by Danu Wijaya danuw | Nov 10, 2018 | Artikel, Berita, Nasional
JAKARTA -Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden di Istana Merdeka, hari Kamis (8/10/2018).
AR Baswedan diketahui sebagai kakek dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Dikutip dari Wikipedia, AR Baswedan lahir di Surabaya, Jawa Timur 9 September 1908. Dia meninggal di Jakarta, 16 Maret 1986 pada umur 77 tahun.
AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), kemudian Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir.
Selanjutnya ia menjadi Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante.
AR Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama dari Mesir bagi eksistensi Republik Indonesia.
Dia mendapatkan dunia jurnalisme terbuka lebar setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab di Hindia Belanda, Salim Maskati, yang di kemudian hari membantu AR Baswedan dengan menjadi Sekretaris Jenderal PAI.
Ia kemudian memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Setelah itu dia bekerja di Matahari.

Akademisi Anies Baswedan memberikan sambutan dalam acara peluncuran buku perjuangan kemerdekaan A.R. Baswedan di Jakarta (25/9/2014)
Tapi, setelah mendapatkan amanah untuk menjalankan roda organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), ia meninggalkan Matahari, padahal ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu.
“Demi perjuangan,” katanya.
Sebagai wartawan pejuang, AR Baswedan produktif menulis.
Saat era revolusi, tulisan-tulisan AR kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimis, sebagaimana terekam dalam buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 karya Harry J. Benda
Sebelumnya, nama AR Baswedan atau Abdurrahman Baswedan menjadi satu dari 7 nama yang diusulkan Kementerian Sosial menjadi Pahlawan.
Anies Baswedan yang ditemui usai salat Jumat di Masjid Fatahillah, Balaikota mengatakan usulan tersebut sudah dimulai sejak tahun 2017 lalu.
Nama AR Baswedan sudah melalui pengkajian di Tim Pengkaji dan Penilai Gelar Pahlawan (TP2GP) Kementerian Sosial dan di Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Sumber : Tribunnews/Wikipedia
by Danu Wijaya danuw | Aug 25, 2017 | Artikel, Sejarah
Sejarah bangsa ini telah banyak mencatatkan, bagaimana para pahlawan nasional atau pejuang kemerdekaan seperti Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, Teuku Cik Ditiro dan Imam Bonjol memilih memakai jubah dan sorban sebagai identitas diri melawan penjajah belanda
Pemilihan pakaian Islami berupa Jubah dan Sorban yang dilakukan para pejuang terdahulu saat melawan penjajah Belanda ternyata memiliki dasar yang kuat.
Guru Besar sejarah Universitas Padjajaran, Profesor Ahmad Mansur Suryanegara mengungkapkan bahwa alasan para pejuang mengenakan pakaian Islami dengan jubah dan Sorban adalah, karena pada masa itu pakaian adat identik dengan para pembantu Penjajah Belanda untuk menindas masyarakat Nusantara.
Jubah dan sorban dipilih oleh para pemimpin dan pejuang yang juga notabone adalah para pemimpin ulama sebagai identitas perjuangan melawan penjajah belanda
Dahulu, sejarah juga telah mencatatkan, bahwa belanda menggunakan pakaian adat untuk praktek memecah belah dan adu domba dengan memanfaatkan nilai nilai kedaerahan.
Para pejuang seperti Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo lebih memilih mengenakan busana Islami dari pada pakaian adat Jawa ketika melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada masa itu.
Penjajah belanda dinilai sebagai manifestasi barisan kaum kafir yang harus dilawan, dan sebagai identitas diri perlawanan, maka identitas diri sebagai muslimlah dengan jubah dan sorban yang dipilih
Ditambah dengan kobar semangat pekik takbir, Allah Akbar, yang selalu menghiasai tiap perjuangan didalam peperangan kepada belanda
Jadi soal Jubah atau sorban bukan lagi soal arab, tetapi sudah menjadi bagian perjuangan negeri ini terhadap penjajah belanda, istilahnya sudah menjadi identitas diri yang menjadi pembeda
Seperti penjelasan lengkap yang ditulis Profesor Ahmad Mansur Suryanegara melalui akun Facebook pribadinya, selasa (15/12/2015)
Pangeran Diponegoro, Kiyai Mojo, Sentot Alibasyah Prawirodirjo menanggalkan BUSANA ADAT Jawa, ketika para Pengena Busana Adat menjadi Pembantu Utama Penjajah Protestan Belanda. Ikut serta menindas rakyat dengan menggunakan topeng BUDAYA ADAT untuk memadamkan CAHAYA ISLAM.
Pangeran Diponegoro, walau menyandang Keris. Menurut DR Tjipto MangunKusumo tidak pernah menghunus kerisnya di tengah peperangan. Tetapi selalu membacakan AL QURAN untuk membangkitkan Jiwa Juang umat dan rakyat pendukungnya yang anti penjajah.
Pangeran Diponegoro, Kiyai Mojo, Sentot Alibasyah Prawirodirjo BERBUSANA ISLAMI menyelamatkan bangsanya dari keruntuhan moral bangsanya.
Pembusana Adat Djawa bertingkah laku pemadat, merendahkan martabat wanita, perusak keluhuran Adat Djawa, perusak Syariah Islam dalam Istana Kesultanan dan di masyarakat Djawa. Berkedok memelihara Adat Djawa, tapi bermental rendah.
Bila disebutkan ORA NDJOWO artinya tingkah lakunya TIDAK ISLAMI. Saat itu JOWO atau JAWA di masyarakat artinya MENGERTI.
Bila disebut ORA NDJOWO artinya ORA NGERTI atau TIDAK ISLAMI. ORA artinya Tidak. Djawa artinya Islam dan Pribumi berseberangan penjajah yang asing
Dalam perjalanan Sejarah. ADAT DAERAH di Nusantara diperadabkan oleh Ajaran ISLAM.
Pada masa penjajahan Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintah Kolonial Belanda, ADAT BUDAYA yang bersifat LOKAL dijadikan PEMECAH BELAH KESATUAN BANGSA atau UMAT.
Dijadikan Alat oleh penjajah melawan ISLAM yang bersifat UNIVERSAL dan PEMERSATU BANGSA INDONESIA.
Sumber : Islamedia