Sayyid Sabiq dengan Karya Monumental Fiqih Sunnah Bukan Faqih?

Sayyid Sabiq dengan Karya Monumental Fiqih Sunnah Bukan Faqih?

Tulisan ini lahir dari kecintaan pada ulama besar
Saya dijapri seseorang untuk menanggapi potongan video dua orang ustadz yang sedang diskusi. Saya tak tahu tema diskusi itu, sebab rekaman videonya tak dari awal majelis.
Tetapi satu hal yg membuat saya terkejut dari diskusi tersebut adalah pernyataan salah satu ustadz tersebut, “Sayyid Sabiq yang dijadikan referensi istri antum itu GA BOLEH DIPAKAI, sebab apa? Sebab Sayyid Sabiq BUKAN FAQIH DI MASJID.”
Benarkah Sayyid Sabiq bukan Faqih, sehingga kitab beliau tidak layak dijadikan referensi?

1. Syaikh Nashr Farid Muhammad Washil Mufti Mesir (1996-2002) mengatakan:

جزى الله الشيخ سيد سابق عن أبناء الأزهر الشريف وشباب هذه الأمة خير الجزاء، فهو بحق فقيه الأمة الذي أكد وسطية هذا الدين، وفك طلاسم الفقه التي كان يصعب على العوام أن يفهموها، فقد قرأنا ونحن في شبابنا كتابه العظيم “فقه السنة” الذي أثرى المكتبة الإسلامية ويسّر الفقه لأبناء الأمة الإسلامية في مصر والعالم العربي والإسلامي، وتُرجم إلى عدد كبير من اللغات التي ينطق بها المسلمون في العالم الإسلامي، فجزاه الله عن الجميع خير الجزاء ورزق أبناءه وذويه الصبر والسلوان، وأسكنه فسيح جناته”.

Semoga Allah membalas Syaikh Sayyid Sabiq dengan balasan terbaik, dari anak-anak al-Azhar dan pemuda dr ummat ini. Beliau benar-benar seorang FAQIH UMMAT yg menegaskan wasathiyah agama ini……”
Lihat: http://ansarda3wa.yoo7.com/t665-topic
Sekelas Mufti Mesir tentu bukan sembarang orang, sebab menjadi mufti di negara yang jadi gudangnya ulama dunia, pengakuan beliau itu jelas dan tegas bahwa Sayyid Sabiq adalah seorang Faqih, dan bahkan sang Mufti memuji kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq.
2. Sayyid Sabiq hafal al-Quran diusia 9 tahun, dan doktor Syariah lulusan Universitas al-Azhar, pernah menjadi dosen di Universitas Malik Abdul Aziz dan Universitas Ummul Qura.
Dengan latar belakang pendidikan Al-Azhar, yang jadi doktor disana itu susahnya bukan main, udah jadi dosen dikampus besar masih dianggap bukan faqih juga?
Lihat: http://alrashedoon.com/?p=600
3. Pada tahun 1994 beliau mendapat penghargaan King Faisal International Prize dalam Fiqh Islami.
1994-Al-Sayyid-Sabiq-At-Tihami-300x225
Sebuah penghargaan bergengsi didunia Islam atas buku beliau Fiqh Sunnah, kitab yang mendapat pengakuan dunia kok dibilang tidak layak dijadikan referensi.
4. Untuk melihat kapasitas kefaqihan beliau, lihatlah murid didikan beliau yg jadi ulama besar, seperti Dr Yusuf al-Qaradhawi, Dr Ahmad al-Assal, Dr Muhammad ar-Rawi, Dr Abdus Sattar Fathullah, Dr Shalih bin Humaid, dan lainnya.
Ulama yang menghasilkan ulama besar kok dibilang BUKAN FAQIH.
5. Beliau sering dikunjungi kibar ulama al-Azhar untuk didengarkan pendapat beliau
Anak beliau Muhammad mengatakan beberapa masyayikh al-Azhar yang mengunjungi beliau seperti Syaikh Abdul Jalil Isa, Syaikh Manshur Rajab, dan Syaikh al-Baquri.
Kalaulah beliau ulama ecek-ecek dan bukan faqih, gak bakalan masyayikh al-Azhar mendengarkan pendapat beliau.
Terlalu banyak kebaikan, kelebihan dan keistimewaan Sayyid Sabiq, sehingga wajar beliau dihormati ulama besar dimasa beliau, tetapi ketika ada yang tidak setuju dengan beliau bukan berarti boleh seenaknya mengatakan beliau tidak layak dijadikan rujukan.
MARI BERADAB DAN BERETIKA kepada ulama besar, sekalipun kita tidak setuju dalam beberapa masalah dengan ulama besar tersebut.
Wallahu a’lam
 
