by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | Jun 2, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Rasulullah saw meminta kepada Ummu Ma’bad untuk mengambilkan wadah besar yang biasa digunakan untuk minum sekeluarga. Lalu beliau memerah susu hingga wadah terisi penuh. Beliau menyuruh Ummu Ma’bad untuk meminumnya, juga para sahabat, baru setelah itu Rasul yang meminumnya.
Kemudian beliau memerah lagi susu domba tersebut dalam wadah hingga penuh. Setelah itu, beliau berpamitan kepada Ummu Ma’bad untuk melanjutkan perjalanannya. Tidak lama kemudian, suami Ummu Ma’bad tiba di kemah sambil menggiring domba-domba yang kurus kering dan berjalan tertatih-tertatih karena lemah. Ketika matanya melihat susu dalam wadah, Abu Ma’bad terbelalak. Ia bertanya dengan terheran-heran, “Darimana engkau mendapatkan susu ini, bukankah domba-domba kita tidak ada di sini? Di kemah juga tidak ada domba yang susunya bisa diperah.”
Ummu Ma’bad menjawab “Memang benar, Demi Allah hanya saja, tadi ada orang yang penuh berkah yang lewat sini. Ia berkata begini dan begini, sedangkan penampilannya begini dan begini. Abu Ma’bad berkata “Demi Allah, aku yakin dialah orang yang sedang dicari oleh orang-orang quraisy. Wahai Ummu Ma’bad coba terangkan ciri-cirinya kepadaku”.
[Baca juga: Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyyah: Pemilik Domba yang Penuh Berkah (2)]
Ummu Ma’bad menjelaskan, “Dia sangat tampan, wajahnya memancarkan sinar, perawakannya sempurna, perutnya tidak besar dan kepalanya tidak kecil. Parasnya sangat gagah, bola matanya hitam dan bulu matanya memanjang. Suaranya nyaring, lehernya panjang, matanya sangat jernih, alisnya jelas dan rambut kepalanya sangat hitam. Perkataannya enak didengar, nadanya serius, tidak terlalu pendiam dan tidak terlalu banyak bicara yang tidak berguna. Kata-katanya seperti butir-butir berlian yang tersusun rapi. Ia ibarat cabang pohon yang diapit oleh dua cabang lainnya, sehingga ia tampak yang paling indah dan paling baik. Dia bersama beberapa sahabatnya yang selalu menemaninya, mendengarkan apabila ia berbicara. Segera melaksanakan apabila ia menyuruh sesuatu. Dia benar-benar disegani sebagai pempimpin. Dia tidak suka cemberut dan tidak suka mengeluh”.
Abu Ma’bad berkata “Demi Allah, ialah orang yang dicari oleh orang-orang Quraisy. Sebenarnya sejak awal aku sudah tertarik ingin menjadi pengikutnya dan jika ada kesempatan aku akan melakukannya.”
Setelah itu, ramai di Makkah tentang desas-desus tentang apa yang terjadi di kemah Ummu Ma’bad itu. Semua orang mendengarnya, tetapi tidak tahu siapa yang telah melihatnya.
Setelah kejadian itu, Iman telah menyentuh lubuk hati Ummu Ma’bad sejak pertama kali mendengar dan melihat Rasulullah. Buktinya ketika ada orang-orang quraisy yang mencari dan menanyakan keberadaan Rasulullah saw ummu Ma’bad memberikan jawaban yang tidak benar. Ia mengatakan kepada orang quraisy “Kalian menanyakan sesuatu yang tidak pernah aku dengar sejak setahun yang lalu.”
Memeluk Islam
Pada akhirnya Ummu Ma’bad dan suaminya memutuskan untuk menemui Rasulullah saw berbaiat dan berjanji untuk menjadi muslim yang baik.
[Baca juga: Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyyah: Pemilik Domba yang Penuh Berkah (1)]
Pada suatu hari Ummu Ma’bad menghadiahkan seekor domba untuk Nabi saw. Tetapi sungguh mengejutkan, beliau malah menolaknya. Hal ini membuat Ummu Ma’bad tidak enak hati.
Para sahabat berkata “Rasulullah menolak domba pemberianmu karena beliau melihat domba itu sangat baik. Akhirnya Ummu Ma’bad menghadiahi Nabi saw seekor domba yang kurus dan tidak bisa menghasilkan susu. Dan ternyata Rasulullah saw mau menerimanya. Ummu Ma’bad benar-benar ingin menyenangkan hati Rasulullah saw.
