by Danu Wijaya danuw | Sep 19, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
SEBAGAI makhluk sosial, tentunya kita akan selalu berhadapan dengan orang-orang di sekitar kita. Entah itu dengan orang yang mempunyai sikap baik atau bahkan dengan orang yang bersikap buruk terhadap kita. Sebagian besar dari kita tentunya akan lebih menyukai orang-orang yang bersikap baik. Namun pada kenyataannya tak semua orang bersikap sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Ketika seseorang bersikap tidak baik terhadap kita, seringkali kita mengingatnya dalam-dalam kemudian menyimpan dendam terhadap orang yang telah membuat hati kita terluka tersebut. Bagi sebagian orang, keburukan akan membekas dalam hati sebagaimana kebaikan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik, ia berkata, “Aku telah mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang hadits mengenai dirinya ketika beliau tidak ikut (berperang) bersama Rasulullah saw. Lalu beliau menuturkan sebuah kisah dan turunnya wahyu tentang diterima taubat dirinya.
Beliau berkata, “Aku masuk ke dalam masjid. Ketika aku masuk, Rasulullah sedang dikelilingi oleh para sahabat. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berdiri menghampiriku sambil berjalan mundur, sehingga dia berjabat tangan denganku seraya mengucapkan selamat.
Demi Allah, tidak berdiri menghampiriku seorang laki-laki dari golongan Muhajirin kecuali dia. Abdullah bin Ka’ab bin Malik berkata, “Ka’ab bin Malik tidak pernah melupakan sikap baik Thalhah.” (HR. Bukhari).
Apabila sudah yakin bahwa kebaikan tidak bisa dilupakan, maka halnya dengan keburukan. Namun, walau bagaimanapun kita tetap dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam membersihkan bekas keburukan orang lain (rasa dendam) dalam hati kita.
Obat Dendam adalah Maaf
Obat untuk menyembuhkan rasa dendam yaitu dengan memberi maaf dan ampunan kepada orang yang telah membuat hati kita terluka.
Maaf memiliki dua tempat.
- Pertama, melihat pahala bagi yang memaafkan.
- Kedua, mensyukuri Dzat yang telah menempatkan kita pada posisi orang yang memaafkan.
Kesempurnaan memberi maaf ditandai dengan ketulusan, yaitu bersihnya hati dari perasaan dendam.
Selain obat di atas, terdapat obat yang dapat menyembuhkan kita dari perasaan dendam ini, yaitu kesadaran bahwa sifat menyakitkan orang lain terhadap dirinya tiada lain karena dosa pribadinya.
Atau sebagai kifarat dosa, atau untuk meningkatkan derajat, atau untuk menguji kesabaran diri.
Selain itu, obat yang lebih mujarab daripada semua itu adalah kesadaran bahwa segala sesuatu adalah takdir dari Allah swt.
Semoga kita mampu melenyapkan perasaan dendam yang ada di dalam hati kita dan mampu memaafkan orang yang berbuat keburukan terhadap kita.
Sumber : Mengobati Jiwa yang Lelah/Ibnu Al-Jauzy/Mirqat
by Danu Wijaya danuw | Sep 15, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Tulisan ini lahir dari kecintaan pada ulama besar
Saya dijapri seseorang untuk menanggapi potongan video dua orang ustadz yang sedang diskusi. Saya tak tahu tema diskusi itu, sebab rekaman videonya tak dari awal majelis.
Tetapi satu hal yg membuat saya terkejut dari diskusi tersebut adalah pernyataan salah satu ustadz tersebut, “Sayyid Sabiq yang dijadikan referensi istri antum itu GA BOLEH DIPAKAI, sebab apa? Sebab Sayyid Sabiq BUKAN FAQIH DI MASJID.”
Benarkah Sayyid Sabiq bukan Faqih, sehingga kitab beliau tidak layak dijadikan referensi?
1. Syaikh Nashr Farid Muhammad Washil Mufti Mesir (1996-2002) mengatakan:
جزى الله الشيخ سيد سابق عن أبناء الأزهر الشريف وشباب هذه الأمة خير الجزاء، فهو بحق فقيه الأمة الذي أكد وسطية هذا الدين، وفك طلاسم الفقه التي كان يصعب على العوام أن يفهموها، فقد قرأنا ونحن في شبابنا كتابه العظيم “فقه السنة” الذي أثرى المكتبة الإسلامية ويسّر الفقه لأبناء الأمة الإسلامية في مصر والعالم العربي والإسلامي، وتُرجم إلى عدد كبير من اللغات التي ينطق بها المسلمون في العالم الإسلامي، فجزاه الله عن الجميع خير الجزاء ورزق أبناءه وذويه الصبر والسلوان، وأسكنه فسيح جناته”.
Semoga Allah membalas Syaikh Sayyid Sabiq dengan balasan terbaik, dari anak-anak al-Azhar dan pemuda dr ummat ini. Beliau benar-benar seorang FAQIH UMMAT yg menegaskan wasathiyah agama ini……”
Lihat: http://ansarda3wa.yoo7.com/t665-topic
Sekelas Mufti Mesir tentu bukan sembarang orang, sebab menjadi mufti di negara yang jadi gudangnya ulama dunia, pengakuan beliau itu jelas dan tegas bahwa Sayyid Sabiq adalah seorang Faqih, dan bahkan sang Mufti memuji kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq.
2. Sayyid Sabiq hafal al-Quran diusia 9 tahun, dan doktor Syariah lulusan Universitas al-Azhar, pernah menjadi dosen di Universitas Malik Abdul Aziz dan Universitas Ummul Qura.
Dengan latar belakang pendidikan Al-Azhar, yang jadi doktor disana itu susahnya bukan main, udah jadi dosen dikampus besar masih dianggap bukan faqih juga?
Lihat: http://alrashedoon.com/?p=600
3. Pada tahun 1994 beliau mendapat penghargaan King Faisal International Prize dalam Fiqh Islami.

Sebuah penghargaan bergengsi didunia Islam atas buku beliau Fiqh Sunnah, kitab yang mendapat pengakuan dunia kok dibilang tidak layak dijadikan referensi.
4. Untuk melihat kapasitas kefaqihan beliau, lihatlah murid didikan beliau yg jadi ulama besar, seperti Dr Yusuf al-Qaradhawi, Dr Ahmad al-Assal, Dr Muhammad ar-Rawi, Dr Abdus Sattar Fathullah, Dr Shalih bin Humaid, dan lainnya.
Ulama yang menghasilkan ulama besar kok dibilang BUKAN FAQIH.
5. Beliau sering dikunjungi kibar ulama al-Azhar untuk didengarkan pendapat beliau
Anak beliau Muhammad mengatakan beberapa masyayikh al-Azhar yang mengunjungi beliau seperti Syaikh Abdul Jalil Isa, Syaikh Manshur Rajab, dan Syaikh al-Baquri.
Kalaulah beliau ulama ecek-ecek dan bukan faqih, gak bakalan masyayikh al-Azhar mendengarkan pendapat beliau.
Terlalu banyak kebaikan, kelebihan dan keistimewaan Sayyid Sabiq, sehingga wajar beliau dihormati ulama besar dimasa beliau, tetapi ketika ada yang tidak setuju dengan beliau bukan berarti boleh seenaknya mengatakan beliau tidak layak dijadikan rujukan.
MARI BERADAB DAN BERETIKA kepada ulama besar, sekalipun kita tidak setuju dalam beberapa masalah dengan ulama besar tersebut.
Wallahu a’lam
Sumber : Grup WA Thifan
by Danu Wijaya danuw | Aug 30, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
HARI raya atau ‘id dalam Islam hanya ada 3, yaitu ‘Idul Fithri ,‘Idul Adha, kemudian yang ketiga adalah Hari Jum’at.
Dinamakan ‘Id, yang bermakna kembali atau berulang, karena memang hari raya tersebut senantiasa kembali dan berulang setiap tahunnya.
Seperti halnya sekarang, waktu terasa berjalan begitu cepat. Betapa tidak, rasanya kita akan merayakan hari raya Idul Adha, dengan prosesi Shalat sunah Idul Adha dilanjutkan penyembelihan hewan Qurban di depan masjid, kemudian dilanjut makan Sate ramai-ramai. Sekarang tinggal menghitung waktu menuju tanggal 10 Dzulhijjah 1438 H, prosesi atau ritual itu akan terulang kembali.
Ada beberapa adab yang harus diperhatikan ketika kita memasuki hari raya, diantaranya adalah :
1. Mandi Sebelum Shalat ‘Id
Ibnul Qayyim dalam Za’dul Maad mengatakan, Nabi mandi pada dua hari raya, telah terdapat hadits shahih tentang itu, dan ada pula dua hadits dhaif.
Pertama, hadits Ibnu Abbas, dari riwayat Jabarah Mughallis, dan hadits Al Fakih bin Sa’ad, dari riwayat Yusuf bin Khalid As Samtiy. Tetapi telah shahih dari Ibnu Umar –yang memiliki sikap begitu keras mengikuti sunnah- bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar rumah.
2. Memakai Pakaian Terbaik dan Minyak Wangi
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang kami punya, dan berkurban dengan hewan yang paling mahal yang kami punya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak, hasan)
Nafi’ menceritakan tentang Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu saat hari raya: “Beliau shalat subuh berjamaah bersama imam, lalu dia pulang untuk mandi sebagaimana mandi janabah, lalu dia berpakaian yang terbaik, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang dia miliki, lalu dia keluar menuju lapangan tempat shalat lalu duduk sampai datangnya imam, lalu ketika imam datang dia shalat bersamanya, setelah itu dia menuju masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan shalat dua rakaat, lalu pulang ke rumahnya.”
3. Makan Dulu Sebelum Shalat ‘Idul Fitri, Sebaliknya Tidak Makan Dulu Sebelum Shalat Idul Adha
“Pada saat Idul Fitri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah berangkat untuk shalat sebelum makan beberapa kurma.”
Murajja bin Raja berkata, berkata kepadaku ‘Ubaidullah, katanya: berkata kepadaku Anas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Beliau memakannya berjumlah ganjil.” (HR. Bukhari No. 953)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, mengutip dari Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah, mengatakan, “Kami tidak ketahui adanya perselisihan pendapat tentang sunahnya mendahulukan makan pada hari ‘Idul Fithri.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah keluar pada hari Idul Fitri sampai dia makan dulu, dan janganlah makan ketika hari Idul Adha sampai dia shalat dulu.” (HR. At Tirmidzi No. 542, Ibnu Majah No. 1756, Ibnu Hibban No. 2812, Ahmad No. 22984, shahih)
4. Melaksanakan Shalat ‘Id di Lapangan
Shalat hari raya di lapangan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak pernah shalat Id, kecuali di lapangan (mushalla).
Namun, jika ada halangan seperti hujan, lapangan yang berlumpur atau becek, tidak mengapa dilakukan di dalam masjid.
Dikecualikan bagi penduduk Mekkah, shalat ‘Id di Masjidil Haram adalah lebih utama.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata, “Shalat Id boleh dilakukan di dalam masjid, tetapi melakukannya di mushalla (lapangan) yang berada di luar adalah lebih utama, hal ini selama tidak ada ‘udzur seperti hujan dan semisalnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua hari raya di lapangan, tidak pernah Beliau shalat di masjidnya kecuali sekali karena adanya hujan.”
Dari Abu Hurairah, “Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat ‘Id bersama mereka di masjid. (HR. Abu Daud)
5. Dianjurkan Kaum Wanita dan Anak-anak Hadir di Lapangan
Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari raya mesti disambut dengan suka cita. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan: “Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum wanita pada dua hari raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu gadis, dewasa, pemudi, tua renta, dan juga wnaita haid.”
Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata: “Kami diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan anak-anak gadis, wanita haid, wanita yang dipingit, pada hari Idul Fitri dan idul Adha.
