Rajab dan Persiapan Ramadhan

Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
 
Tidak terasa sekarang kita sudah memasuki pertengahan menuju akhir dari bulan Rajab. Mungkin banyak diantara kaum muslimin yang masih belum sadar bahwa sekarang mereka sudah berada di bulan Rajab. Atau mungkin juga diantara mereka mengetahuinya, akan tetapi hal itu adalah hal yang biasa saja. Tak ada bedanya antara ada bulan Rajab atau tidak. Dan memang begitulah, euforia menyambut bulan Rajab tak terlihat sama sekali di masyarakat, padahal sejatinya bulan Rajab merupakan terminal pertama menuju bulan suci Ramadhan. Ia adalah momen awal menyambut Ramadhan. Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan adalah tiga bulan yang saling berurutan. Deretan bulan ini mengisyaratkan pentingnya penekanan ibadah menjelang bulan penuh ampunan, Ramadhan.
Sebuah kesuksesan kerap kali tak bisa lepas dari persiapan yang matang. Jika boleh direfleksikan, maka Ramadhan dengan segala kemuliaannya adalah sebuah kompetisi besar yang mesti diikuti semua umat Islam. Kompetisi menuju manusia terbaik dihadapan-Nya, yang berujung pada gelar takwa. Layaknya sebuah kompetisi, mestilah ada sebuah persiapan cukup untuk memenanginya. Seperti halnya siswa yang akan mengikuti ujian, maka ia akan mempersiapkan ujian tersebut sejak beberapa bulan sebelumnya.
Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik ra, ketika Rasulullah SAW memasuki bulan Rajab, beliau berkata (berdo’a), “Yaa Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukan kami dengan bulan Ramadhan.” (HR. Muslim).
Dari teks hadits diatas, maka bisa disimpulkan bahwa Ramadhan adalah tujuan dan Rajab adalah awal untuk mendapatkan tujuan itu. Sebagaimana perkataan Ibnu Athaillah rahimahullah, “Barang siapa yang baik permulaannya, maka baik pula penutupnya.”
Keberkahan di bulan Rajab dan Sya’ban hanya bisa didapatkan dengan cara mengisinya dengan ibadah dan amal shalih. Dengan modal keberkahan tersebut, berarti kita telah siap menyambut kedatangan Ramadhan.
(Baca juga: Khutbah Rasulullah Menyambut Ramadhan)
Ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang amalan-amalan yang bisa kita lakukan di bulan Rajab ini, diantaranya ialah,
“Anas bin Malik ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Di surga ada sebuah sungai yang bernama Rajab. Ia lebih putih daripada susu dan lebih manis dari madu. Barang siapa yang berpuasa satu hari saja di bulan tersebut, Allah akan memberinya minuman dari sungai tersebut.’” (HR. Ibnu Hibban).
Imam As-Suyuthi mengomentari hadits tersebut dengan berkata, “Hadits ini bukanlah hadits palsu, ia adalah hadits dha’if yang boleh diriwayatkan karena berkaitan dengan fadhail a’mal”.
‘Izzuddin bin Abdis salam berkata dalam sebuah fatwanya yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya,
“Bagaimana pendapatmu mengenai pandangan sebagian ulama mengenai keutamaan dari tiap-tiap bulan dan anjuran melakukan amal shalih di dalamnya, dan diantaranya ialah bulan Rajab yang mana sebagian ahli hadits melarang berpuasa dan memuliakannya dengan alasan bahwa hal itu menyerupai kebiasaan kaum jahiliyah.
Apakah dilarang berpuasa dan memuliakan bulan tersebut?”
Beliau menjawab, “Perkataan sebagian ulama yang menyebutkan akan kemuliaan bulan Rajab, maka diantaranya ada yang shahih dan ada yang tidak. Yang tidak shahih lebih banyak daripada yang shahih. Adapun yang melarang berpuasa di dalamnya, sebenarnya ia buta terhadap syari’at. Bagaimana ia bisa menjadi terlarang, padahal tidak satupun ulama syariah yang menggolongkan Rajab ke dalam bulan yang dimakruhkan untuk berpuasa. Barang siapa yang memuliakan Rajab dengan cara-cara yang jahiliyah, maka ia bukan termasuk menyerupai kaum jahiliyah.”
