Tiap orang punya cara untuk menyampaikan nasihat kepada kita. Permata pun bisa dilempar, diulurkankan atau diselip ke saku. Ambillah permatanya. Hawa nafsu membenci nasihat. Nurani mencintai pengingat.
Perhatikan kala masukan datang. Kesanggupan menutup aib saudara dipadu keterampilan menasihati dan ketulusan doa ialah daya agung ukhuwah yang kian langka.
Pernah bersyair Imam Asy-Syafi’i, “Nasihati aku kala sunyi dan sendiri, jangan dikala ramai dan banyak saksi. Sebab nasihat ditengah khalayak terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak. Maka maafkan jika aku terkadang berontak.”
Seorang penasihat pasti akan mencari alasan untuk berbaik sangka. Jika semua tak masuk akal, dia berkesimpulan : “Saudaraku mungkin punya alasan yang tidak kutahu.”
Tetapi cinta yang kadang meluruhkan tegur dan kata, tak boleh meruntuhkan kewajiban yang diamanahkan Tuhannya; nasihat.
Nasihat merupakan kawan sejati bagi nurani. Menjaga cinta dalam ridha-Nya. Tetapi apa yang harus dilakukannya, jika tiada perubahan jua?
Menangislah. Menangis dihadapan Rabbnya, mengadukan lemahnya diri dan buntunya upaya. Lalu sekali lagi sampaikan nasihat, dan lagi, hingga tak punya pilihan selain mengajak untuk curahkan cinta.
Jika cinta telah bicara hingga ke ujung rasa sakitnya, sebagaimana Ibnul Qayim Al Jauziyah yang ingin memberi masukan nasihat kepada gurunya dalam doa :
“Aku sudah tak sanggup ya Allah, hanya Kau yang mampu menegurnya. Aku sangat mencintai guruku, namun kebenaran jauh lebih besar daripada guruku.”
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media