by Danu Wijaya danuw | May 19, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Shalat Jumat merupakan kewajiban bagi seorang laki-laki yang sudah baligh dan berakal sehat. Tentunya, jika kewajiban ini tidak dilaksanakan, sama halnya ia tidak mengindahkan perintah Allah. Itu berarti ia tidak mencintai Allah sebagai Tuhannya. Dengan begitu, ia akan jauh dari rahmat-Nya.
Seseorang yang melaksanakan shalat Jumat memiliki peluang memperoleh pahala dari Allah. Pahala itu akan sangat berguna baginya di akhirat kelak. Meski begitu, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar pahala itu dapat diraihnya. Salah satunya jangan melakukan hal-hal yang bisa mengugurkan pahala.
Ada salah satu kebiasaan kecil dan terlihat sepele tetapi bisa menghapus pahala shalat Jumat. Apakah itu?
Ternyata tindakan yang sering dianggap sepele namun berdampak menghapus pahala tersebut adalah berbicara dengan makmum lainnya saat khatib sedang berkhutbah. Bahkan untuk mengatakan ‘diam’ kepada teman lain yang berbicara pun dilarang Rasul.
Tindakan ini disebut dengan perbuatan Lagha, atau ucapan yang bathil, yang tertolak, yang tidak selayaknya dilakukan. Bahkan ada 4 riwayat yang melarang “berbicara” saat Khutbah Jumat :
“Siapa yang berbicara maka tidak ada pahala jumatan baginya,” (HR. Ahmad 719).
“Siapa yang berbicara di hari jumat ketika imam sedang khutbah, maka dia seperti keledai yang menggendong barang bawaan. Sementara orang yang mengatakan ‘Diam’ maka tidak ada jumatan baginya,” (HR. Ahmad).
“Barangsiapa yang berbicara pada hari jumat ketika imam sedang khutbah, maka pahala dari jumat tersebut sebesar genggaman debu,” (Ad Daulabi di dalam Al Kuna wal Asma).
“Jika engkau berkata kepada saudaramu, “diamlah!”, pada hari Jumat dan imam sedang berkhutbah, maka engkau telah berbuat sia-sia,” (HR. Bukhari Muslim).
Rasulullah saw dalam hadis Riwayat Ahmad mengatakan, “Ada tiga model orang yang datang pada untuk shalat Jumat.
Model pertama adalah pria yang datang dan shalat serta berdoa kepada Allah. Jika yang Maha Kuasa berkehendak, maka akan dikabulkan, namun jika tidak, maka tidak akan dikabulkan.
Golongan kedua adalah mereka yang datang pada hari Jumat, melakukan duduk diam dan melaksanakan shalat jumat. Orang model inilah yang digolongkan Rasulullah mendapatkan pahala jumatan sempurna.
Kedudukan khutbah sangat penting dalam shalat Jumat. Bahkan, jika ditinggalkan akan membatalkan syarat sah shalat Jumat. Rasulullah saw bersabda, “Jika khutbah Jumat sudah dimulai, maka Malaikat akan duduk mendengarkan Khutbah.”
Khutbah menjadi sarana bagi kaum mukmin agar menjadi umat yang terdidik wahyu. Sehingga dalam kondisi sesibuk apapun, seorang mukmin, minimal sepekan sekali, dia akan mendapatkan siraman rohani dari khutbah Jumat.
“Pada hari Jumat, di setiap pintu masjid ada malaikat yang mencatat orang yang akan shalat satu persatu. Jika imam telah duduk (di mimbar saat adzan), mereka melipat lembaran catatan (keutamaan amal) dan datang mendengarkan peringatan,” (HR. Bukhari).
by Danu Wijaya danuw | May 18, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Islam melarang umatnya bermalas-malasan. Islam justru mewajibkan umatnya untuk bekerja dan berkarya untuk kemashlahatan umat manusia.
Allah SWT berfirman: Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah [9]: 105).
Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah sekali-kali seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabiyullah Daud juga makan dari hasil kerja tangannya sendiri,” (HR. Bukhari)
Karena pentingnya bekerja dalam Islam, maka ada etika atau adab-adab tersendiri dalam bekerja, di antaranya:
1. Bekerja dengan niat ikhlas karena Allah
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya orang itu tergantung dari apa yang diniatkannya itu…” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Bekerja dengan sebaik-baiknya (Ihsanul Amal)
“Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh (hewan) maka bunuhlan dengan baik. Jika menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah seseorang diantara kamu menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya” (HR. Muslim).
3. Bekerja dengan profesional (Itqanul Amal)
“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan maka dilakukannya secara Itqan (profesional)” (HR. Thabrani).
4. Bekerja tanpa melanggar prinsip-prinsip syari’ah.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (QS. Muhammad:33).
5. Jujur dan amanah
“Pedagang yang jujur lagi terpercaya (amanah) akan bersama pada nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi).
6. Menghindari perkara syubhat.
“Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat, barang siapa memelihara diri dari para syubhat, maka ia telah menjaga kehormatan dirinya. Namun, barang siapa terjerumus kepada perkara syubhat, maka ia terjerumus pada perbuatan haram…” (HR. Bukhari)
7. Menjaga etika sebagai seorang Muslim dengan menjaga cara berbicara, berpakaian, bergaul dan lain-lain.
Jika kita bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mencari nafkah bagi diri sendiri, keluarga, atau orangtua maka niscaya kita termasuk orang-orang yang berjihad fi sabilillaah.
Sumber: Islam my way of life
by Danu Wijaya danuw | May 17, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Tinggal menghitung hari, bulan Ramadan akan segera tiba. Tentunya kita biasanya melakukan kumpul bersama untuk berdoa bersama dan saling meminta maaf. Namun bagai mana pandangan Islam tentang saling meminta maaf sebelum bulan Ramadan?
Jika seseorang merasa bersalah ke saudaranya, hendaknya segera meminta maaf kepadanya atau meminta kehalalan darinya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang pernah menzalimi saudaranya dari kehormatan atau sesuatu (miliknya) hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman itu pada hari ini, sebelum datang hari kiamat yang saat itu tidak ada manfaatnya lagi dinar dan dirham, jika ia mempunyai amal shalih maka akan diambil sekadar dengan kezalimannya, dan jika tidak memiliki kebaikan maka keburukan saudaranya akan diambil dan dibebankan kepadanya,” (HR. Al-Bukhari dan lainnya).
Jika tidak ada konflik, seorang Muslim diperintahkan menjaga hubungan baik dengan saling berbagi kebaikan seperti hadiah. Ini berlaku kapan saja, di antaranya di Sya’ban menjelang Ramadhan.
Adapun dikhususkan akhir Sya’ban dengan maaf-maafan, maka tidak ada petunjuk khusus ataupun dalil tentang itu. Sempat beredar pula hadist palsu bermaaf-maafan menjelang ramadhan.
Meminta maaf kepada orang lain tanpa tahu apa salahnya tidak dianjurkan. Kecuali benar-benar memiliki salah. Agak aneh, tidak ada hujan dan angin (maksudnya tanpa sebab) tiba-tiba minta maaf.
Kaum muslimin memang diperintahkan senantiasa beristighfar (meminta ampunan) untuk dirinya dan saudaranya.
Mereka juga diperintahkan untuk saling mendoakan kebaikan untuk saudaranya, terlebih saat berjauhan. Sehingga doa tersebut diaminkan malaikat.
Ini berlaku kapan saja dan di mana saja, terlebih di tempat dan waktu istimewa untuk terkabulnya doa.
Sumber : voa Islam
by Danu Wijaya danuw | May 16, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
“Sesungguhnya cemburu itu ada yang disayang Allah dan ada pula yang dimurkai-Nya. Yang disukai Allah adalah cemburu atas suatu kesangsian, sedangkan yang dimurkai-Nya adalah cemburu yang tidak beralasan,” (HR. Ibnu Majah).
DARI penjelasan di atas dapat diketahui bahwa cemburu dapat dikategorikan dalam dua hal. Pertama adalah cemburu yang datangnya dari setan, hal ini tentu akan menimbulkan efek negatif karena setan laknatullah selalu membuat manusia berada dalam kondisi ini.
Aisyah Ra. menuturkan, pada suatu malam Nabi Muhammad SAW keluar rumah. Dia merasa cemburu kalau-kalau Nabi SAW mendatangi istri-istrinya yang lain. Setelah pulang, Nabi Muhammad mendapati tingkah laku istrinya yang janggal. Beliau bertanya.
“Mengapa engkau hai Aisyah? Cemburu kah?.”
“Bagaimana wanita sepertiku tidak cemburu terhadap laki-laki seperti engkau?”Aisyah balik bertanya.
“Apakah setan telah datang menggodamu?”Tanya Rasulullah SAW lagi
“Ya Rasulullah, apakah aku disertai setan?” tanya Aisyah
“Ya.” jawab Rasulullah
Engkau juga (disertai setan).” balas Aisyah
“Ya, tapi aku dilindungi oleh Tuhanku, sehingga aku selamat,” Jawab Rasulullah SAW (HR. Muslim)
Namun ada pula cemburu yang akan memberikan efek yang baik. Perasaan inilah yang disukai Rabb kita. Rasulullah SAW mengatakan, bahwa tidak ada yang cemburu melebihi cemburunya Allah SWT.
Mughiroh bin Syu’bah RA. mengatakan, Sa’ad bin Ubadah berkata, ”Seandainya aku melihat laki-laki lain berduaan dengan istriku, sungguh ku penggal dia dengan pedang tanpa memaafkan.
Mendengar hal itu Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Alangkah anehnya cemburu Sa’ad itu. Demi Allah, aku lebih cemburu dari padanya. Dan Allah lebih cemburu pula dari pada aku. Karena cemburunya Allah, maka diharamkan segala perbuatan keji, baik terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi.
Tidak seorang pun lebih cemburu dibandingkan Allah. Tidak seorang pun lebih meresapkan dibandingkan Allah. Oleh sebab itulah Dia mengutus para Rasul untuk memberi kabar suka dan duka. Dan seorang pun yang lebih suka kepada pujian dari pada Allah, karena itulah dia menjadikan surga,” (HR.Muslim).
Dalam hadist riwayat lain dijelaskan bahwa Allah juga menyukai cemburu. Namun tentun saja, efek dari kecemburuan ini positif dan membawa kebaikan. Jabir ra. mendengar dari Anbaroh ra. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda
“Ada sebagian rasa cemburu yang disukai Allah, dan ada pula yang dibenci-Nya. Cemburu yang disukai Allah adalah cemburu dalam keraguan atau kecurigaan (cemburu beralasan). Sedangkan cemburu yang dimurkai Allah adalah rasa cemburu yang tidak dalam keraguan,” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Cemburu dalam keraguan adalah seorang yang cemburu kepada saudara-saudaranya, jika dia melihat mereka melakukan perbuatan yang haram atau keraguan yang ada manfaatnya, yaitu takut dan terhalang (melakukan perbuatan haram). Cemburu dalam hal ini dan yang sejenisnya akan dicintai oleh Nya.
by Danu Wijaya danuw | May 16, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
SUATU hari ketika Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan melalui sebuah buah rumah yang jendelanya masih terbuka, terdengar oleh beliau suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-desu.
Orang tersebut mengeluh. “Alangkah malangnya nasibku. Sejak pagi belum datang setetes air atau sesuap nasi ke perutku sehingga seluruh badanku menjadi lemah lunglai. Adakah orang yang mau memberi walaupun hanya setetes air.”
