by Danu Wijaya danuw | Aug 7, 2017 | Artikel, Dakwah
Surga, tempat terindah yang menjadi tujuan akhir dari perjalanan hidup setiap manusia.
Siapapun pasti berharap dan menginginkan bisa masuk surga, apalagi bersama-sama dengan orang-orang yang kita cintai, yaitu keluarga.
Bagaimana caranya agar kita tidak sendirian masuk surga, melainkan bisa bersama dengan keluarga?
Nabi Nuh ‘alaihissalaam tak pernah bosan mengingatkan anaknya yang tersesat, Nuh ‘alaihissalaam terus mendo’akannya sampai akhirnya Allah tenggelamkan Kan`an.
Nabi Luth ‘alaihissalaam juga demikian, tak pernah berhenti memperingatkan isterinya yang membangkang, sampai akhirnya Allah binasakan isterinya bersama kaum Sodom.
Asiah binti Muzahim, tertatih-tatih peringatkan suaminya Fir`aun, konsisten mendidik Masyithah dan Musa ‘alaihissalaam, hingga akhirnya akhir hayatnya.
Habil tak pernah takut mengingatkan dan menasehati kakaknya Qabil, rasa iri dan dengki berkecamuk sampai akhirnya Habil dibunuh Qabil.
Jadi, agar bisa masuk Surga sekeluarga perlu perjuangan dan pengorbanan yang besar juga kesabaran dan konsistensi yang harus terus dilakukan. Caranya:
Ingatkan suami agar bekerja ditempat yang halal, jangan bawa pulang penghasilan yang haram, karena akan jadi bahan bakar neraka Rumah Tangga.
Ingatkan isteri agar memperhatikan Pola Konsumsi Halal untuk keluarga, anak-anak akan susah diajak taat dan ibadah jika mengkonsumsi yang haram.
Ingatkan anak-anak bahwa bahan bakar Neraka adalah Batu dan Manusia, jangan sampai salah seorang dari kita jadi bahan bakarnya Neraka.
Ceritakan bahwa penjaga Neraka adalah Para Malaikat Perkasa yang kuat dan kasar, mereka tak pernah khianati Allah dan pasti laksanakan perintah-Nya.
Semoga bermanfaat.
Sumber : Inspira Data
by Danu Wijaya danuw | Aug 3, 2017 | Artikel, Berita, Dakwah
Sungguh bila ada pertanyaan; ”Pelajaran apakah yang bisa kita ambil dari contoh keluarga Ibrahim AS bagi kehidupan berkeluarga kita saat ini?”
Subhanallah, tentu kita akan menemukan begitu banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Pertama, sosok Nabi Ibrahim sebagai seorang Suami dan Ayah
Sebagai sosok yang mampu mendidik keluarganya yaitu anak dan isterinya, sehingga menjadi orang-orang yang ridha dan taat pada perintah Allah semata.
Hal ini nampak pada Nabi Ibrahim dengan putranya, Isma’il. Kepatuhan Isma’il meskipun masih muda, ia ikhlas dan sabar menerima apa yang telah Allah perintahkan kepada bapaknya.
Selain itu Nabi Ibrahim mengedepankan diskusi dan dialog dengan keluarganya.
“..Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’
Dia (Isma’il) menjawab. ’Wahai Ayahku! lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.’” (QS. Ash-Shaffat : 102)
Semua ini tentu tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan yang senantiasa diliputi kasih sayang, kesabaran dan ketaatan hanya kepada Allah semata.
Demikian pula Nabi Ibrahim telah berhasil mendidik isterinya, Hajar sebagai seorang wanita yang yakin pada janji Allah. Wanita yang patuh dan taat kepada suami semata-mata karena kecintaanya kepada Allah, bukan yang lain.
Maka tatkala telah pasti bahwa perintah untuk meninggalkan dia dan anaknya di gurun pasir yang gersang adalah perintah Allah, dia ridho dan yakin.
“Apakah Allah yang memerintahkan hal ini kepadamu?” Ibrahim menjawab, “Ya” Hajar berkata, “Kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” (HR Bukhari)
Kedua, sosok Isteri Sholihah yang ada pada diri Hajar
Hajar, dialah wanita yang diberikan kepada Ibrahim dari pembesar Mesir. Ibrahim pun menikahinya. Hajar adalah seorang istri yang taat dan patuh pada suaminya.
Ketaatan tersebut semata dalam rangka ketaatannya pada perintah Allah. Inilah yang akan meringankan dan melapangkan isteri ketika melaksanakan perintah suami, seberat apapun perintah suaminya tersebut.
Isteri shalihah yakin bahwa dalam memenuhi perintah Allah pasti ada jaminan kemaslahatan dan pahala dari-Nya. Di mana Allah pasti tidak akan menyia-nyiakannya.
Sebagai contoh, ketika mencari air untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang masih kecil (Isma’il). Hajar berlari-lari kecil antara bukit Safa dan bukit Marwah. Dengan izin-Nya, akhirnya keluarlah mata air yang tidak pernah diduga sebelumnya, yaitu air zamzam yang tidak pernah lekang sepanjang zaman
Ketiga, keluarga Ibrahim adalah keluarga yang Komitmen terhadap perintah Allah
Memiliki visi dan misi hidup yang jelas, semata untuk ibadah kepada Allah dengan segala perintah dan aturan yang telah Allah turunkan.
Hal ini nampak jelas dalam perbincangan antara Nabi Ibrahim dengan isterinya maupun dengan puteranya (Ismail), bahwa semuanya senantiasa memastikan “Apakah ini perintah Allah?”. Inilah kekuatan keimanan yang lahir dari aqidahnya (QS.Ash-Shaffat [37]:111).
Sungguh, bangunan keluarga muslim yang kokoh akan terwujud jika ditopang oleh :
- Sosok ayah atau suami yang mampu menjadi pemimpin (qowwam) bagi anak dan isterinya;
- Hadirnya isteri shalihah yang akan menjadi pendamping dan pendukung perjuangan suami serta pendidik putera-puteri tercinta;
- Anak-anak yang shalih yang menyenangkan hati kedua orang tuanya, semata-mata karena ketaatannya pada perintah Rabbnya.
Mencontoh keluarga Ibrahim dalam kehidupan berkeluarga secara menyeluruh adalah sarat dengan pembinaan keimanan dan ketaatan kepada Allah swt.
Mari kita berkurban. Tidak hanya berhenti pada penyembelihan kambing, sapi, atau unta. Namun pengorbanan harta, waktu, jiwa dan raga kita demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini. Berjuang dengan segenap daya dan kemampuan menyongsong kemenangan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya.
Oleh : Ayati Fa
Penulis adalah presenter dan editor program radio Cermin Wanita Sholihah Muslimah
by Danu Wijaya danuw | Feb 23, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Dalam sebuah buku berjudul “Ghirah”, Buya Hamka pernah memberikan pesan masalah yang ada di tengah masyarakat, khususnya krisis moral semata bukan disebabkan oleh faktor dari luar.
Masalah yang ada dalam keluarga misalnya, bukanlah semata dikarenakan adanya penyebab dari luar, namun bisa jadi sebenarnya disebabkan dari dalam diri keluarga tersebut. Sehingga, pesan pentingnya adalah bahwa diri dan keluarga kita tidak lain adalah tanggung jawab dari kita sendiri. Tanggung jawab agar menjadi pribadi dan keluarga yang baik.
“Pada suatu hari di tahun 1957 dalam suatu pertemuan di Banjarmasin yang diprakarsai oleh Kepolisian setempat, saya diminta berceramah. Setelah selesai ceramah, tampillah seorang di antara hadirin menyampaikan suatu pertanyaan,
“Apakah tidak sebaiknya dibentuk semacam Panita Negara untuk mengatasi krisis akhlak yang telah sangat bersimaharajalela sekarang ini?”
