by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jun 15, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Ibadah
Assalamualaikum Pak Ustadz, Pada bulan Ramadhan tahun lalu saya telah berdosa melakukan hubungan suami istri pada waktu puasa di bulan ramadhon. Dan hal itu juga saya lakukan sebanyak 2 kali. Saya ingin bertaubat, bagaimana cara membayar puasa saya tersebut Pak Ustadz. Pernah saya dengar adalah dengan berpuasa selama 2 bulan berturut-turut, atau jika tidak mampu dengan memberi makan fakir miskin sebanyak 60 orang. Apakah benar hal tersebut. Dan jika saya lakukan sebanyak 2 kali, apakah hukumannya juga dikalikan dengan hukum diatas juga?
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Wash-shalatu wassalamu ala Asyrafil Anbiya wal Mursalin.
Apa yang telah Anda lakukan; yaitu melakukan hubungan suami isteri pada siang Ramadan, padahal Anda dalam kondisi sehat dan tidak musafir, jelas merupakan perbuatan dosa besar.
Sebab, berarti melanggar perintah dan rambu Allah untuk menahan diri dari makan, minum, dan jima mulai dari fajar (subuh) hingga terbenam matahari.
Karena itu, sebagaimana tuntunan Nabi saw, orang yang sengaja berhubungan di siang hari Ramadan dalam kondisi seperti di atas harus membayar kaffarah atas perbuatan tersebut.
Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi berkata,
“Menurut madzhab kami dan madzhab seluruh ulama, orang yang berjima secara sengaja berarti telah merusak puasa satu hari dari Ramadhannya. Kaffarahnya berupa
- Membebaskan budak yang sempurna (tidak cacat).
- Jika tidak mampu membebaskan budak, maka harus berpuasa dua bulan berturut-turut.
- Jika tidak mampu juga maka harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Setiap mereka diberi satu mud (0,6 kg atau 3/4 liter beras).”
Lalu bagaimana kalau hubungan di siang Ramadhan itu dilakukan sebanyak dua kali?
Dalam hal ini harus diperjelas terlebih dahulu. Apakah maksudnya dua kali dari satu hari? atau dua kali dalam hari yang berbeda?
Apabila maksudnya dua kali dalam satu hari, maka kaffarah yang harus dibayar adalah kaffarah untuk satu hari. Namun apabila dua kali dalam hari yang berbeda, maka ia harus membayarkan dua kaffarah.
(Baca juga: Pelaksanaan Bayi Tabung di Bulan Ramadhan)
Sebab setiap kaffarah berlaku untuk satu hari puasa yang telah dirusak dengan jima atau hubungan tadi.
Kesimpulannya, Anda harus banyak bertobat atas kesalahan yang telah dilakukan dan berusaha membayar kaffarahnya dengan memohon taufik dari Allah Swt.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Danu Wijaya danuw | Apr 24, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita meyakini bahwa keluarga adalah pondasi sosial, sementara pernikahan yang sah merupakan pondasi dasar keluarga. Islam menolak segala cara yang menyimpang seperti nikah sejenis dan lainnya. Karenanya Islam mendorong pernikahan dengan memudahkan sarananya dan ekonominya. Islam menolak berbagai tradisi yang tidak sesuai seperti mahalnya mahar, tingginya beban walimah, berbagai hadiah yang melampaui batas, berlebihan dalam berbagai pakaian dan perhiasan serta berfoya-foya serta hal lain yang Allah dan Rasul-Nya murkai. Sebab semua itu memperlambat pernikahan untuk mengutamakan agama dan akhlak dalam memilih suami atau istri.
“Maka pilihlah –calon istri- yang memiliki agama niscaya engkau bahagia” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)
Keluarga
Islam membangun hubungan keluarga melalui cinta dan kasih sayang antara suami dan istri disertai upaya untuk saling menunaikan hak dan kewajiban dan pergaulan yang baik.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Identitas & Karakteristik Umat Islam)
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al Baqarah : 228)
Perceraian
Pada dasarnya Islam menghendaki pernikahan yang langgeng dan abadi. Tetapi realitasnya kadang kala kehidupan keluarga seperti neraka sehingga tidak ada alasan perlu dilestarikan akibat perbedaan dan perselisihan itu sendiri.
Terkait dengan melepas ikatan pernikahan Islam telah memilih jalan untuk tetap memperhatikan tabiat wanita disertai upaya mempertahankan kebutuhan rumah tangga semaksimal mungkin. Selain itu, Islam memperhatikan tanggung jawab laki-laki serta kemashlahatan anak.
- Ishlah : Islam mengajak suami dan istri untuk tetap bersabar, toleran, dan berlaku baik. Pihak keluarga masing-masing melakukan ishlah dan menyelesaikan perkaranya
- Rujuk : Suami yang diberi hak untuk mentalak satu istrinya, masih diberi peluang kembali tanpa pernikahan baru selama iddah (3 kali haidh) lewat. Sedangkan istrinya tetap berada dirumah suami tanpa hubungan suami istri sampai rujuk selesai. Apabila tidak rujuk, maka berlanjut menjadi talak bain yaitu suami istri harus berpisah total meskipun masih ada kesempatan kembali dengan pernikahan baru
- Khuluk : dalam Islam istri diberi kewenangan untuk menggugat cerai (khuluk) serta memberi syarat kapanpun bisa diceraikan. Serta hak mengadukan kepengadilan kezaliman yang menimpa dirinya.
- Talak Kedua : Apabila sudah rujuk terjadi perselisihan kembali, wajib mengikuti proses seperti talak satu, sampai terjadi talak kedua. Status talak kedua masih raj’i, yaitu suami bisa kembali kepada istrinya dalam iddah atau sesudahnya seperti perceraian pertama.
- Talak Ketiga : Apabila kedua suami istri yang rujuk setelah perceraian kedua lalu terjadi perselisihan kembali. Perceraian ketiga ini merupakan talak ketiga atau talak bain kubra, yang artinya mantan suami tidak boleh rujuk sampai istrinya telah pernah menikah dengan orang lain. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah ayat 162 :
“……Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….”
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Wanita)
Poligami
Dahulu bangsa-bangsa didunia melakukan poligami tanpa aturan. Ketika Islam datang, ia memberikan batas-batas dan aturan serta hanya bagi yang membutuhkan, mampu, dan yakin akan bertindak adil.
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, (kawinilah) seorang saja” (Q.S. An Nisa : 3)
Saat ini propaganda persamaan gender mengemuka dengan berbagai aturan perundangan yang memandang poligami sebagai kejahatan yang wajib diberi sanksi. Sementara hubungan lawan jenis diluar pernikahan sebaliknya.
Terdapat sejumlah kondisi pribadi yang membuat seseorang memiliki lebih dari satu istri. Misalnya ketika istrinya mandul atau menderita sakit yang tidak mungkin memberikan layanan kepada suaminya. Sebetulnya suami berhak menceraikan, namun ketika ia mempertahankan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain tentu lebih utama sekaligus membuat istri pertama tetap terhormat.
Peperangan membuat kondisi perempuan lebih banyak dari laki-laki. Disinilah poligami menjadi solusi terbaik secara moral dan kemanusiaan. Syariat Allah datang untuk menyelesaikan realita persoalan.
Orang Tua dan Anak
Islam mengatur hubungan antara orang tua dan anak. Di satu sisi, orang tua mereka wajib membimbing anak-anak mereka secara mnyeluruh baik dari sisi materi, psikologi, serta etika. Sementara disisi lain, anak wajib berbuat baik dan berperilaku terpuji kepada orang tua. Diantara bentuk pendidikan adalah kesempatan belajar anak di usia dini. Yaitu pendidikan yang dapat memberi bekalan kemampuan dan life skill.
