Fitnah menganggap Al Qur’an sebagai makhluk atau disebut khalqul qur’aan muncul dahsyat didunia Islam ketika Al Makmun bertahta (813-833 M).
Mu’tazilah terbentuk dari keluarnya Washil ibn Atha’ pada tahun 105 H dari majelis Hasan Al Bashri karena tak puas akan bahasan takdir.
Bergerak secara rapih sejak masa Abdul Malik ibn Marwan (685-705), madrasah Mu’tazilah akhirnya tumbuh raksasa di zaman Abbasiyah. Setelah berhasil mengalahkan Al Amin kakaknya (yang didukung etnis Arab), maka Al Makmun, (yang didukung etnis Persia) menjadikan Mu’tazilah mazhab negara.
Perang antara dua putra Harun Ar Rasyid (Al Amin dan Al Makmun) menghasilkan berkuasanya kaum Persia dan falsafah mereka yang memuja akal. Mu’tazilah dengan teologi falsafi dan madrasah akal mereka yang kokoh menjadi mazhab yang dipilih Al Makmun untuk mengimbangi.
Ba’da wafatnya beberapa Ulama Sunah yang dihormati sekelas Yazid ibn Harun Al Wasithi dan Imam Syafi’i, maka Al Makmun mulai memaksakan mazhab ini.
Diantara paham yang paling dikampanyekan adalah dikotomi-determinasi. Termasuk kategorisasi dalam semesta wujud hanya dua : Khalik dan makhluk. Jadi menurut Mu’tazilah, kalau itu bukan Khalik ya berarti makhluk. Nah, Al Qur’an?
Menurut Mu’tazilah karena pastinya bukan Khalik (Pencipta) maka Al Qur’an termasuk makhluk (yang di cipta). Gagasan ini berbahaya. Karena kalau termasuk makhluk, maka ia tak lebih tinggi dari akal manusia. Mereka bisa saling menilai, mengoreksi, dan menghakimi.
Diantara orang kuat Mu’tazilah berjabat tinggi adalah Ishaq bin Ibrahim (panglima besar), Ibnu Abi Dawud (hakim agung kekhalifahan). Sejak mereka mengendalikan Khalifah, para ulama penolak logika dikotomi-determinasi, teologi Mu’tazilah dan Terkhusus paham Khalqul Qur’aan mulai ditangkapi dan dibunuhi.
Sebagian yang tak tahan atas siksaan dan penjara mengambil rukhsah (keringanan) untuk terpaksa mengatakan “Ya” pada kesesatan yang diterorkan ini. Bahkan ulama setingkat Yahya ibn Ma’in, Ali ibn Al Madini dan yang lainnya pun menyerah dalam cambukan dan tetakan pedang dileher. Hanya sedikit yang bertahan. Diantara mereka yang paling agung adalah Imam Ahmad ibn Hambal.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah