Kamis (2/3/2017) malam, di ruang lobi hotel Ritz Carlton Kuningan, Deputi Menteri bidang Da’wah pada Kementerian Urusan Keislaman, Da’wah dan Penyuluhan Arab Saudi Dr. Ahmad Jiilan berbincang dengan sejumlah aktivis media dan da’i Salafi.
Diantara yang hadir pada acara itu adalah Pembina Radio Rodja Ustadz Badrussalam, Pembina Surau TV Ustadz Muhamamd Elvi Syam, Direktur Wesal TV Ustadz Afifudin Rohaly, Sekjen Asosiasi Radio- Televisi Islam Indonesia (ARTVISI) Ustadz Diding Sobarudin dan perwakilan dari Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Syaikh Jiilan menekankan agar para aktivis dakwah lebih melapangkan dada untuk saling menasihati dan tidak terjebak ke dalam fanatisme kelompok. Salah satu wujudnya adalah membuka diri terhadap orang lain dan memperluas referensi.
Pernyataan ini disampaikan oleh Deputi Menteri Bidang Da’wah Kementerian Urusan Keislaman, Da’wah dan Penyuluhan Arab Saudi Dr. Ahmad Jiilan saat berbincang dengan para wartawan Islamic News Agency (INA) di Jakarta hari Kamis (02/03/2016) kemarin.
Menurut Ahmad Jilan, berlapang dada terhadap sesama muslim ketika melihat perbedaan adalah salah satu aspek penting dalam penyebaran dakwah Islam.
“Jangan membatasi diri dengan satu atau dua ulama; satu atau dua buku saja (sebagai rujukan). Pakai juga yang lain. Sehingga ketika ada orang yang hendak mengkritik, mereka tidak mendapatkan celah.”
“Saya tidak menyalahkan kalian memakai Syeikh Bin Bazz, karena beliau adalah ulama umat, bukan ulama kerajaan. Tetapi saya ingin kalian juga mengambil ulama Yaman, Mesir, Suriah, dan juga ulama Indonesia (sebagai rujukan),” tambahnya.
“Sisi lain yang juga perlu diperhatikan, manusia itu mengikuti ulama negerinya. Seiring dengan penghormatan kalian terhadap ulama Saudi dan lainnya, kalian harus menghormati dan mengambil ilmu dari para panutan umat di Indonesia.”
Misalnya, ia berpendapat, bila ada seorang tokoh yang sudah berjasa selama puluhan tahun dalam dakwah Islam, mereka juga layak dihormati.
Sementara itu, Deputi bidang Media Kementerian Agama Arab Saudi, Dr Rasyid Az-Zahrani, yang juga hadir dalam perbincangan itu, menyebutkan sikap mulia Ibnu Taimiyyah yang dapat dicontoh.
Dalam dakwah Islam, Ibnu Taimiyyah telah menghadapi pertentangan kuat dari seorang ahli kalam. Namun ketika orang itu meninggal dunia, Ibnu Taimiyyah menanggung biaya hidup istri dan keluarganya.
Ia tidak menjadikan orang yang berseberangan sebagai musuh yang harus dibenci, tetapi sebagai peluang dakwah yang berpotensi menerima jalan kebenaran.
Menurut Dr Rasyid, penyebaran dakwah Islam juga dihambat oleh fenomena sebagian dai yang keras dalam bersikap dan menuduh setiap orang yang ia lihat keliru sebagai ahli bid’ah. Selain mempersempit dakwah, tindakan ini sangat berlebih-lebihan.
“Jangan terlalu mudah menuding; ini bid’ah, itu bid’ah. Bila berlebihan, maka ini akan menjerumuskan ke dalam takfir serampangan (mengafirkan orang yang tidak berdasar),” ujarnya.
Sempitnya pandangan sebagian dai telah membuat mereka terpecah-pecah dan tidak menyatu. Inilah yang harus dihindari. Karenanya, hendaknya semua dai dan ahli dakwah berusaha lebih lapang dada dan terbuka.
Menurut beliau, orang yang banyak manfaat bagi umat selama mereka bagian dari ahli Sunnah, perlu didekati dan dirangkul, bukan dijauhi.
Sebab, sempitnya pandangan sebagian da’i itu telah membuat mereka terpecah-pecah dan tidak menyatu. Maka ini harus dihindari, dan hendaknya berusaha untuk lebih lapang dada dan terbuka.
Ia berharap bila diberi umur panjang, tidak lagi menyaksikan perpecahan di antara mereka.