Al Fakri pernah menceritakan; suatu ketika datang kiriman kepada Khalifah Umar bin Khattab beberapa helai pakaian khas Yaman (burd). Lalu, Umar membagikannya kepada kaum muslimin setiap orang satu helai kain. Umarpun mendapat jatah yang sama yaitu satu helai.
Ketika naik keatas mimbar dan hendak menyerukan untuk berjihad. Umar memakai pakaian itu setelah dipotong dan dijahit menjadi kemeja. Tiba-tiba ada orang yang menyela seruannya seraya berkata, “Saya tidak perlu menaati seruan Anda!” Umar tersentak kaget dan bertanya, “Mengapa demikian?”
Orang itu menjawab, “Karena anda lebih mementingkan diri Anda daripada kami. Anda seharusnya mendapat jatah sehelai kain burd dan untuk ukuran tubuh Anda satu potong kain itu tidak cukup karena Anda berperawakan tinggi. Namun mengapa sekarang Anda justru memotongnya menjadi kemeja. Sementara untuk membuat kemeja butuh dua helai kain burd?”
Umar menoleh kearah anaknya yang bernama Abdullah bin Umar seraya berkata, “Abdullah jawablah!” Abdullah bin Umar pun angkat bicara. “Kain burd jatah saya yang saya berikan kepadanya agar cukup untuk kemejanya.”
Orang yang sempat mencurigai Umar itu berkata, “Kalau begitu sekarang saya patuh pada seruan Anda.” Orang itu pun kembali duduk dan mendengarkan seruan jihad yang diperintahkan Umar.
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran bagi kita bagaimana semestinya interaksi antara pemimpin dengan rakyatnya agar tercipta negara yang makmur, pemimpin yang adil, dan rakyat yang sentosa.
Pertama, sebagai rakyat harus berani menyuarakan kebenaran dan mengkritik apa yang dianggap salah. Rakyat yang baik bukan rakyat yang membiarkan pemimpinnya melakukan apa saja sesuai kehendaknya, melainkan rakyat yang berani melakukan koreksi terhadap tindak tanduk pemimpinnya.
Sebab ketidakpedulian rakyat terhadap perilaku pemimpinnya hanya akan melahirkan tirani yang tak tahan kritik. Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang jahat.” (H.R. Abu Dawud)
Kedua, sebagai pemimpin harus siap menerima masukan dari rakyat dan semua bawahannya karena pemimpin yang hebat bukan pemimpin yang tak pernah salah. Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang selalu berhati-hati agar tidak salah. Jikapun tetap terjerumus dalam kesalahan, ia mau menerima koreksi dan berani memperbaikinya. Bukan malah membungkam orang yang mengkritiknya.
Abu Sa’id meriwayatkan, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah dihari kiamat dan tempat duduknya paling dekat dengan-Nya adalah pemimpin yang adil.” (H.R. At Tirmidzi)
Ketiga, setelah keputusan sang pemimpin dikoreksi, kemudian ternyata ia berada dalam kebenaran, maka rakyat harus mematuhi perintahnya. Tidak boleh meragukannya, apalagi sampai menentangnya. Sebab, kepatuhan kepada pemimpin yang baik merupakan kewajiban bagi seluruh rakyat (Q.S. An Nisa ayat 59)
 
Oleh Abdul Syukur – Republika