Selain itu, di bulan Rajab terjadi peristiwa sejarah yang penting bagi umat Islam. Pada bulan Rajab, tahun 10 kenabian (620 M) terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj.
Peristiwa ini diperingati sebagai hari besar umat Islam karena ia adalah momentum naiknya Rasulullah saw ke sidratul muntaha untuk menerima shalat lima waktu.  Hendaknya ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa jika kita ingin mendekat kepada Allah, jalan yang paling utama ialah dengan cara shalat. Jika kita memperbaiki shalat kita, maka hubungan kita dengan Allah juga akan semakin dekat.
Dengan begitu, persiapan kita menuju bulan yang paling mulia akan semakin sempurna. Perumpamaan bulan Rajab bagaikan angin, bulan Sya’ban bagaikan awan, dan bulan Ramadhan bagaikan hujan. Barang siapa yang tidak menanam di bulan Rajab dan tidak menyiraminya di bulan Sya’ban, bagaimana mungkin ia akan memanen di bulan Ramadhan?
Wallahu a’lam.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 370 – 29 April 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Mulianya Aisyah binti Abu Bakar di dalam Islam

Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
 
Aisyah binti Abu Bakar bin Quhafah ra. adalah salah satu ummul mukminin. Ibunya adalah Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir al-Kinaniyah. Ia lahir 4 atau 5 tahun setelah masa kenabian. Ia adalah sosok wanita yang cerdas dan suci, memiliki keimanan dan kesetiaan yang kuat pada Islam. Ia juga adalah wanita yang putih dan cantik, sehingga Rasulullah SAW seringkali memanggilnya dengan panggilan “Humaira`” (wanita yang pipinya kemerah-merahan).
Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW kurang lebih 10 bulan sebelum hijrah pada saat ia berusia 6 tahun. Ia mulai tinggal bersama dengan Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun ke 2 H saat berusia 9 tahun. Dalam sebuah riwayat dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah SAW menikahiku pada saat aku berusia 6 tahun. Beliau mulai tinggal bersamaku saat aku berusia 9 tahun.” (Muttafaq ‘alaih).
Rasulullah SAW pernah bermimpi melihat Aisyah sebelum beliau menikahinya. Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa Aisyah ra. berkata, Rasulullah SAW berkata padaku, “Aku melihatmu dalam mimpiku selama 3 malam. Malaikat datang kepadaku bersamamu dengan membawa sepotong kain sutera. Lalu malaikat tersebut berkata, “Ini adalah isterimu.” Lalu aku menyingkap wajahmu, dan ternyata itu adalah engkau. Aku pun berkata, “Jika ini berasal dari Allah, maka Allah akan memudahkannya.” (Muttafaq ‘alaihi).
Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang dinikahi saat masih gadis. Ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menuju sebuah lembah yang di dalamnya terdapat pohon yang sudah dimakan, lalu engkau mendapatkan pohon yang belum dimakan, di pohon manakah engkau akan mengembalakan kambingmu?” Rasulullah SAW menjawab, “Di pohon yang belum dimakan.” Maksudnya adalah bahwa Rasulullah SAW tidak menikah dengan wanita yang gadis selain Aisyah. (HR. Bukhari). [Baca juga: Asma’ binti Abu Bakar : Wanita Dua Selendang (bagian 1)]
Aisyah memiliki kedudukan yang istimewa di hati Rasulullah SAW. Seringkali beliau mengutarakannya secara langsung tanpa menyembunyikannya. Suatu saat ‘Amr bin ‘Ash bertanya kepada Rasulullah saw, “Siapakah orang yang paling kau cintai wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aisyah.” Ia bertanya lagi, “Kalau dari kalangan laki-laki siapa?” Beliau menjawab, “Ayahnya (Abu Bakar).” (Muttafaq ‘alaih).
Aisyah ra. juga pernah berkata, “Demi Allah, aku pernah melihat Rasulullah SAW berdiri di depan pintu kamarku. Sementara orang-orang Habasyah sedang bermain-main dengan tombak mereka di Masjid Rasulullah. Beliau menutupiku dengan selendangnya agar aku dapat melihat permainan mereka. Lalu aku meletakkan kepalaku di atas pundaknya, diantara telinga dan bahunya. Kemudian beliau bangkit agar aku dapat melihat tersebut sampai akhirnya aku sendiri yang pergi.” (HR. Ahmad).
Aisyah ra. adalah seorang wanita yang cerdas dan pintar. Ia banyak mendapatkan ilmu dari Rasulullah SAW. Ia juga termasuk diantara sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Tidak ada wanita yang memiliki wawasan Islam melebihi Aisyah ra.
Al-Hakim dan ad-Darimi meriwayatkan dari Masruq bahwa ia pernah ditanya, “Apakah Aisyah menguasai ilmu faraidh (warisan)?” Lalu ada yang menjawab, “Iya, demi Allah, aku telah melihat para sahabat senior bertanya kepadanya mengenai ilmu faraidh.”
Az-Zuhri berkata, “Seandainya ilmu yang dimiliki Aisyah ditimbang dengan ilmu yang dimiliki seluruh wanita, maka ilmunya Aisyah lebih tinggi”. [Baca juga: Asma’ binti Abu Bakar : Wanita Dua Selendang (bagian 2)]
Sebagaimana ia memiliki ilmu yang luas, ia juga memiliki keutamaan yang banyak. Diantaranya ialah sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Orang yang mulia dari kalangan laki-laki jumlahnya banyak, namun dari kalangan wanita hanya Asiyah istri fir’aun, Maryam binti ‘Imron. Dan keutamaan Aisyah atas semua wanita seperti keutamaan tsarid atas makanan yang lain.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Aisyah sendiri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Aisyah, Malaikat Jibril telah mengucapkan salam kepadamu.” Lalu aku (Aisyah) menjawab, “Wa ‘alaihis salam warahmatullah.”
Bahkan ada sebuah ayat yang turun disebabkan oleh beliau, yaitu ayat yang berbicara tentang tayammum. Suatu saat ia meminjam kalung dari Asma`, lalu kalung tersebut hilang. Kemudian Rasulullah SAW meminta beberapa sahabat untuk mencarinya hingga datanglah waktu shalat, dan sahabat tidak menemukan air. Mereka pun melaksanakan shalat tanpa berwudhu`. Lalu mereka mendatangi Rasulullah SAW dan mengadukan hal itu kepadanya. Lalu turunlah ayat tayammum. Usaid bin Hudhair berkata, “Jazakillah khairan. Demi Allah tidaklah ada sebuah perkara yang menimpamu kecuali Allah memberikan jalan keluar bagimu dan Allah berikan keberkahan bagi kaum muslimin.” (Muttafaq ‘alaih).
Ibnul Qayyim berkata, “Diantara keutamaan Aisyah adalah bahwa ia adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Bukhari dan perawi lainnya”.
Dan keistimewaan yang paling utama adalah saat beliau dibersihkan secara langsung oleh Allah SWT dari tuduhan yang telah merusak kehormatannya, yaitu pada saat ia dituduh telah melakukan perbuatan zina. Allah SWT langsung menurunkan wahyu yang akan terus dibaca oleh kaum muslimin hingga hari kiamat. Allah SWT juga telah menjadi saksi bahwa ia adalah wanita yang suci dan dijanjikan ampunan dan rezeki yang besar oleh-Nya. Allah SWT juga menegaskan bahwa tuduhan zina itu adalah sebuah kebaikan baginya, bukan sebuah keburukan atau aib. Bahkan dengan peristiwa tersebut Allah SWT mengangkat setinggi-tingginya kedudukan beliau hingga hari kiamat.