Sumber : Grup WA Thifan

Rukun Puasa

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Rukun puasa ada dua. Dari keduanya akan terwujud hakikat puasa yang sebenarnya. Dua rukun itu adalah:
1. Menahan diri dari semua yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.
Allah berfirman, “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetpkan Allah bagi kalian, makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Setelah itu, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
Maksud benang putih dan benang hitam adalah terangnya siang dan gelapnya malam, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Adi bin Hatim bercerita,
“Ketika turun ayat, “……..hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam…..”
Aku ambil seutas benang hitam dan seutas bang putih, lalu aku taruh di bawah bantal dan aku amati di waktu malam, dan ternyata tidak dapat aku bedakan.
Maka pagi-pagi, aku datang menemui Rasulullah saw dan aku ceritakan kepada beliau hal itu. Nabi saw bersabda, ‘maksudnya adalah gelapnya malam dan terangnya siang.‘”
2. Berniat.
Allah berfirman, “Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata.” (Al-Bayyinah: 5)
Rasulullah saw, juga bersabda, “Setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya.”
Berniat puasa hendaknya sebelum fajar, di tiap malam di hari-hari Ramadhan, sebagaimana disebutkan oleh Hafsah bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
Barangsiapa yang tidak membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (H.R. Ahmad dan Ash-habus Sunan. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Niat berpuasa boleh dilakukan kapan saja, yang penting di malam hari dan tidak harus diucapkan, karena niat itu di hati dan bukan di lisan.
Hakikat niat adalah menyengaja melakukan suatu perbuatan untuk menaati perintah Allah Ta’ala dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh karena itu, siapa yang makan sahur di malam hari dengan maksud akan berpuasa sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, berarti ia telah berniat.
Begitu juga dengan orang yang bertekad akan menghindari segala hal yang dapat membatalkan puasa di siang hari dengan ikhlas karena Allah, maka ia telah berniat, walaupun ia tidak makan sahur.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa niat puasa sunah boleh dilakukan di siang hari, jika orang itu belum makan dan minum.
(Baca juga: Siapa Saja Yang Diwajibkan Puasa?)
Aisyah menceritakan, “Pada suatu hari, Rasulullah saw. masuk rumah dan berkata, “Kalian punya makanan?’ Kami menjawab, ‘Tidak ada.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu aku berpuasa.‘” (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Ulama Hanafi mensyaratkan agar niat tersebut sebelum zawal (matahari bergeser ke sisi barat dari posisi tengah). Ini juga merupakan pendapat yang masyhur dari dua pendapat Syafi’i. Yang zahir dari pendapat Ibnu Mas’ud dan pendapat Ahmad bahwa niat tersebut sah, baik sebelum zawal maupun sesudah zawal.
Sumber:
Fiqh Sunnah Jilid I, Sayyid Sabiq, Penerbit Al I’tishom Cahaya Umat

Siapa Saja yang Diwajibkan Puasa?

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Ijma’ ulama memutuskan bahwa seorang muslim yang berakal, sudah balig, sehat, dan mukim (tidak musafir) diwajibkan berpuasa. Bagi wanita, harus suci dari haid dan nifas. Jadi, orang kafir, orang gila, anak-anak, orang sakit, musafir, perempuan yang sedang haid atau nifas, orang tua, dan wanita hamil atau menyusui tidak diwajibkan berpuasa.
Di antara mereka ini, ada yang tidak diwajibkan berpuasa sama sekali, seperti orang kafir dan orang gila. Ada yang walinya diminta untuk menyuruhnya berpuasa. Ada yang wajib tidak berpuasa dan harus mengqadha. Ada yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan diharuskan membayar fidyah. Berikut ini penjelasannya:
1. Orang Kafir dan Orang Gila
Puasa merupakan ibadah dalam agama Islam, karena itu orang nonmuslim tidak diwajibkan berpuasa. Sedangkan orang gila tidak termasuk mukallaf karena keberadaan akal adalah tolok ukur masuknya seseorang menjadi mukallaf dan orang gila sudah kehilangan akalnya.
Ali ra., meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Pena (catatan amal perbuatan) diangkat dari tiga golongan: orang gila hingga akalnya kembali normal, orang tidur hingga ia bangun, dan anak kecil hingga ia bermimpi (balig).” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
2. Puasa Anak-Anak
Meskipun anak-anak tidak diwajibkan berpuasa, tetapi sang wali hendaklah menyuruhnya berpuasa agar si anak terbiasa berpuasa sejak kecil, selama anak itu mampu melakukannya.
Rubayyi’ binti Muawwidz meriwayatkan bahwa di pagi hari Asyura’,
Rasulullah mengirim utusan ke desa-desa kaum Anshar untuk menyampaikan, “Barangsiapa yang telah berpuasa dari pagi hari, hendaknya ia meneruskan puasanya, dan barangsiapa yang sejak pagi tidak puasa maka hendaknya ia berpuasa di waktu yang tersisa.”
(Baca juga: Ancaman Bagi yang Tidak Berpuasa Ramadhan)
Setelah itu, kami pun berpuasa di hari Asyura, dan kami menyuruh anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa. Kami membawa mereka ke masjid. Kami buatkan mereka boneka dari bulu domba. Jika ada yang menangis karena lapar, kami berikan boneka itu. Begitu terus hingga tiba waktu berbuka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sumber :
Fiqih Sunah Jilid I, Sayyid Sabiq, Penerbit Al-I’tishom Cahaya Umat

Ancaman Bagi yang Tidak Berpuasa Ramadhan

Oleh: Sayyid Sabiq
 
1. Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
Ikatan Islam dan sendi agama ada tiga. Di atas tiga hal itulah, Islam didirikan. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu diantaranya, berarti ia kafir dan nyawanya tidak terlindungi. Tiga hal itu adalah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, shalat fardhu, dan puasa Ramadhan.” (H.R. Abu Ya’la dan Dailami). Hadits ini dishahihkan oleh Dzahabi.
2. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,
Barangsiapa tidak berpuasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa sebab yang dibolehkan Allah kepadanya, maka (dosanya) tidak dapat ditebus meskipun ia berpuasa satu tahun penuh.” (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
3. Imam Bukhari berkata, “Disebutkan dari Abu Hurairah secara marfu’, “Barangsiapa yang tidak berpuasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa uzur atau sakit, maka (dosanya) tidak bisa ditebus dengan puasa setahun penuh.” Pendapat ini juga dianut oleh Ibnu Mas’ud.
(Baca juga: Keutamaan Berbuat Kebajikan di Bulan Ramadhan)
4. Dzahabi berkata, “Di kalangan kaum mu’minin sendiri sudah ada kesepakatan tak tertulis bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan bukan karena sakit adalah lebih buruk daripada pezina dan pemabuk, bahkan keislamannya diragukan dan dicurigai sebagai zindik serta telah melepaskan agamanya.”
Sumber :
Fiqih Sunnah Jilid 1, Sayyid Sabiq, Penerbit Al I’tishom Cahaya Umat

Keutamaan Berbuat Kebajikan di Bulan Ramadhan

1. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa ketika telah datang bulan Ramadhan, Nabi bersabda, “Sesungguhnya, bulan yang penuh berkah telah datang kepada kalian. Allah mewajibkan kalian berpuasa. Di bulan ini, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Di bulan ini terdapat satu malam yang nilainya lebih utama dari seribu bulan. Barangsiapa dihalangi dari kebaikannya, maka ia benar-benar telah dihalangi.” (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Baihaqi).
2. Arfajah meriwayatkan, “Suatu ketika, aku berada di tempat Utbah bin Farqad. Saat itu, ia sedang membicarakan puasa Ramadhan, lalu seorang laki-laki dari kalangan sahabat Nabi masuk. Melihat kedatangannya, Utbah merasa segan dan memilih diam. Orang itu lalu menyampaikan hadits tentang Ramadhan, ‘Aku mendengan Rasulullah saw. bersabda mengenai Ramadhan, ‘Pada bulan itu, pintu-pintu neraka ditutup, pintu-pintu surga dibuka, dan setan-setan dibelenggu.’ Rasulullah juga bersabda, ‘Di bulan itu, seorang malaikat berseru, “Wahai pecinta kebaikan, bergembiralah. Wahai pecinta kejahatan, hentikanlah hingga Ramadhan berakhir.'” (HR. Ahmad dan Nasa’i. Sanad hadits ini hasan).
(Baca juga: Menjadikan Ramadhan sebagai Bulan untuk Bertaubat)
3. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Shalat yang lima waktu, Jum’at ke Jum’at, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus kesalahan-kesalahan yang terdapat di antara masing-masing, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim).
4. Abu Sa’id Al-Khudri ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batasnya, dan ia menjaga diri dari segala sesuatu yang harus dihindari, maka dosa-dosanya yang telah lalu pasti dihapuskan.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dengan sanad yang baik)
5. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan keridhaan Allah, dosa-dosanya yang terdahulu pasti diampuni.” (HR. Ahmad dan As-Habus Sunan).
Sumber :
Fiqih Sunnah Jilid 1, Sayyid Sabiq, Penerbit Al I’tishom Cahaya Umat

X