Suami dan istri berbeda. Jangan mencintai pasangan dengan cara kita ingin dicinta. Cintailah dengan cara dia ingin dicintai.
Suami ingin dicinta dengan dipercaya dan diberi keleluasaan. Jangan perlakukan istri dengan cara itu. Justru berikan perhatian. Istri ingin didengarkan sepenuhnya dan dimengerti segala. Jangan anggap suami juga begitu. Justru beri ruang untuk kediriannya.
Suami mementingkan solusi dalam tiap persoalannya. Istri tidak. Saat istri keluhkan masalahnya, jangan memotong dengan solusi. Istri mudah dengarkan curhat orang, sebagaimana begitulah dia ingin diperlakukan. Suami tidak. Baginya tidak mendengarkan itu berat.
Bagi istri, mendengarkan harus disertai kontak mata dan respon bahasa tubuh. Bagi suami, kontak mata dengan yang dicinta itu sulit. Suami hanya kuat tatap mata istri selama 4 detik, lalu blank. Maka aturlah ganti-ganti fokus diwajah istri saat mendengarkan.
Keluhan nomor 1 para istri adalah, “Saya merasa tak didengarkan!” Jika telinga suami tak bersedia mendengar, dia cari telinga lain. Sabarlah mendengar pasangan meski cerita sama berulang. Seperti usai menonton sepak bola bersama kawan tetap seru. Jangan potong cerita pasangan meski kita tahu ending-nya. Ini bukan soal apa, tapi berkisah: cinta tak tergantikan. Menyudahi keluhan istri dengan, “Mari kita cari pembantu!” itu menyakitkan. “Oh jadi selama ini aku dianggap pembantu.”
Melihat wajah suami saat suntuk lalu memaksanya bercerita pasti merusak harmoni. Saat tertekan, yang dibutuhkan suami bukan curhat. Bagi istri, cerita masalah meringankan beban. Bagi suami, curhat itu rasanya menyangkut ketidak berdayaan, batinnya terluka. Istri berkisah saat masalah hadir. Suami bercerita setelah masalahnya berhasil diselesaikan. Itu memupuk jiwa dan kepemimpinan. Maka saat kaulihat suami suntuk terbeban, yang harus kau sediakan ialah ruang sunyi untuk menyendiri, kontemplasi, rumuskan solusi.
Ingat saat sang suami, Muhammad saw shock setelah turun wahyu pertama? Khadijah sebagai istri tak bertanya, yang disediakannya pengertian dan selimut nyaman. Suami yang tertekan kadang jadi sulit bicara dan tak mampu jawab tanya. Ingat pula Nabi Ibrahim saat diperintahkan tinggalkan Hajar dan bayinya?
Corpus callosum yang hubungkan dua belahan otak istri lebih banyak dibanding suami. Maka istri lebih sanggup ber-multitasking. Maafkanlah suami jika dia gagap, bingung, dan tertekan saat istri membawanya ke ritme multitasking yang perlu kecerdasan ekstra.
Kecerdasan istri yang lebih itu membuatnya kadang bicara dalam kalimat tak langsung yang sulit ditangkap dan dipahami suami. Misal : “Mas, anak-anak belum dijemput, Aku masih harus masak dan nyiapin arisan nih!” Maksudnya pasti : Jemputlah anak-anak, Mas!” Jawaban yang biasa diberikan suami yang kalah cerdas sambil tetap membaca koran, “Nggak apa-apa, nanti mereka bisa pulang sendiri.!”
Jika meminta suami lakukan sesuatu, jangan berhenti saat dia iyakan sementara dirinya masih menyambi sesuatu yang kurang penting. Pilih saat dan cara yang manis, dekati, tatap mata, serahkan alatnya/sapu sambil merajuk manja.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media