Salah satu kewajiban masyarakat dan negara adalah memberikan pendidikan kepada kaum ibu dan anak-anak pada usia dini. Khususnya para yatim dan anak-anak terlantar seperti yang diajarkan Al Qur’an dan Sunnah mendorong untuk berbuat baik kepada mereka. Mereka berhak mendapatkan bagian dalam zakat, sedekah, dan harta rampasan perang.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Manusia)
Keluarga dalam Islam lebih luas cakupannya, bukan hanya komunitas kecil yang terdiri dari suami istri dan anak-anak, sebab meliputi kerabat dan saudara-saudara dekat. Menjaga hubungan dengan mereka adalah wajib, sementara memutusnya merupakan dosa besar.
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak serta karib-kerabat.” (Q.S. An Nisa : 56).
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 28, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Keluarga
Assalamu’alaikum. Ustad, saya ada pertanyaan. Saya memiliki saudara. Hari ini dia bercerita kepada saya tentang kesalahan yang pernah diperbuat. Dia seorang istri sudah menikah. 2 tahun yang lalu rumah tangganya mulai penuh dengan ujian, keadaan ekonomi yang sangat sulit, bahkan suami sempat tidak bekerja. Selama 3 tahun hanya mengandalkan penghasilan istri. Penghasilan pun tidak seberapa. Di mulai dari sana suasana rumah tangga mulai tidak harmonis. Bahkan terakhir diketahui suami selingkuh dengan beberapa wanita. Pada saat itu pula ada seorang laki-laki yang selalu memberikan perhatian pada saudara perempuan saya. Perhatian baik dalam segala hal, ekonomi, kasih sayang, sehingga munculah rasa cinta di antara keduanya. Sampai hal yg paling disesali terjadilah perzinahan. Ketika itu rumah tangga semakin jauh dari kata harmonis, karena di antara suami istri sama-sama saling selingkuh, sampai akhir cerita suaminya mengetahui perselingkuhan tersebut. Terjadilah pertengkaran yang luar biasa, yang akhirnya saling menyalahkan, tetapi dapat diredam ketika saudara perempuan saya bilang bahwa perselingkuhannya hanya sebatas perkenalan saja tidak lebih, merekapun saling memaafkan. Tapi saat ini yang menjadi ganjalan dalam hati saudara saya yaitu dia tidak mengaku perbuatan zina yang pernah dilakukan. Saat ini itu bagaikan beban & dosa besar yang sangat menghantui hari-hari saudara saya. Dia bertanya apakah harus saat ini jujur kepada suaminya, sedngkan saat ini rumah tangganya sudah mulai harmonis bahkan suaminya pun sangat berubah dan sangat perhatian? Saudara saya takut mengakui itu karena watak suaminya yang keras. Saya hanya memberi saran saudara saya untuk benar-benar bertaubat & memohon ampunan Allah. Tetapi tetap dosa itu terus menghantui hari-harinya, dikarenakan suaminya saat ini sangat perhatian & sayang kepadanya, mohon bimbinganya, apa yang harus dilakukan? Apakah harus jujur pada suami? atau biarkan saja itu menjadi rahasia. Terimakasih, Walaikum’salam
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa zina merupakan dosa besar yang bisa mendatangkan murka Allah Swt. Selain itu, ia juga mendatangkan dampak yang sangat buruk baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat.
Allah berfirman, “Janganlah kalian mendekati zina karena ia merupakan dosa dan jalan yang menyimpang.” (QS al-Isra: 32).
Karena itu, bagi mereka yang telah melakukan zina, baik suami maupun isteri, hendaknya bertobat kepada Allah dengan tobat nasuha. Mereka harus menyesali perbuatannya itu, menjauhinya, serta bertekad untuk tidak mengulangi. Lalu menguatkan iman, dan memperbanyak amal salih sebagai ganti dari dosa yang telah dilakukan (QS al-Furqan: 68-70).
Apakah masing-masing harus memberitahukan zina yang telah dilakukan kepada pasangannya?