Ummu Ma’bad ra melewati masa-masa hidupnya di bawah naungan iman dengan giat melaksanakan sholat, puasa dan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini membuat hatinya menjadi senang dan tenteram.
Hati Ummu Ma’bad ra selalu terpaut dengan Islam dan kaum muslimin hingga ia menerima kabar duka yaitu, wafatnya Rasulullah saw. Kesedihan Ummu Ma’bad ra tidak terperi hingga hatinya nyaris hancur. Ia selalu teringat dengan pertemuan pertamanya dengan Rasulullah saw. Yakni pada saat beliau dan para sahabat singgah di kemahnya dalam rangka perjalanan hijrah ke Madinah. Namun Ummu Ma’bad tidak larut terus dalam kesedihan, ia tahu bahwa sikap ridha adalah kunci segala kebaikan. *bersambung
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | May 22, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Dan Abu bakar ra menanyakan “Apakah engkau menginginkanku untuk menemanimu, Wahai Rasulullah? Rasulullah saw menjawab “Ya”. Kemudian Abu bakar ra berkata “Kalau begitu ambilah salah satu dari dua untaku ini” Rasulullah saw membalas “Ya, tapi aku akan membayarnya” (H.R. Bukhari )
Rasulullah saw menyuruh Ali agar malam itu tidur di tempat tidur beliau. Orang-orang quraisy yang telah ditunjuk untuk melaksanakan tugas membunuh Nabi saw berkumpul di sekitar kediaman Nabi saw. Dan mengintip dari lubang pintu. Mereka terus mengawasi hingga larut malam.
Setelah saatnya tiba, Rasulullah saw keluar dari rumah dan lewat di dekat mereka. Beliau mengambil segenggam pasir dan menaburkannya di atas kepala mereka tanpa mereka sadari. Beliau melakukan itu sambil mengucapkan,
“Dan Kami buat di hadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding pula, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat” (Yasin : 9)
Lalu Rasulullah saw langsung menuju rumah Abu Bakar ra untuk segera melakukan perjalanan hijrahnya. Sementara orang-orang Quraisy yang berjaga di kediaman Rasulullah saw tiba-tiba dikejutkan dengan perkataan seorang laki-laki yang sedang lewat. Ia bertanya “Apa yang sedang kalian tunggu disitu? Mereka menjawab “Muhammad” Orang itu berkata lagi “Kalian telah gagal. Demi Allah, Muhammad telah keluar dan lewat didekat kalian sambil menaburkan pasir di atas kepala kalian”. Mereka terkejut. Demi Allah, kami tidak melihatnya sama sekali. Lalu mereka pun membersihkan debu dari atas kepalanya.”
[Baca juga: Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyyah: Pemilik Domba yang Penuh Berkah (1)]
Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa “Malam hari orang-orang quraisy mengawasi Ali yang mereka kira adalah Nabi saw. Saat pagi tiba mereka langsung menyergapnya. Dan ternyata yang didapatinya adalah seorang Ali, bukanlah Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada Ali “Dimana Muhammad?” Ali menjawab “Tidak tahu”. Karena mereka merasa dikelabui, mereka segera melacak keberadaan Rasulullah saw sampai ke gunung (Tsaur), namun usaha mereka sia- sia.
Bahkan mereka mengerahkan para pelacak yang mahir mencari jejak, sehingga ada yang berhasil mencapai dekat pintu gua dan berdiri diatasnya.
Dalam kitab As- Shahiihain diriwayatkan bahwa Abu bakar ra berkata ” Wahai Rasulullah, seandainya seorang dari mereka menengok ke arah telapak kakinya. Maka dia pasti melihat kita. Dengan tenang Rasulullah saw menjawab ” Wahai Abu bakar, apa yang engkau duga dengan nasib diantara dua orang, sedangkan yang ketiga adalah Allah. Jangan gelisah, sesungguhnya Allah bersama kita. ( H.R. Bukhari Muslim)
Rasulullah dan Abu Bakar ra dapat mendengar pembicaraan orang-orang Quraisy yang ada di atas pintu guanya. Tetapi Allah swt menutup pandangan mereka sehingga tidak melihat keberadaan beliau.
Berkah Menyelimuti Kemah Ummu Ma’bad
Dalam perjalanan hijrah, Rasulullah saw lewat di dekat kemah Ummu Ma’bad Al- Khuza’iyyah, seorang wanita tegar dan cukup terkenal di kawasan pedalaman. Ia suka berdiri di halaman kemah dan selalu bersedia memberi makan dan minum kepada siapa saja yang lewat di depannya.
