Teladan Wanita Di Sekitar Para Nabi
Wanita hebat itu Hajar, ditinggalkan bersama bayi di terik gurun mematikan: “Jika ini perintah-Nya, Dia takkan pernah menyiakan kami.” Kalimat itu sulit dan berat sebab dia bersama bayi merah dan sergapan rasa menggulung: takut, sedih, kecewa, dan cemburu. Dan kalimat iman tak serta merta membuat langit turunkan keajaiban. Wanita itu diuji, maka berpayah dia lari-lari tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah.
Proklamasi iman itu mengabadi, tanpanya kita tak bisa melakukan sa’i saat haji. Tak jumpa air zam-zam, tak bisa jumrah dan berucap “kama shallaita” di tahiyat. Hajar adalah wanita mulia, disisinya pun ada suami dan anak yang mulia. Tetapi bagaimana jika kau bersuamikan lelaki yang jahat lagi keji?
Mari mengaca pada Asiyah, wanita di sisi Fir’aun itu. Ujian iman dimulai dari sosok terdekat yang seharusnya jadi pelabuhan rasa. Dan wanita teguh itu menemukan manisnya pengaduan pada Rabb semesta alam : “Bangunkan untukku rumah disisi-Mu, di surga terjanji itu.”
Selanjutnya inilah wanita suci, ahli ibadah pelayan umat yang tak pernah disentuh lelaki manapun. Maka Allah memilihnya jadi keajaiban zaman. Dan bukankah tiap karunia hakikatnya ujian, pun begitu pada Maryam. Wanita suci itu menanggungkan aib, rasa malu dan beratnya beban darinya lahir seorang anak tanpa suami. Tetapi begitulah iman. Ia tak menjamin untuk selalu berlimpah dan tertawa. Ia hanya hadirkan lembut sapa-Nya ditiap dera yang menimpa. Wanita itu diabadikan dalam surah Al Qur’an, maryam. Najasyi, para uskup Habasyah dan semua pecinta mencucurkan airmata ketika dibacakan surah tersebut.
Lalu hadirlah Khadijah. Wanita yang segala kata membisu didepan keagungannya. Janda mulia itu memilih si lelaki terpuji untuk hidupnya. Dimulailah perannya sebagai wanita yang menegakkan punggung suami dihadapan zaman, menyediakan kelembutan dan kelapangan hati.
Turunnya wahyu pertama serasa memikulkan sepenuh bumi ke pundak nabi Muhammad saw. Wanita itu menyambut gemetar suami dengan selimut lembut tanpa tanya. “Khadijah, wanita itu beriman padaku saat semua ingkar. Dia serahkan hartanya ketika semua bakhil.” kenang Muhammad bertahun kemudian.
Dari wanita ini lahir Fatimah, penghulu surgawati berikutnya. Satu hari, setimbun isi perut unta ditumpahkan ke kepala Nabi yang sujud. Beliau tak bangkit hingga wanita belia itu datang mengusap dan menyeka penuh tangis haru. “Tenang Fatimah, Allah takkan siakan ayahmu.” Wanita itu menuntun ayahnya pulang, disekakannya air hangat, dibakarkannya perca untuk hentikan darah di luka. Lalu disilakannya rehat.
Penuh nyali wanita itu kembali ke Ka’bah, ditudingnya para pemuka Quraisy yang tertawa-tawa hingga mereka terkesiap. Lalu dia bicara. “Ayahku Al Amin, akhlaknya mulia dan tak sekalipun dia pernah rugikan kalian.” Wanita itu terus bicara dan mereka khusyuk mendengarkan. Fatimah; dia putri Nabi setara raja, tapi pelayan pun tak punya. Dia istri pahlawan, tapi tangannya melepuh menggiling gandum. Wanita ini ibu dari dua penghulu pemuda surga, tapi rumah cahaya itu roti berbukanya sering tandas tersedekah hingga lapar menyergap.
Mari takjubi Aisyah. Wanita cerdas ini ahli tafsir, sejarah, faraidh, meriwayatkan 4.000an hadist dan hafal ribuan bait syair. Ajaibnya wanita ini bergelar Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq (yang amat jujur putri pembenar kebenaran). Menguasai itu semua sebelum 18 tahun. Kehadiran wanita ini menjadikan hidup sang Nabi warna-warni, cantiknya, cerdas lincahnya, cemburu, juga iri dan fitnah yang mengguncang. Madinah jadi indah dengan ilmunya. Bashrah bergelora dengan khutbah-khutbahnya. Menuntut bela pembunuhan ustman kepada Ali.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media