Lalu saya jawab bahwa saya setuju dengan ide demikian. Saya lanjutkan persetujuan saya itu dengan usul lebih konkret, yaitu bahwa seluruh warga negara Indonesia menjadi anggota dari Panitia tersebut sekaligus setiap anggota diwajibkan mengurus, tidak usah banyak orang, cukup tiap orang yang mengurus satu orang saja, yaitu dirinya sendiri.” (Prof. Dr. Hamka, Ghirah; Cemburu Karena Allah)
Bagi setiap Muslim, apa yang dia lakukan di dunia apakah berupa perbuatan baik ataupun buruk. Maka, dia pula yang akan mendapatkan balasannya dari Allah ta’ala. Perbuatan seseorang tidak dibebankan kepada orang lain, maksudnya adalah setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya.
Menjaga Keluarga
Dalam urusan keluarga, Allah ta’ala menyampaikan dalam firman-NYA bahwa ada tanggung jawab seseorang kepada keluarganya. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. At-Tahrim: 6)
Dalam tafsir Jalalain dikatakan bahwa menjaga diri dan keluarga adalah dengan beramal mentaati Allah ta’ala (bil ‘amali ‘alaa thaa’atillah).
Lebih rinci lagi, Imam Asy-Syaukani menjelaskan dalam Fathul Qadir, bahwa menjaga diri adalah dengan melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang (bi fi’li maa amarakum bih, wa tarki maa nahaakum ‘anhu).
Imam Asy-Syaukani melanjutkan, bahwa menjaga keluarga adalah dengan menyuruh mereka (keluarga) untuk taat kepada Allah ta’ala dan melarang mereka dari maksiat kepada Allah ta’ala (bi amrihim bi thaa’atillah, wa nahyihim ‘alaa ma’aashiyyahi).
Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallamajuga menyampaikan tentang wajib dan pentingnya perhatian seseorang kepada keluarganya, khususnya anak-anaknya. Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Bukhari danMuslim)
Menjaga Bersama Al-Quran
Tidak dipungkiri, bahwa sekarang kita hidup di tengah era globalisasi dan kemajuan teknologi. Dimana tidak hanya dampak positif yang didapat, namun justru banyak sisi negatif yang menjangkiti lingkungan masyarakat kita.
Anak kecil umur balita lebih dekat dengan gadget daripada orangtuanya bahkan. Anak-anak seumuran TK dan SD ketagihan dengan smartphone. Anak-anak remaja dan dewasa justru memiliki masalah yang lebih kompleks lagi.
Paling tidak, satu solusi dan antisipasi dari sekian banyak adalah dengan jadilah pribadi dan keluarga Qurani. Inilah salah satu cara selain pendidikan aqidah, akhlak, dan lainnya di rumah kita.
Keluarga Al-Qur’an
Tidak dipungkiri, bahwa salah satu fakta sekarang, anak-anak, ayah dan bunda lebih berlama-lama berinteraksi dengan gadget daripada Al-Quran. Jangankan menghafalnya, untuk membaca Al-Quran rutin setiap hari mungkin sudah jarang kita temukan di keluarga-keluarga umat Islam saat ini.
Sehingga, tidak ada kata terlambat untuk kita memulainya. Sedari awal, mulai dari sekarang buka mushaf Al-Quran yang lama menjadi “pajangan-pajangan”di rumah.
Mulailah untuk berinteraksi dengan Al-Quran, membaca, menghafalkan, mentadabburi, mengamalkan dan mendakwahkannya.
Didik anak-anak kita membaca Al-Quran dengan benar dan baik. Dan sangatlah memungkinkan untuk menjadikan generasi muda kita, menjadi penghafal (penjaga) Al-Quran. Sehingga ketika meraka meneruskan pendidikan tinggi, mereka mempunyai bekal Al-Quran.
Dan ketika mereka berkarir nanti, mereka adalah seorang dokter yang hafal Al-Quran, seorang profesor yang hafal Al-Quran, seorang pengusaha hafal Al-Quran, seorang pejabat hafal Al-Quran dan lain sebagainya.
Alhamdulillah, in Syaa Allah semakin hari, akan semakin banyak pribadi dan keluarga yang menjadi generasi Qurani.