Dan keutamaan lainnya yang dimiliki oleh Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahnya dan diatas pangkuannya. Ini bukanlah paksaan atau permintaan dari Aisyah, akan tetapi ini adalah keinginan langsung dari Rasulullah SAW. Bahkan sebelum Rasulullah wafat, beliau sempat menyentuh air liur Aisyah yang ada di siwak yang telah dibasahi olehnya. [Baca juga: Asma’ binti Abu Bakar : Wanita Dua Selendang (bagian 3-akhir)]
Masih banyak riwayat-riwayat lainnya yang menyebutkan keistimewaan dan keutamaan Aisyah ra, yang mana hal itu menegaskan akan posisi dan kedudukan beliau di dalam agama Islam. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin untuk menghormati dan memuliakannya, bukan mencela, menghina apalagi melaknatnya. Dan barang siapa yang mencela ummul mukmini Aisyah ra, maka pada hakikatnya ia telah melukai hati Rasulullah SAW dan menghina kehormatan Islam. Siapa saja yang tidak mengakui bahwa istri-istri Rasulullah saw –termasuk Aisyah- adalah ummul mukminin, maka ia telah mengingkari firman Allah SWT,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (al-Ahzaab: 6).
Wallahua’lam.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 333 – 12 Juni 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

4 Kriteria Pemimpin Dalam Islam

Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
 
Kepemimpinan dalam Islam merupakan perkara penting dalam kehidupan beragama setiap muslim. Ia merupakan unsur yang sangat vital dalam tegaknya agama Islam, sebab syari’at Islam hanya bisa ditegakkan secara sempurna manakala kepemimpinan dalam sebuah negara atau wilayah dikuasai oleh orang yang memiliki perhatian terhadap syariat itu sendiri. Sebaliknya, tatkala kepemimpinan dipegang oleh mereka yang anti terhadap syariat Islam dan tidak suka terhadap aturan-aturan Allah, maka sulit sekali Islam akan tegak di dalamnya.
Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah mengatakan, “Tidak ada agama yang kehilangan kekuasaan/kepemimpinan, kecuali aturan-aturannya juga akan tergantikan dengan aturan yang lain dan simbol-simbol dari agama tersebut juga akan dilenyapkan dari wilayah tersebut.”
Oleh sebab itu, memilih pemimpin merupakan perkara yang sangat penting. Ia tidak hanya sekedar untuk menentukan siapa yang berkuasa, akan tetapi lebih dari itu, ia akan menentukan tegak atau tidaknya aturan Islam. Maka dari itu, sebagai mukmin kita harus selektif dalam menentukan pemimpin agar tidak salah dalam memilih. Kita harus mengetahui siapakah pemimpin yang layak untuk dipilih dan bagaimana kriteria pemimpin yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya?
Kriteria pemimpin yang yang pertama ialah dia adalah seorang mukmin. Sebab bagaimana mungkin seorang pemimpin akan membela agama Islam kalau ia adalah orang yang kafir yang tidak percaya kepada aturan Allah? Bagaimana mungkin ia akan memperhatikan ajaran-ajaran Rasulullah, jika ia adalah orang yang tidak percaya akan kenabian Muhammad SAW?
Oleh sebab itu, Allah secara tegas memerintahkan bahwa pemimpin yang patut untuk ditaati adalah pemimpin dari kalangan kaum mukminin, sebagaimana yang termaktub dalam Surat an-Nisa’ : “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. an-Nisa’: 59). Ayat ini tertuju kepada orang-orang yang beriman. Dan kita perhatikan, kata-kata “minkum (diantara kamu)” menunjukkan bahwa pemimpin yang wajib untuk ditaati ialah pemimpin yang berasal dari kalangan orang-orang mukmin.