(Baca juga: Sumayyah binti Khabath : Wanita Muslimah Pertama yang Mati Syahid)
Ketika Nabi saw dan Abu Bakar ra sampai di situ, mereka bertanya, “Apakah engkau memiliki makanan atau minuman?“. Ummu Ma’bad menjawab, “Demi Allah, seandainya kami masih punya sesuatu, maka kami tidak akan segan-segan untuk menjamu kalian. Domba tidak lagi mengeluarkan susu, karena tahun ini sangatlah kering.”
Rasulullah melihat seekor domba yang sangat kurus di samping kemah, lalu bertanya “Wahai Ummu Ma’bad, mengapa domba ini ada disini?” Ummu Ma’bad menjawab “Domba ini tidak bisa ikut kawanannya karena tidak sanggup berjalan jauh” Rasulullah bertanya lagi “Apakah masih ada susunya?” Ummu Ma’bad menjawab “Dia tidak mungkin lagi mengeluarkan susu.”
Rasulullah berkata “Apakah engkau mengizinkan aku memerah susunya?” Ummu Ma’bad menjawab “Tentu, jika menurutmu domba itu masih bisa diperah, maka lakukanlah.”
Rasulullah mendekati domba tersebut dan mengusap susunya sambil membaca basmallah dan berdoa. Tiba -tiba, domba tersebut merenggangkan kedua kakinya dan susunya mengalir dengan deras. *bersambung
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | May 15, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Keberhasilan Islam membangun fondasi sebuah negara di tengah padang pasir yang dikelilingi oleh kekafiran dan kejahiliyahan merupakan pencapaian yang sangat monumental sejak geliat dakwah Islam dimulai.
Seluruh kaum muslimin dari setiap pelosok saling memanggil “Ayo, kita pergi ke Yastrib!”. Tetapi, hijrah bukan hanya sekedar menyelamatkan diri dari kekacauan dan penghinaan, melainkan juga kerja sama antara semua kaum muslimin untuk membangun sebuah masyarakat baru di tempat yang aman.
Hijrah di masa itu berarti pemaksaan terhadap orang yang aman di tengah keluarganya dan memiliki latar belakang keluarga yang kuat di tempat kelahirannya agar secara sukarela mengorbankan segala kepentingan dan harta kekayaannya, dengan hanya diperbolehkan membawa badannya saja. Di saat ia dipaksa meninggalkan segala yang dimilikinya, ia juga akan merasa terancam karena tidak ada yang menjamin diri dan hartanya akan selamat. Ia bisa saja mati diawal atau akhir perjalanannya.
Dia berjalan menuju masa depan yang tidak jelas dan tidak tahu sebesar apakah kepedihan dan kegetiran yang akan ditanggungnya.
Seandainya perjalanan itu dianggap sebuah petualangan, maka dia akan dikatakan, “petualang ceroboh”. Bagaimana dia memutuskan untuk melintasi jarak yang begitu jauh dengan membawa istri dan anak-anaknya? Bagaimana dia merasakan perjalanan itu dengan senang hati dan gembira?!
Jawaban dari semua itu adalah iman yang lebih daripada gunung! Tetapi iman kepada siapa? Tentunya adalah iman kepada Allah yang memiliki segala sesuatu di langit dan bumi. Dialah yang pantas dipuji di dunia dan di akhirat.
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 3-Akhir)]
Kegetiran dan kepedihan hijrah hanya dapat ditanggung oleh orang-orang yang beriman saja. Sedangkan orang yang penakut, pengecut dan suka mengeluh tidak akan melakukannya sama sekali, karena termasuk orang-orang yang dinyatakan sifatnya oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu’, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.” (QS. An-Nisa’ : 66).
Mengenal Lebih Jauh Perempuan yang Penuh Berkah Ini
Diantara orang-orang yang namanya terkait erat dengan peristiwa besar ini (hijrah) adalah seseorang yang penuh berkah, yaitu, Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyyah ra.
Tidak banyak orang yang mengenalnya di masa jahiliyah, karena memang dia bukanlah seorang tokoh yang terkenal. Ia hanyalah seorang wanita yang tinggal di pedalaman padang pasir yang serba sederhana. Ia hanya dikenal oleh lingkungan kemah dan sanak keluarganya yang ada di sekitarnya saja. Akan tetapi pada masa Islam, ia menjadi wanita yang sangat terkenal karena Nabi saw pernah menjadi tamunya ketika sedang dalam perjalanan hijrah yang penuh berkah ke kota Madinah.
Nama asli Ummu Ma’bad adalah ‘Atikah binti Khalid bin Munqidz. Ia adalah saudara wanita dari Khunais bin Khalid Al-Khuza’i Al-Ka’bi, seorang sahabat Rasulullah saw yang cukup terkemuka.
[Baca juga: Ummu Aiman: Sang Ibu Asuh Rasulullah (1)]
Khunais adalah seorang ksatria gagah berani yang terlibat dalam proses pembebasan kota Makkah. Saat itu, ia tergabung dengan rombongan pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid ra. Dan terbunuh pada hari itu juga sebagai syahid. Semoga Allah meridhainya.
Kisahnya dalam Rentetan Perjalanan Hijrah Nabi Saw
Setelah tokoh-tokoh Quraisy membuat keputusan zalim untuk membunuh Nabi saw, Jibril as turun kepada Nabi saw untuk menyampaikan wahyu Allah SWT yang membongkar konspirasi jahat Quraisy sekaligus memberi izin kepada Rasulullah saw untuk meninggalkan Makkah dan menjelaskan waktu keberangkatannya. Jibril as berkata “Janganlah kamu tidur malam ini diatas kasurmu yang biasa engkau gunakan untuk tidur”.
Tepat di siang hari Rasulullah saw menemui Abu Bakar ra. Beliau berkata “Suruhlah orang-orang yang ada di dalam rumah agar keluar.” Abu Bakar ra. menjawab “Wahai Rasulullah, mereka adalah keluargamu juga. Rasulullah saw melanjutkan “Allah telah mengizinkanku untuk keluar (hijrah)”. *bersambung
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | May 10, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Sosok Fatimah binti Asad Dimata Para Sahabat Nabi SAW
Setelah Ali bin Abu Thalib menikah dengan Fatimah putri Rasulullah saw, Fatimah binti Asad menjalankan tugas sebagai ibu kandung dan ibu mertua dengan baik. Ia sangat menyayangi menantunya. Bahkan, ia membantu Fatimah binti Muhammad dalam menyelesaikan ekerjaan rumah tangga.
Pada suatu kali, Ali bin Abu Thalib ra. menuturkan, “Aku pernah berkata kepada ibuku (Fatimah binti Asad), ‘Biarkan Fatimah yang mengambil air dan berbelanja, ibu yang membuat tepung dan bubur’.”
Saatnya Berpisah
Fatimah binti Asad menjalani hidupnya dengan iman dan tauhid. Ia adalah seorang wanita yang taat lagi rajin beribadah. Hingga akhirnya Allah memanggilnya kembali pada-Nya. Fatimah binti Asad ra. meninggal dunia. Ia dimakamkan di Madinah dan Rasulullah sendiri yang masuk ke dalam liang lahatnya dan menguburkannya. Sungguh ini merupakan satu kemuliaan tersendiri.
Rasulullah begitu kehilangan atas kepergian Fatimah binti Asad yang beliau sebut sebagai Ibu keduanya itu.
Tapi begitu indahnya kepribadian dan akhlak Rasulullah saw, ia ingin menunjukkan sikap balas budi terhadap Fatimah binti Asad yang telah merawatnya sejak kecil.
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 2)]
Ibnu Abbas ra. menuturkan, “Ketika Fatimah ibunya Ali bin Abu Thalib wafat, Nabi melepas gamisnya dan memakaikan kepadanya. Beliau rebahan di dalam kuburannya. Ketika beliau menimbunnya dengan tanah, sebagian sahabatnya bertanya, “Ya Rasul, belum pernah engkau melakukan ini sebelumnya”. Beliau menjawab “Gamisku kupakaikan kepadanya supaya dia memakai pakaian surga. Aku rebahan di dalam kubur di sisinya, agar dia diringankan dari tekanan kubur. Selain Abu Thalib, tiada yang lebih baik perlakuannya terhadapku daripada dia.” (HR.Thabrani) .
Begitulah kisah mulia dari seorang wanita mulia, berakhlak surga dengan segala keindahan imannya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggalnya.
Referensi:
35 Sirah Shahabiyah jilid 2, Mahmud Al Mishry.
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | May 5, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Silahkan, pilih dari anak-anakku asalkan jangan Aqil”. kata Abu Thalib.
Muhammad muda memilih Ali dan Abbas memilih Ja’far. Ali tinggal di rumah Muhammad, hingga beliau diangkat menjadi Nabi saw. dan Ali langsung mengimani apa yang Rasulullah dakwahkan.
Kebahagiaan Itu Datang Juga
Detik-detik yang ditunggu oleh alam semesta akhirnya datang juga. Muhammad diutus sebagai Nabi untuk menyebarkan cahaya dan kebaikan. Muhammad diangkat sebagai Nabi untuk menyelamatkan manusia dari kehinaan syirik dan kekafiran.
Ketika Allah menurunkan firman-Nya, “Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. As-Syuara’: 214). Rasulullah langsung menyeru keluarga beliau kepada kebaikan dunia dan akhirat.
Dan Fatimah binti Asad termasuk orang-orang yang tidak ragu mengikuti seruan Rasulullah saw. Ia ucapkan dua kalimat syahadat, “Laa Ilaaha Illallah, Muhammadur Rasulullah“. Sementara suaminya, Abu Thalib meminta maaf karena belum bisa masuk Islam. Semua anak Fatimah masuk Islam, tidak ketinggalan Ali bin Abu Thalib.
Allah Mengubah yang Sulit Menjadi Mudah
Fatimah binti Asad menjalani kehidupan yang penuh berkah. Ia dengan sabar dan penuh kasih sayang dalam merawat Nabi saw sejak Nabi saw kecil. Ajaran-ajaran Islam pun ia terima dengan baik sehingga ia benar-benar merasakan kebahagiaannya.
Akan tetapi musuh-musuh Islam selalu mengintai kondisi kaum muslimin. Mereka marah karena keyakinan mereka diusik. Mereka menumpahkan kemarahannya pada kaum muslimin. Semakin hari kondisi kaum muslimin semakin tersiksa oleh kaum kafir Quraisy. Sampai akhirnya Rasulullah mengetahui hal ini dan mengizinkan mereka hijrah ke Habasyah. Di sinilah ujian datang kepada Fatimah binti Asad ra. Ia harus melepas kepergian Ja’far putranya yang diangkat sebagai ketua rombongan muslim yang hijrah ke Habasyah. Ia sangat sedih manakala harus berpisah dengan putranya itu, namun ia tetap tegar. Ja’far hijrah ke Habasyah bersama istrinya.
Kaum kafir Quraisy sadar bahwa upaya menghambat perkembangan Islam selama ini kurang membuahkan hasil, maka kaum Quraisy menempuh cara baru yaitu mengisolasi keluarga besar Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Orang-orang lain dilarang berhubungan dengan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Kaum muslimin, termasuk Fatimah binti Asad ra. menghadapi pengucilan ini dengan sabar dan mengharap keridhaan Allah semata. Penderitaan yang dialami kaum muslimin sangatlah berat, hingga mereka harus memakan dedaunan agar tetap bertahan hidup. Isolasi terhadap kaum muslimin ini berlangsung selama 3 tahun.
Begitu kuat dan kokohnya Fatimah binti Asad ra. dan seluruh kaum muslimin tetap bersabar atas ujian yang mereka hadapi.
Sejarawan Ibnu Sa’d menuturkan, “Ketika orang-orang Quraisy mengetahui ketegaran kaum muslimin, mereka tertunduk lesu dan isolasi pun berakhir di tahun ke-7 kenabian”.
Pada tahun ke-7 kenabian inilah, Ummul Mukminin Khadijah ra. (istri Rasul) meninggal dunia. Kemudian disusul oleh Abu Thalib (paman Rasul). Dua orang inilah yang selama ini melindungi Rasul dari keganasan orang-orang Quraisy. Meninggalnya mereka membuat kaum Quraisy semakin garang terhadap kaum muslimin. Hingga Allah mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Madinah.
Setelah berada di Madinah, Fatimah binti Asad ra. disambut hangat oleh muslimah di Madinah. Hari demi haripun keimanannya semakin mantap.
Nabi saw sangat sayang terhadap Fatimah binti Asad ra. Beliau sering mengunjunginya dan memberinya hadiah layaknya seorang anak yang rindu dan sayang kepada ibunya.
Ali ra. menceritakan, “Nabi memberiku kain brokat dan berkata, jadikan beberapa penutup kepala untuk para Fatimah”. Lalu kujadikan empat penutup kepala. Satu untuk Fatimah putri Rasulullah, satu untuk Fatimah binti Asad, satu untuk Fatimah binti Hamzah.” Ali tidak menyebutkan Fatimah yang keempat. *bersambung
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 1)]