Oleh : Abu Sulthan, twitter: @lutfisarif
by Danu Wijaya danuw | Apr 24, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita meyakini bahwa keluarga adalah pondasi sosial, sementara pernikahan yang sah merupakan pondasi dasar keluarga. Islam menolak segala cara yang menyimpang seperti nikah sejenis dan lainnya. Karenanya Islam mendorong pernikahan dengan memudahkan sarananya dan ekonominya. Islam menolak berbagai tradisi yang tidak sesuai seperti mahalnya mahar, tingginya beban walimah, berbagai hadiah yang melampaui batas, berlebihan dalam berbagai pakaian dan perhiasan serta berfoya-foya serta hal lain yang Allah dan Rasul-Nya murkai. Sebab semua itu memperlambat pernikahan untuk mengutamakan agama dan akhlak dalam memilih suami atau istri.
“Maka pilihlah –calon istri- yang memiliki agama niscaya engkau bahagia” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)
Keluarga
Islam membangun hubungan keluarga melalui cinta dan kasih sayang antara suami dan istri disertai upaya untuk saling menunaikan hak dan kewajiban dan pergaulan yang baik.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Identitas & Karakteristik Umat Islam)
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al Baqarah : 228)
Perceraian
Pada dasarnya Islam menghendaki pernikahan yang langgeng dan abadi. Tetapi realitasnya kadang kala kehidupan keluarga seperti neraka sehingga tidak ada alasan perlu dilestarikan akibat perbedaan dan perselisihan itu sendiri.
Terkait dengan melepas ikatan pernikahan Islam telah memilih jalan untuk tetap memperhatikan tabiat wanita disertai upaya mempertahankan kebutuhan rumah tangga semaksimal mungkin. Selain itu, Islam memperhatikan tanggung jawab laki-laki serta kemashlahatan anak.
- Ishlah : Islam mengajak suami dan istri untuk tetap bersabar, toleran, dan berlaku baik. Pihak keluarga masing-masing melakukan ishlah dan menyelesaikan perkaranya
- Rujuk : Suami yang diberi hak untuk mentalak satu istrinya, masih diberi peluang kembali tanpa pernikahan baru selama iddah (3 kali haidh) lewat. Sedangkan istrinya tetap berada dirumah suami tanpa hubungan suami istri sampai rujuk selesai. Apabila tidak rujuk, maka berlanjut menjadi talak bain yaitu suami istri harus berpisah total meskipun masih ada kesempatan kembali dengan pernikahan baru
- Khuluk : dalam Islam istri diberi kewenangan untuk menggugat cerai (khuluk) serta memberi syarat kapanpun bisa diceraikan. Serta hak mengadukan kepengadilan kezaliman yang menimpa dirinya.
- Talak Kedua : Apabila sudah rujuk terjadi perselisihan kembali, wajib mengikuti proses seperti talak satu, sampai terjadi talak kedua. Status talak kedua masih raj’i, yaitu suami bisa kembali kepada istrinya dalam iddah atau sesudahnya seperti perceraian pertama.
- Talak Ketiga : Apabila kedua suami istri yang rujuk setelah perceraian kedua lalu terjadi perselisihan kembali. Perceraian ketiga ini merupakan talak ketiga atau talak bain kubra, yang artinya mantan suami tidak boleh rujuk sampai istrinya telah pernah menikah dengan orang lain. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah ayat 162 :
“……Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….”
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Wanita)
Poligami
Dahulu bangsa-bangsa didunia melakukan poligami tanpa aturan. Ketika Islam datang, ia memberikan batas-batas dan aturan serta hanya bagi yang membutuhkan, mampu, dan yakin akan bertindak adil.
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, (kawinilah) seorang saja” (Q.S. An Nisa : 3)
Saat ini propaganda persamaan gender mengemuka dengan berbagai aturan perundangan yang memandang poligami sebagai kejahatan yang wajib diberi sanksi. Sementara hubungan lawan jenis diluar pernikahan sebaliknya.