Selain itu, banyak sekali keterangan di dalam Al-Qur’an yang melarang kaum muslimin untuk bersikap loyal kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai pemimpin. Barang siapa yang rela dan menerima pemimpin yang bukan dari orang Islam, maka hal itu berarti ia telah berwala’ (loyal) kepada mereka.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin merupakan bagian dari sikap loyalitas dia kepada orang kafir. Allah telah menetapkan bahwa barang siapa yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka ia termasuk bagian dari mereka. Tidaklah sempurna iman seseorang kecuali dengan cara berlepas diri dari mereka. “
Kritieria pemimpin menurut Islam yang kedua ialah adil. Selain ia adalah seorang mukmin, ia juga adalah seorang yang adil. Adil dalam bersikap dan menerapkan hukum dan peraturan kepada siapa saja. Tidak membeda-bedakan apakah ia berasal dari kelompok atau kalangan manapun. Tidak mengistimewakan kalangan tertentu dan mengucilkan yang lainnya.  Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para khulafaur rasyidin. Bahkan Rasulullah SAW pernah menegur keras Usamah bin Zaid yang ingin membela salah satu kaum karena telah melakukan pencurian. Ia ingin meminta keringanan hukuman kepada Rasulullah SAW. Namun, Rasulullah mengecam keras sikap tersebut dengan berkata, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat terdahulu disebabkan karena mereka menegakkan hukuman bagi kalangan yang lemah saja, namun ia tidak menerapkannya kepada orang-orang dari kalangan atas. Demi Allah, seandainya Fatimah mencuri, pasti aku akan potong tangannya.”
Kriteria yang ketiga ialah ia adalah seseorang yang memegang amanah terhadap janji-janjinya. Amanah untuk menjaga dan mengatur kekuasaan, hak dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Sebab, kekuasaan yang telah diserahkan kepadanya merupakan tanggung jawab yang harus ia jalankan secara benar. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak.” (QS. an-Nisa’: 58). Dalam ayat yang lain Ia juga berfirman, “Sesungguhnya sebaik-baik orang yang kau pilih ialah orang yang kuat dan amanah.” (QS. al-Qashash: 26).
Yang keempat ialah kuat, baik secara fisik, mental, dan pikiran. Hal ini penting agar kekuasaan tersebut berjalan dengan lancar. Ia tidak mudah jatuh sakit dan lemah, sebab hal ini akan menjadikannya tidak fokus dalam menjalankan kekuasaan. Ia juga tegas dalam bersikap, agar tidak dipermainkan oleh rakyatnya. Tentu tegas bukan berarti bersikap kasar dan serampangan, tetapi ketegasan yang disertai dengan sikap yang bijak dan santun. Ia juga kuat dalam pikiran dalam artian memiliki wawasan yang luas serta kecermatan menentukan kebijakan. Pemimpin seperti inilah yang diinginkan oleh Allah SWT, sebagai tertera dalam surat Al-Qashash diatas dan juga sebagaimana perkataannya Nabi Yusuf a.s. “Jadikanlah aku sebagai penjaga kas negara, sebab aku adalah orang yang memegang amanah dan juga berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55).
Inilah beberapa kriteria pemimpin yang dapat menjadi ukuran bagi setiap mukmin dalam memilih pemimpinnya. Sebab, ini adalah perkara penting dalam kehidupan beragama kita. Kepemimpinan dalam Islam merupakan bagian dari ibadah, yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Semoga Allah memberikan kita para pemimpin yang berkhidmat untuk Islam dan membawa kemashlahatan bagi umat Islam. Amiin.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 368 – 15 April 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
 

Agar Tidak Tersesat Di Jalan

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Belakangan ini muncul begitu banyak aliran dan pemikiran sesat di tengah-tengah masyarakat. Mulai dari yang mengaku sebagai nabi dan malaikat hingga kepada yang mengaku sebagai pengikut imam yang ma’shum (suci),  mulai dari kelompok yang mengingkari sunnah hingga kelompok yang mudah mengafirkan orang, mulai dari  kelompok yang mencela sahabat hingga yang mencela para isteri Rasulullah, mulai dari kelompok yang menafikan kebenaran agama hingga kelompok yang menganggap seluruh agama sama.
Munculnya berbagai kelompok dan aliran sesat tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Akan tetapi, yang paling dominan adalah kurangnya  pemahaman dan pengetahuan yang komprehensif tentang Islam. Inilah yang membuat banyak orang akhirnya tersesat dan menyempal dari jalan kebenaran.
Karena itu, beragama tidak bisa dibangun di atas landasan perasaan, kecenderungan, dan keinginan individu atau kelompok. Namun, beragama harus dibangun di atas landasan pemahaman dan pengetahuan. Itulah sebabnya wahyu pertama berbunyi, “Iqra!” (bacalah!). Lalu disusul kemudian dengan, “Nûn. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (QS al-Qalam: 1). Juga Allah befirman, “Ketahuilah bahwa tidak ada ilah (Tuhan) selain Allah. Mohonlah ampunan atas dosamu.” (QS. Muhammad: 19).
Ayat-ayat di atas dan sejumlah ayat Al Qur’an lainnya menegaskan pentingnya membaca, menulis, dan belajar. Namun, apa yang harus kita pelajari dan kita ketahui agar lulus dan selamat? Apa sumber pengetahuan utama muslim? Tentu saja Al Qur’an sebagai wahyu terakhir yang menjadi pedoman hidup muslim serta sunnah yang merupakan contoh aplikatif dari nilai-nilai Al Qur’an seperti yang ditampilkan oleh Nabi saw.
Ya, sumber pengetahuan pertama bagi muslim adalah Al Qur’an. Al Qur’an diturunkan sebagai panduan sempurna, “Pada hari ini Kusempurnakan untukmu agamamu, Kucurahkan  nikmat-Ku padamu, dan Aku rela Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Maidah: 3). Karena itu, Allah sendiri yang menjaga orisinalitas Al Qur’an (lihat QS. al-Hijr: 9). Nabi pun menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman pertama dalam mendidik sahabat. Sehingga ketika Umar ra di awal-awal pernah berkeinginan membaca Taurat, Nabi saw mengingatkannya agar fokus kepada Al Qur’an. Bahkan beliau bersabda, “Andaikan Musa masih hidup, tentu ia juga akan mengikutiku.”
Pedoman kedua sesudah Al Qur’an adalah as-Sunnah. Karena yang paling memahami isi Al Qur’an adalah Rasul saw, maka sunnah beliau berfungsi menguatkan dan menjelaskan isi dan maksud Al Qur’an. Sehingga siapapun yang ingin memahami Al Qur’an dengan benar, harus kembali kepada Sunnah. Oleh sebab itu, antara Allah dan Rasul saw serta antara Al Qur’an dan as-Sunnah tidak bisa dipisahkan. Allah befirman, “Katakan, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. jika kamu berpaling,  Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (QS. Ali Imran: 32). “Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” (QS. an-Nisa: 59).  “Siapa yang taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah.” (QS. an-Nisa: 80).
Demikian pula dalam hadits terdapat begitu banyak pesan dan arahan dari Nabi saw yang mengharuskan kita berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah. Di antaranya beliau bersabda, “Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa ar-Rasyidin sesudahku. Gigitlah ia dengan geraham kalian.”
Jadi seorang muslim tidak boleh mengabaikan sunnah. Al Qur’an dan Sunnah adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Mengabaikan Sunnah karena di dalamnya terdapat hadits yang dhaif dan maudhu (palsu), atau karena tampak maknanya berbenturan dengan Al Qur’an, hanya alasan yang dibuat-buat. Pasalnya, para imam dan ahli hadits telah melakukan proses investigasi dengan sangat cermat dan rapi untuk memilah kualitas dan derajat hadits. Juga kalau tampak ada benturan dengan Al Qur’an, hal itu tidak lain karena akal manusia yang tidak bisa mencerna dan memahami, bukan malah Sunnahnya yang digugat dan dicurigai.
Oleh  karenanya, dulu Abu Bakar ra saat diberi informasi tentang peristiwa isra dan mi’raj yang tampak tak masuk akal, beliau berkata, “Selama Nabi saw yang memberitakan, pasti benar.” Begitulah sikap muslim sejati. Ia percaya kepada semua informasi dari Rasul saw selama riwayatnya shahih dan valid. Imam Malik ra berkata, “Setiap orang bisa diambil dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw.”
Kesimpulannya, agar tidak tersesat jalan, setiap muslim harus mengikuti dan berpegang pada apa yang telah dibawa dan diajarkan Nabi saw. Tidak lain adalah Al Qur’an dan as-Sunnah.  Wallahu a’lam.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 332 – 5 Juni 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Kepemimpinan dalam Islam

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Islam adalah agama yang komprehensif. Tidak ada satupun aspek dalam kehidupan ini kecuali telah diatur oleh Islam. Minimal dalam bentuk rambu-rambu umum yang menjadi pijakan dan landasan dalam mengambil keputusan. Allah befirman,
Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS an-Nahl: 89).
Apabila konsep sekuler Barat cenderung memisahkan antara urusan agama dan dunia, maka Islam menjadikan urusan dunia sebagai bagian dari agama. Apabila sebagian mereka berkata, agama adalah milik Allah sementara negara adalah milik manusia sehingga mereka bebas mengurus negara sesuai dengan keinginan mereka, maka Islam menegaskan bahwa agama dan negara semuanya merupakan milik Allah sehingga harus diurus sesuai dengan tuntunan-Nya. Bahkan kehidupan dan kematian kita juga merupakan milik Allah sehingga harus dipersembahkan untuk-Nya.
Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.  (QS an-Nahl: 162-163).
Oleh karena itu, masalah negara, kekuasaan, dan kepemimpinan tidak bisa dipisahkan dari spirit dan nilai-nilai ajaran Islam. Nash Al Qur’an, sejumlah riwayat hadits, pandangan para ulama serta realitas sejarah membuktikan hal tersebut. Di antara nash Al Qur’an yang membahas tentang masalah kekuasaan dan kepemimpinan adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu”. (QS an-Nisa: 59).
Dalam hadits, Nabi saw bersabda,
Jika tiga orang berada dalam sebuah perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin”. (HR Abu Daud, Abu Ya’la dll).
Lalu sejarah juga membuktikan bagaimana ketika Nabi SAW wafat, hal yang menyibukkan para sahabat adalah memilih pemimpin. Bahkan masalah memilih pemimpin ini membuat proses penguburan jasad beliau menjadi tertunda.
Demikian sejumlah dalil dari begitu banyak dalil  dan riwayat menunjukkan perhatian Islam terhadap masalah kekuasaan dan kepemimpinan. Sampai-sampai Ibnu Taimiyyah dalam buku as-Siyasah asy-Syar’iyyah berkata, “Harus diketahui bahwa al-Wilayah (perwalian dan kepemimpinan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakan penegakan agama dan dunia tanpa adanya kepemimpinan (al-wilayah)…”
Imam al-Ghazali juga menegaskan, “Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama adalah dasar dan sultan (kekuasaan) merupakan penjaga.” (Ihya Ulumuddin I/71).
Jadi, kepemimpinan dan kekuasaan merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan. Kepemimpinan adalah sesuatu yang inheren dalam Islam dan tidak bisa dipisahkan. Sebab tanpa adanya kepemimpinan, yang muncul adalah kekacauan dan ketidakteraturan. Tanpa adanya kekuasaan yang mengayomi, maka yang akan lahir adalah berbagai anarki dan kerusakan.
Apalagi pada masa sekarang saat kerusakan, kemaksiatan, dan kemungkaran merajalela. Untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita, narkoba dan miras yang beredar luas dari kota hingga ke desa-desa, pornografi dan pornoaksi yang demikian masif dipertontonkan di mana-mana, kejahatan dan penyimpangan seksual yang dilakukan tanpa mengenal batas dan norma susila, serta untuk menghadapi berbagai kemungkaran lainnya, dibutuhkan sebuah kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan dan kekuasaan bisa menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan pengendalian, memberikan pengarahan, dan memberikan pencerahan kepada umat.
Wallahua’lam.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 367 – 8 April 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

X