NISFU artinya pertengahan, maka malam Nisfu Sya’ban artinya malam pertengahan bulan Sya’ban. Kalau dirujuk kepada kalender Hijriyah, maka malam itu jatuh pada tanggal 14 Sya’ban karena pergantian tanggal sesuai penanggalan Hilaliyah atau yang menggunakan patokan rembulan adalah saat matahari terbenam atau malam tiba. Benarkah ada tuntunan dari Rasulullah di malam ini?
Sesungguhnya Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku tidak pernah sekali pun melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali (pada) bulan Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau (banyak berpuasa -ed) dalam suatu bulan kecuali bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada kebanyakan hari di bulan Sya’ban,” (HR. al-Bukhari: 1868 dan HR. Muslim: 782)
Dalam hadits yang lain, Usamah bin Zaid berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam beberapa bulan seperti puasamu di bulan Sya’ban. Beliau menjawab, ‘Itu adalah satu bulan yang manusia lalai darinya. (Bulan itu adalah) bulan antara Rajab dan Ramadan, dan pada bulan itu amalan-amalan manusia diangkat kepada Rabbul ‘alamin, maka aku ingin supaya amalanku diangkat pada saat aku berpuasa.’ ” (HR. an-Nasa’i: 1/322, dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil: 4/103)
Membedah Hadist Pengkhususan Nisfu Sya’ban
Adapun pengkhususan hari-hari tertentu pada bulan Sya’ban untuk berpuasa atau qiyamul lail, seperti pada malam Nisfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya lemah bahkan palsu. Di antaranya adalah hadits:
“Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam,
Lalu Allah berkata, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia. Adakah demikian dan demikian?’ (Allah mengatakan hal ini) sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu Majah: 1/421; HR. al-Baihaqi dalam Su’abul Iman: 3/378)
Hadits ini dari jalan Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini adalah hadits maudhu’/palsu, karena perawi bernama Ibnu Abi Sabrah tertuduh berdusta, sebagaimana dalam Taqrib milik al-Hafidz. Imam Ahmad dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkata tentangnya, “Dia adalah perawi yang memalsukan hadits.”[ Lihat Silsilah Dha’ifah, no. 2132.]
Maka dari sini kita ketahui bahwa hadits tentang fadhilah (keutamaan –ed) menghidupkan malam Nisfu Syaban dan berpuasa di siang harinya tidaklah sah dan tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi). Para ulama menyatakan hal itu sebagai amalan bid’ah dalam agama. [Lihat Fatawa Lajnah Da’imah: 4/277, fatwa no. 884].
Menurut Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi’i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba’in an-nawawiyah, al-majmu’), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya’ban.
Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid’ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW.
Beliau mengingatkan untuk tidak salah menafsirkan dalil-dalil dan anjuran yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.
Menurut Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang menjabat sebagai Ketua Persatuan Ulama Internasional yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat, tentang ritual di malam nasfu sya’ban bahwa :
Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat, bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya’ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabat, tabi`in dan tabi’ tabi`in)
Bijaksananya Kita
Namun kita bisa bersikap bijak, amal puasa di bulan Sya’ban bisa diniatkan puasa Daud, atau puasa Ayyaumul Bid (pertengahan bulan). Jangan sampai kita sendiri justru malah tidak memperbanyak ibadah di Bulan Sya’ban. Cukup diganti niatnya sebagai ibadah umumnya. Dan sampaikan dengan santun dan hati-hati terkait tradisi Nisfu Sya’ban yang sudah melekat dimasyarakat awam. Dan salinglah menghormati walau berbeda pendapat nantinya.
Sumber: Konsultasi Syari’ah/Rumah Fiqih Indonesia/Ustad Ahmad Sarwat,Lc.MA