Tidak harus. Bahkan hendaknya ia menutupi. Sebab apa yang sudah ditutupi oleh Allah hendaknya tidak diungkap dan diumbar. Apalagi hal itu terkait dengan aib yang bila diketahui oleh pasangan atau oleh suami akan menimbulkan bahaya besar.
Nabi saw bersabda, “Jauhilah kotoran (maksiat zina) yang Allah larang ini. Siapa yang melakukan hendaknya dia menutupinya dengan tutup Allah dan bertaubatlah kepada Allah.” (HR al-Hakim).
Jadi yang harus dilakukan adalah mensyukuri karunia Allah yang telah menutupi aib di mana ia merupakan kesempatan dari Allah untuk bertobat, membersihkan diri, dan tidak mengulangi; bukan justru dimanfaatkan untuk melakukan hal sama di masa mendatang.
Setelah itu, hendaknya suami dan isteri sama-sama mendekatkan diri kepada Allah dengan menunjukkan ketakwaan. Siapa yang berusaha untuk bertakwa kepada Allah, pasti Allah beri jalan keluar dan rezeki yang tak disangka-sangka (QS ath-Thalaq:2) serta akan diberi kelapangan dalam hidup (QS ath-Thalaq: 4).
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 24, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Keluarga
Assalamualaikum Wr. Wb. Ustadz/Ustadzah, Nama saya Yanti, usia 37 tahun. Mohon penjelasannya hukum tentang istri yang tidak taat perintah suami saat suami menyuruh untuk menggugurkan kandungan (aborsi). Waktu itu saya telat mens 3 minggu dan suami menyuruh untuk menggugurkan kandungan. Awalnya saya memang sempat panik dan berusaha untuk meminum segala macam jamu dan obat-obatan untuk menggugurkan janin. Dengan pertimbangan anak kedua kami masih berusia dibawah 2 tahun. Namun setelah mencoba dan tidak berhasil akhirnya saya sadar, kalau sampai terjadi apa-apa dengan janin yang saya kandung, justru saya yang akan berdosa kelak. Saya pun memutuskan untuk tetap merawat janin yang ada dalam kandungan saya. Sekarang ini usia kandungan saya masuk 29 minggu. Ternyata suami masih tetap tidak menginginkan janin ini. Bahkan dia mendiamkan saya dan menganggap saya bukanlah istrinya. Dia sudah merasa tidak dihargai pendapatnya sebagai suami, karena saya tetap merawat kandungan saya. Sehingga saya benar-benar penuh tekanan menjalani kehamilan ini. Karena dia sama sekali tidak mau ikut campur dan bertanggung jawab. Malah terus menerus menyalahkan saya. Mohon penjelasan dari Ustadz/Ustadzah. Apa yang harus saya lakukan? Bahkan saya juga pernah meminta dia untuk menceraikan saya daripada dia perlakukan saya seperti sekarang ini. Terimakasih atas waktu dan perhatiannya.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Anak adalah salah satu rezeki dan nikmat terbesar yang Allah berikan pada manusia. Allah befirman, “Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS al-Kahfi: 46).
Rasulullah saw juga mendorong umatnya untuk menikah agar memiliki keturunan. Beliau bersabda, “Menikahlah dan berketurunanlah!”
Sehingga ketika seseorang mendapatkan kehadiran anak, berarti ia mendapatkan karunia yang besar dari Allah Swt.
Karena itu, kehadiran anak harus disambut dengan gembira; bukan dengan rasa kecewa, penyesalan, dan apalagi upaya untuk menggugurkannya. Menggugurkan anak atau janin yang berada dalam kandungan merupakan sebuah perbuatan dosa.
Bahkan bila janin tersebut sudah ditiupkan ruh, maka hal itu merupakan dosa besar karena berarti membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan.
Dalam hal ini kalau seorang suami tetap memaksa untuk menggugurkan kandungan, maka isteri tidak boleh taat. Rasul saw bersabda, “Tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khalik (Allah).”
Yang harus dilakukan oleh isteri adalah menasihati dan mengingatkan suami dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Kemudian mendoakannya agar mendapat hidayah dan petunjuk dari Allah. Bisa pula meminta pihak lain untuk mengingatkan suaminya.
Bila berbagai cara sudah ditempuh sementara suami tetap ngotot agar sang isteri menggugurkan kandungan dan si isteri mengkhawatirkan bahaya pada diri dan janinnya, maka isteri bisa mengadukan suaminya ke pengadilan.
Namun demikian, kami berharap ada solusi terbaik yang Allah berikan kepada Anda berdua. Manusia hanya berusaha sesuai dengan rambu-Nya, Allah yang menentukan.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 22, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Keluarga
Assalamu’alaikum wr.wb. Mohon pencerahanya. Saya sudah menikah 2 tahun dan belum dikaruniai anak. Dari awal nikah saya dan istri sering bertengkar. Istri saya bekerja sebagai perawat di salah satu Rumah Sakit di Semarang. Pendapatan istri saya lebih besar dari pada saya. Pendapatan saya buat angsuran kendaraan dan buat lain-lain hanya tersisa sedikit, jadi yang bisa saya berikan ke istri saya tidak pasti. Tapi saya tidak pernah meminta penghasilan dari istri saya. Yang jadi permasalahan dia sering menolak diajak hubungan badan, padahal tidak dalam keaadaan udzur ataupun sakit, alasannya capek karena bekerja. Kalau saya marah karena tidak dilayani, dia gantian marah terus mengungkit nafkah yang saya berikan belum pasti. Saya mohon solusi dan pencerahannya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Jawaban
Assalamu’alaikum wr wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Ada beberapa poin yang ingin saya sampaikan :
1. Mohonlah kepada Allah swt agar Anda segera diberi momongan.
Sebab keberadaan anak dalam rumah tangga adalah hiburan tersendiri dan bisa memberikan semangat untuk bisa bertahan menghadapi kesulitan hidup.
2. Sepertinya, pertengkaran yang Anda sebut di awal konsultasi, bisa jadi itulah sumber masalah belakangan ini.
Karenanya, berusahalah untuk tidak sering berselisih/bertengkar dengan istri Anda. Cari akar permasalahan dan bangun komunikasi yang baik. Jika Anda memang menginginkan perdamaian maka Allah akan memberikan taufik kepada Anda.
إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا
Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. (QS. An Nisa’ : 35)
Kalau masalah ini terpecahkan serta hubungan Anda berdua harmonis dan tidak banyak bertengkar tapi saling pengertian, saling mengisi kekurangan. Insya Allah problem Anda beres. Istri tidak akan keberatan untuk melayani Anda dan tidak akan mengungkit nafkah yang Anda berikan.
3. Rezeki adalah pemberian dari Allah swt dan Allah swt memberikannya pada siapa yang Dia kehendaki sesuai dengan hikmah-Nya.
Berdo’alah dan berusaha agar Allah swt meluaskan rezeki Anda. Kesulitan atau kekurangan secara materi dalam keluarga bukan hal baru yang hanya terjadi pada keluarga Anda. Karena itu, hal ini tidaklah boleh menjadi penyebab keretakan dalam keluarga. Suami istri haruslah siap berbagi kesulitan, bukan hanya kebahagian. Kembali lagi saya katakan : bangunlah komunikasi yang baik.
4. Kewajiban memberi nafkah adalah tanggungjawab Anda, bukan istri.
Maka termasuk tindakan yang benar bila Anda tidak minta pengasilan dari isteri Anda. Kecuali istri Anda ingin membantu dengan sukarela.
5. Memang disebutkan dalam riwayat bahwa istri yang menolak ajakan suami untuk berhubungan akan mendapatkan laknat sampai pagi hari.
Tentunya, jika tidak ada alasan yang bisa diterima. Namun demikian, suami harus tetap memperhatikan kondisi istri dan berusaha mengetahui apakah penolakannya, karena memang kondisi fisik yang tak memungkinkan atau kondisi perasaan hati yang tidak nyaman disebabkan komunikasi yang tidak baik.
Wallahu a’lam.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini