedubes AS ke Yerusalem Mei Ini

JAKARTA – Negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) akan mengambil langkah-langkah hukum dan politik untuk menanggapi kebijakan unilateral Amerika Serikat.
Pemerintah Trump yang memindahkan Kedutaan Besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem Palestina semakin menyudutkan negara Palestina yang hilang dari peta.
Gugatan OKI akan dilayang lewat mekanisme di PBB dan Pengadilan Kejahatan Internasional.
Sikap negara-negara OKI itu disampaikan pada acara Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI ke-45 di Dhaka, Bangladesh, seperti disampaikan dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Senin (7/5).
Langkah hukum dan politik tersebut akan dilakukan oleh OKI, termasuk melalui mekanisme Sidang Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan Pengadilan Internasional (International Court of Justice).
Negara-negara OKI juga menekankan mengenai kedudukan Yerusalem sebagai ibu kota Palestina merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari formula solusi dua negara (two states solution) untuk penyelesaian konflik Arab-Israel.
Selain itu, negara anggota OKI juga menyerukan kepada masyarakat internasional untuk tidak ikut memindahkan kedutaan besar lainnya ke Yerusalem.
KTM OKI kali ini menghasilkan Deklarasi Dhaka dan beberapa keputusan penting terkait Palestina, yaitu

  1. Posisi dan pernyataan bersama OKI untuk secara konsisten membantu memberikan sumber daya material untuk mendukung perjuangan bangsa Palestina dan
  2. Mengecam keras keputusan unilateral AS membuka Kedutaan Besar di Yerusalem pada 14 Mei 2018.

Saat pembukaan KTM OKI itu, Pemerintah Indonesia mendapat kehormatan untuk berbicara mewakili Kelompok Asia.
Dalam kesempatan tersebut Wakil Menteri Luar Negeri RI A.M. Fachir menyampaikan apresiasi sekaligus komitmen untuk mendukung Bangladesh yang akan mengetuai KTM OKI dalam periode satu tahun ke depan.
 
Sumber : Republika

Voting di Majelis Umum PBB soal Yerusalem, 128 Negara Menentang AS

Pemungutan suara (voting) di sidang darurat Majelis Umum PBB, Kamis (21/12/2017), mendapati 128 negara menentang langkah Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Seperti dirilis situs PBB, hanya 9 negara mendukung langkah Amerika, yaitu Israel, Guatemala, Honduras, Togo, Mikronesia, Nauru, Palau, dan Kepulauan Marshall.
Adapun negara-negara yang menyatakan abstain antara lain adalah Filipina, Rumania, Rwanda, Australia, Kanada, Republik Ceko, Kroasia, dan Meksiko. Ukraina yang sebelumnya di Dewan Keamanan PBB mendukung rancangan resolusi yang menolak langkah Amerika soal Yerusalem.
Mayoritas negara anggota PBB dalam sidang darurat Majelis Umum ini menuntut semua negara mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai status Yerusalem. Resolusi sebagai hasil pemungutan suara ini pun menyatakan “penyesalan mendalam” atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem.
Resolusi tersebut menegaskan kembali bahwa status final Yerusalem hanya dapat diselesaikan melalui pembicaraan langsung antara Palestina dan Israel sebagaimana disepakati dalam sejumlah resolusi PBB sebelumnya.
Pemungutan suara di Majelis Umum PBB ini digelar setelah Amerika Serikat pada Senin (18/12/2017) menggunakan hak veto untuk menolak rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang meminta negara itu membatalkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Hanya Amerika Serikat yang menentang rancangan resolusi di sidang Dewan Keamanan PBB itu, 1 dari 15 anggota.
Meski didukung 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, resolusi itu gagal terbit karena Amerika menggunakan hak vetonya.
Adapun pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (6/12/2017) dan langsung mendapat penolakan dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Ancaman Amerika Tidak Ditakuti
Sidang darurat Majelis Umum PBB ini digelar atas permintaan dari Palestina dan mendapat dukungan dari sejumlah negara, menyusul langkah veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB.
Sehari sebelum sidang digelar, Amerika Serikat mengancam akan melakukan sanksi ekonomi kepada negara-negara anggota PBB yang bersuara berseberangan dengannya.
Resolusi PBB
Resolusi PBB 377 yang terbit pada 1950 menjadi payung hukum penyelenggaraan sidang darurat Majelis Umum PBB dalam hal Dewan Keamanan PBB gagal membuat resolusi terkait perdamaian karena penggunaan hak veto.
Prosedur ini dikenal dengan sebutan “uniting for peace”. Ketentuan lengkap mengenai prosedur ini dapat disimak lewat linkhttps://www.un.org/en/ga/sessions/emergency.shtml.
Sayangnya, resolusi yang dihasilkan dari sidang darurat Majelis Umum PBB seperti ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Resolusi tersebut juga tak bisa memaksa penggunaan hukum internasional seperti bila resolusi dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.
Namun, resolusi Dewan Keamanan PBB yang terbit pada 1980 terkait larangan bagi setiap negara untuk menggelar misi diplomatik di Yerusalem belum pernah dicabut. Resolusi mengenai status akhir Yerusalem harus diputuskan lewat negosiasi langsung Palestina dan Israel—terbit pada 1967—juga masih berlaku.
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley, menyatakan negaranya tetap akan memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem sekalipun ada resolusi Majelis Umum PBB ini.
“Amerika akan menempatkan kedutaan kami di Yerusalem… Tidak ada resolusi di PBB yang akan membuat perbedaan dalam hal itu,” ujar Haley di sidang Majelis Umum PBB tersebut, seperti dikutip AFP.
Namun, kata Haley, Amerika kini punya pandangan yang tak lagi sama soal PBB dan negara-negara yang berseberangan suara dengannya.
Palestina menyambut gembira resolusi Majelis Umum PBB ini. “(Hasil) pemungutan suara ini adalah kemenangan bagi Palestina,” kata Nabil Abu Rainal, juru bicara Presiden Palestina Abbas, seperti dikutip Reuters.
Adapun Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, menyebut hasil pemungutan suara 128 berbanding 9 ini merupakan kemunduran besar bagi Amerika Serikat.
 
Sumber : AFP

DK PBB Pertimbangkan Resolusi Pembatalan Yerusalem Ibu Kota Israel

NEW YORK – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) sedang mempertimbangkan sebuah rancangan resolusi yang bertujuan untuk membatalkan status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Status itu dibuat sepihak oleh Amerika Serikat (AS).
Teks rancangan resolusi diajukan Mesir dan telah diedarkan ke 15 anggota DK PBB pada hari Sabtu. Rancangan resolusi itu tidak menyebut AS atau pun Presiden Donald Trump secara khusus.
Seorang diplomat di DK PBB mengatakan bahwa rancangan resolusi tersebut memiliki dukungan yang luas. Namun, kemungkinan akan diveto oleh Washington.
DK PBB kemungkinan akan membuat keputusan soal rancangan resolusi itu pada hari Senin atau Selasa nanti.
Sebuah resolusi bisa diadopsi jika mendapat dukungan setidaknya dari sembilan suara dari total anggota DK PBB dan tidak diveto oleh AS, Prancis, Inggris, Rusia atau pun China.
Keputusan AS yang secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel diumumkan Presiden Donald Trump, Rabu, 6 Desember 2017. Dalam pengumuman tersebut, Trump juga memerintahkan Departemen Luar Negeri AS mempersiapkan pemindahan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Langkah AS itu memicu kemarahan dunia Arab dan Muslim. Sejak pengumuman Trump, rakyat Palestina terus menggelar demonstrasi “Hari Kemarahan”. Total sudah delapan warga Palestina tewas dibunuh pasukan keamanan Israel dalam demo di berbagai lokasi.
“Menegaskan bahwa setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk diubah, komposisi karakter, status atau demografis Kota Suci Yerusalem tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku dan tidak berlaku lagi dan harus dibatalkan sesuai dengan resolusi yang relevan dari Dewan Keamanan,” bunyi rancangan resolusi yang diajukan Mesir.
“(Resolusi) ini menyerukan kepada semua negara untuk menahan diri dari pembentukan misi diplomatik di Kota Suci Yerusalem, sesuai dengan resolusi 478 (1980) Dewan Keamanan,” lanjut bunyi rancangan resolusi tersebut, yang dikutip Minggu (17/12/2017).
Israel menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibu kota abadi mereka. Namun, rakyat Palestina menginginkan ibu kota negara masa depan mereka adalah Yerusalem Timur yang diduduki Israel usai perang 1967.
 
Sumber : NYTimes/Sindonews
 
 

Raja Salman Meratapi Kehancuran Suriah kepada Presiden Trump

Riyadh – Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud meratapi tentang kehancuran Suriah kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang berkunjung ke Arab Saudi.
Arab Saudi merupakan pendukung utama pasukan pemberontak di Suriah dan Raja Salman meratapi kehancuran yang disebabkan oleh perang sipil di Suriah saat bertemu Trump di Riyadh.
“Suriah juga dulu adalah salah satu negara paling maju,” kata Raja Salman kepada Trump, menurut laporan pers Gedung Putih seperti dikutip dari Independent.
“Kami menyekolahkan profesor kami di Suriah. Mereka melayani kerajaan kami. Sayangnya, mereka juga membawa kehancuran ke negara mereka sendiri. Anda bisa menghancurkan sebuah negara hanya dalam hitungan detik, tapi butuh banyak usaha untuk mengembalikannya,” kata Raja Salman.
Perang saudara pasukan Bashar al-Assad, pemberontak anti-pemerintah, ISIS, dan kelompok-kelompok yang terkait dengan Al-Qaeda di Suriah telah berlangsung selama lebih dari enam tahun.
Arab Saudi memberikan bantuan militer dan keuangan yang signifikan kepada beberapa kelompok pemberontak melawan kediktatoran Assad yang membunuhi rakyatnya sendiri.
Raja Salman: Kunjungan Trump ke Saudi Akan Perkuat Keamanan Dunia
Raja Salman bin Abdulaziz mengatakan, kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Saudi akan memberikan kontribusi pada keamanan global, dan pengembangan kerja sama bilateral.
“Kami menyambut Trump ke Kerajaan Arab Saudi. Presiden, kunjungan Anda akan memperkuat kerjasama strategis kami, yang mengarah pada keamanan dan stabilitas global,” kata Raja Salam melalui akun Twitter pribadinya, seperti dilansir Sputnik pada Minggu (21/5).
Trump sendiri diketahui telah tiba di ibukota Saudi, Riyadh kemarin. Dia datang ke Saudi untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Arab Islam dan AS, dan juga untuk melakukan pertemuan bilateral dengan Raja Salman.
Setibanya di Saudi, Trump langsung disambut oleh Raja Salam. Pemimpin Saudi itu langsung menyalami Trump ketika Presiden AS itu turun dari tangga pesawat.
Raja Salman, Trump dan rombongan lantas pindah ke Royal Court (Istana Kerajaan), di mana presiden AS itu dianugerahi medali emas oleh sang Raja Arab Saudi.
Sambutan Berbeda dibanding Presiden AS Sebelumnya
Sambutan terhadap Trump ini berbeda dengan yang diberikan kepada Presiden Obama dan Presiden George W. Bush di masa lalu.
Obama yang melakukan lawatan terakhir ke Saudi pada April 2016 tidak disambut Raja Salman. Dia hanya disambut oleh Gubernur Riyadh, Pangeran Faisal bin Bandar al-Saud.T
Presiden Trump juga dihadiahi medali emas oleh Raja Salman di Istana Kerajaan dalam kunjungannya kali ini ke Riyadh, Arab Saudi.
Terkait dengan KTT Arab Islam-AS, Trump dijadwalkan akan berpidato dalam acara tersebut. Dia akan menyampaikan visinya untuk membangun hubungan baik dengan dunia Islam. Trump juga akan menyerukan visi damai Islam.
 
Disadur : Tempo/SindoNews