“Ada pun wanita haid, mereka terpisah dari tempat shalat. Agar mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudarinya memakaikan jilbabnya untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan ini lafaznya Imam Muslim).
by Danu Wijaya danuw | Aug 20, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Ada seorang laki-laki, entah sudah berapa tahun ia mengaji, tapi mengerikan. Ia mencaci maki seorang ustadz, hanya karena berbeda manhaj.
Mengomentari status dengan kata-katanya yang kasar lagi buruk.
Saya liat profil picture laki-laki itu. Apa tulisannya?
“Kata-katamu adalah kualitas dirimu.”
Saya tersenyum sendiri. Lalu ingat sebuah pepatah : “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Meludah ke atas, jatuh menimpa muka sendiri”.
Mungkin terlalu banyak menggeluti ilmu sampai lupa mempelajari adab dan akhlak.
Imam Malik pernah menasehati murid-muridnya, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Mencaci maki itu tiada gunanya. Jika cacianmu benar, tiada menambah kemuliaanmu. Bila cacianmu salah, pastilah merendahkan kehormatanmu.
Para ulama dulu mempelajari adab lebih panjang dari mempelajari ilmu.
“Kami memperlajari adab 30 tahun,” kata Imam Ibnu Mubarak, “Lalu mempelajari ilmu 20 tahun.”
Mereka, orang-orang besar itu, menjadikan ilmu sebagai garam. Dan adab sebagai tepungnya.
Para ulama juga saling mengoreksi. Tapi tak ada yang paling mereka jaga kecuali kemuliaan akhlak. Seorang ulama pernah bersaksi mengenai Imam Asy Syafii.
“Ada dua keperihan berdebat dengan Imam Asy Syafii.
Pertama, kau akan dikalahkan, dengan kecerdasan pikirannya.
Kedua, kalaupun kau menang, kau akan dikalahkan oleh akhlaknya.”
Seberapa berat ilmu-mu?
Seberapa dalam sumur yang kau gali menampung mata air guru-gurumu? Beratnya ilmu akan membuatmu merunduk.
Dalamnya ilmu, akan membuatmu tenggelam dalam kerendahan hati.
Jika tidak: ringan dan dangkal keilmuanmu.
Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengutip perkataan sebagian ulama, “Diantara tanda tawadhu adalah seseorang meyakini bahwa setiap muslim lebih baik daripada dirinya.”
Lalu dimana kita?
Aina nahnu min akhlaqis salaf?
Ingat, daging ulama itu beracun. Kebenaran yang ingin kau sampaikan, tak menghalalkanmu untuk mencaci maki mereka.
Barakallahu fiikum..
Oleh : Ustadz Bakhabazy
by Danu Wijaya danuw | Jul 14, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
DALAM perjalanan hidup, manusia sering kali melakukan dosa yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Banyak dari kita yang tidak menyadari kesalahan yang telah diperbuat, dan hanya sedikit manusia yang menyadari kesalahannya.
Sebenarnya, kesalahan-kesalahan tersebut dapat kita hindari dengan berintrospeksi diri. Kebanyakan orang dengan angkuhnya tidak mau mengoreksi kesalahan yang telah dilakukannya, dan tetap pada pendirian bahwa semua itu adalah kebenaran.
Sejatinya tidak semua perbuatan itu benar, terkadang banyak sekali perbuatan yang harus dihindari karena hanya mengikuti hawa nafsu belaka.
Tanpa disadari, ternyata dengan melakukan introspeksi diri, itu akan melahirkan banyak hikmah yang luar biasa bagi diri sendiri. Berikut penjelasannya.
Pertama, Musibah terangkat dan hisab diringankan.
Hikmah yang akan didapat oleh seseorang yang suka berintrospeksi diri adalah terangkatnya musibah dan hisab akan diringankan ketika hari kiamat kelak.
Seperti yang di katakan Umar radhiallahu anhu dalam H.R Tirmidzi:
“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia”(H.R Tirmidzi).
Setelah seseorang menyadari bahwa ia telah melakukan sebuah kesalahan yang melenceng dari agama Allah, maka jalan keluarnya yakni kembali ke jalan Allah lewat introspeksi diri dan taubat sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Kedua, Hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia.
Dalam sebuah hadits dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah.
Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata kepadanya,
“Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” (Hasan. HR. Ahmad).
Ketiga, Memperbaiki hubungan di antara sesama manusia.
Ternyata introspeksi diri itu memiliki hikmah untuk memperbaiki hubungan di antara sesama manusia. Seperti sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni, kecuali mereka yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berdamai.” (Sanadnya shahih. HR. Ahmad).
Keempat, Terbebas dari sifat nifak.
Hikmah yang terakhir dari introspeksi diri adalah dapat terbebas dari sifat nifak. Ibrahim at-Taimy mengatakan: “Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku, melainkan saya khawatir jika ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).”
Selain Ibrahim at-Taimy, Ibnu Abi Malikah juga berkata: “Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, merasa semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril dan Mikail.” (H.R. Bukhari).
Sudah sepantasnya kita menyadari kesalahan dan memperbaikinya di kemudian hari agar Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya.
by Danu Wijaya danuw | Jul 12, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
MARAH adalah kondisi yang akan menarik kita pada situasi tertentu. Entah itu situasi baik ataupun situasi buruk. Marah akan berdampak pada diri kita tergantung pada cara kita menyikapi rasa marah itu sendiri.
Jika seseorang berhasil mengendalikan amarahnya dan mampu memaafkan orang yang telah membuatnya marah, maka Allah akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.
Namun seperti yang kita ketahui bahwa mengendalikan marah bukanlah hal yang mudah. Bahkan Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang paling kuat bukanlah mereka yang pandai bergulat tapi mereka yang mampu menahan amarahnya.
Al-Bukhari pun pernah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa seseorang pernah berkata kepada Rasulullah, “Nasehatilah aku.” Rasulullah bersabda, “Jangan marah.” Rasulullah mengulang kata-kata itu.
Jika marah ini diibaratkan sebagai penyakit, maka kita membutuhkan obat penawar bagi penyakit marah ini. Dan Rasulullah mengajari kita mengenai beberapa obat penawar pada saat kita marah.
1. Obat penawar yang pertama adalah membaca Ta’awudz untuk memohon perlindungan kepada Allah dari setan.
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurd, ia bercerita, bahwa ketika kami sedang duduk bersama Rasulullah ada dua orang laki-laki yang sedang mengumpat. Salah seorang di antara mereka tampak memerah wajahnya dan urat-urat lehernya membesar.
Rasulullah pun bersabda, “Aku akan mengajarkan satu kalimat yang andaikan ia membacanya, niscaya apa yang dialaminya itu pergi darinya. Seandainya ia mengucap ‘Audzubillahi minasy syaithan,’ (aku berlindung kepada Allah dari setan), tentulah apa yang dialaminya itu pergi darinya.”
Orang-orang lalu berkata kepada lelaki itu bahwa Rasulullah bersabda, “Mintalah perlindungan kepada Allah dari setan!” orang itu menukas, “Memangnya aku ini orang gila.” (HR. Muttafaq Alaih).
2. Kemudian obat penawar yang kedua ketika marah adalah mengubah posisi.
Diriwayatkan dari Abu Dzar, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Jika masing-masing kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk. Jika marah sudah pergi darinya (maka cukuplah itu). Tetapi, jika tidak maka hendaklah ia berbaring.” (HR. Abu Dawud).
3. Nah obat penawar ketika marah yang ketiga adalah bersabar.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah swt. “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik.” (QS. Fushshilat : 34).
Ia menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah bersabar saat marah dan memberi maaf di saat menerima perlakuan buruk. Jika mereka mampu melakukan semua itu, niscaya Allah melindungi mereka dan menundukkan musuh-musuh mereka layaknya sahabat akrab saja.
Sumber : Tipu Daya Wanita/Yusuf Rasyad/Pustaka Al-Kautsar/Isl