Terdapat sejumlah kondisi pribadi yang membuat seseorang memiliki lebih dari satu istri. Misalnya ketika istrinya mandul atau menderita sakit yang tidak mungkin memberikan layanan kepada suaminya. Sebetulnya suami berhak menceraikan, namun ketika ia mempertahankan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain tentu lebih utama sekaligus membuat istri pertama tetap terhormat.
Peperangan membuat kondisi perempuan lebih banyak dari laki-laki. Disinilah poligami menjadi solusi terbaik secara moral dan kemanusiaan. Syariat Allah datang untuk menyelesaikan realita persoalan.
Orang Tua dan Anak
Islam mengatur hubungan antara orang tua dan anak. Di satu sisi, orang tua mereka wajib membimbing anak-anak mereka secara mnyeluruh baik dari sisi materi, psikologi, serta etika. Sementara disisi lain, anak wajib berbuat baik dan berperilaku terpuji kepada orang tua. Diantara bentuk pendidikan adalah kesempatan belajar anak di usia dini. Yaitu pendidikan yang dapat memberi bekalan kemampuan dan life skill.
Salah satu kewajiban masyarakat dan negara adalah memberikan pendidikan kepada kaum ibu dan anak-anak pada usia dini. Khususnya para yatim dan anak-anak terlantar seperti yang diajarkan Al Qur’an dan Sunnah mendorong untuk berbuat baik kepada mereka. Mereka berhak mendapatkan bagian dalam zakat, sedekah, dan harta rampasan perang.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Manusia)
Keluarga dalam Islam lebih luas cakupannya, bukan hanya komunitas kecil yang terdiri dari suami istri dan anak-anak, sebab meliputi kerabat dan saudara-saudara dekat. Menjaga hubungan dengan mereka adalah wajib, sementara memutusnya merupakan dosa besar.
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak serta karib-kerabat.” (Q.S. An Nisa : 56).
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Rizky Rustam rizkyrustam | Apr 14, 2016 | Artikel, Ringkasan Taklim
Ringkasan Kajian Kontemporer Majelis Taklim Al Iman
Mencintai Keluarga Nabi dan Sahabatnya
Ahad, 05 April 2015
Pkl. 18.00-19.30
Di Pusat Dakwah Yayasan Telaga Insan Beriman, Jl. H. Mursid No.99B, Kebagusan Jakarta Selatan
Bersama:
Ustadz Mudzhar Beik
Hirarki cinta:
1. Kecintaan kepada Allah
2. Kecintaan kepada Rasulullah SAW
3. Kita mencintai Rasulullah, karena kita cinta kepada Allah SWT. Sebab Allah SWT mencintai Rasulullah
Kecintaan kepada keluarga Rasulullah SAW: kita mencintai keluarga Nabi, karena kita mencintai Rasulullah
Surat Al Ahzab : 6
“Nabi itu lebih utama untuk dicintai orang-orang mukmin ketimbang cintanya kepada dirinya sendiri”
Surat Al Maidah : 55
Siapakah yang boleh dicintai?
1. Allah SWT
2. Rasulullah SAW
3. Orang-orang mukmin
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya mengatakan kecintaan kepada Keluarga Nabi tidak akan berguna jika bercampur dengan kebencian terhadap sahabat Nabi SAW
Kecintaan kepada keluarga Nabi saw adalah sebuah kewajiban dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
***
Majelis Taklim Al Iman
Tiap Ahad. Pukul 18.00-19.30
Kebagusan, Jakarta Selatan.
Jadwal Pengajian:
● Tadabbur Al Qur’an tiap pekan 2 dan 4 bersama Ust. Fauzi Bahreisy
● Kitab Riyadhus Shalihin tiap pekan 3 bersama Ust. Rasyid Bakhabzy, Lc
● Kontemporer tiap pekan 1 bersama ustadz dengan berbagai disiplin keilmuwan.
Kunjungi AlimanCenter.com untuk mendapatkan info, ringkasan materi dan download gratis audio/video kajian setiap pekannya.
Join Telegram: @AlimanCenterCom
•••
Salurkan donasi terbaik Anda untuk mendukung program dakwah Majelis Ta’lim Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!