Mendengar keluhan tersebut, Abu Hanifah merasa iba terhadapnya. Lalu beliau melemparkan bingkisan yang berisi uang kepadanya. Abu Hanifah lalu meneruskan perjalanannya. Orang itu terkejut ketika mendapati sebuah bungkusan yang tidak diketahui dari mana datangnya, lantas segera dibukanya.
Ternyata bungkusan tersebut berisi uang dengan selembar kertas yang tertulis, “Wahai manusia, sesungguhnya kamu tidak wajar mengeluh seperti itu. Kamu tidak perlu mengeluh dengan nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan jangan berhenti memohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Janganlah berputus asa, tetapi berusahalah terus-menerus.”
Pada keesokan harinya Imam Abu Hanifah melewati lagi rumah itu dan suara keluhan itu terdengar kembali, “Ya Allah yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lagi seperti kemarin, sekadar menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika tidak diberi, akan lebih sengsaralah hidupku…”
Mendengar keluhan itu kagi, lalu Abu Hanifah pun melemparkan lagi bungkusan berisi uang dengan selembar kertas dari luar jendela, lalu beliau meneruskan perjalanannya. Orang itu sangat senang mendapat bungkusan lagi.
Seperti kemarin, dibacanya tulisan tersebut yang terdapat pada kertas tersebut, “Hai kawan, bukan begitu cara memohon, bukan demikian cara berikhtiar. Perbuatan demikian ‘malas’ namanya. Putus asa pada kebenaran dan kekuasan Allah.
“Sungguh Allah tidak senang melihat pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Hendaklah engkau senang bekerja dan berusaha, karena kesenangan itu tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dicari dan diusahakan. Allah tidak akan mengabulkan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang putus asa. Insya Allah kamu akan mendapat rezeki, selama kamu tidak berputus asa. Maka, carilah segera pekerjaan, saya berdoa semoga engkau sukses.”
Setelah membaca surat tersebut, ia termenung, insyaf dan sadar akan kemalasannya. Pada keesokan harinya, dia pun keluar untuk mencari rezeki. Sejak hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti aturan-aturan hidup dan tidak melupakan nasihat Abu Hanifah tersebut.
Sumber: Setiawan, Hendra. 2014. Agar Selalu Ditolong Allah: Bandung. Jabal
by Danu Wijaya danuw | May 14, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Khitbah atau meminang bukanlah syarat sahnya sebuah pernikahan. Seandainya sebuah pernikahan dilaksanakan tanpa khitbah sekalipun, pernikahan tersebut tetap sah. Pada umumnya, khitbah merupakan jalan menuju pernikahan. Menurut jumhur ulama, khitbah itu diperbolehkan, sesuai dengan firman Allah swt, “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu…” (Al-Baqarah [2] : 235)
Khitbah berbeda artian dengan melamar yang diharamkan Islam. Sebab melamar hanya dinyatakan kepada si calon bukan ke keluarganya. Selain itu, biasanya setelah melamar seolah boleh berpegangan tangan, berduaan, berciuman dan bahkan berhubungan badan. Padahal itu dibolehkan setelah sah ijab qabul pernikahan.
Pendapat yang dipercaya tentang khitbah hukumnya sunnah oleh para pengikut mazhab Syafi‘i. Sebagaimana dengan perbuatan Rasulullah saw, di mana beliau meminang Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar.
Hal ini boleh dilakukan jika pada diri wanita tersebut tidak ada penghalang yang membuatnya tidak boleh dinikahi. Jika ada penghalang, maka khitbah tidak boleh dilakukan.
Dalam kitab Hasyiyah ‘alal Muhalla, Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi berkata, “Sesungguhnya khitbah itu memiliki hukum yang sama dengan hukum pernikahan, yaitu; wajib, sunnah, makruh, haram, ataupun mubah.
Sunnah jika pria yang akan
meminang termasuk orang yang disunnahkan untuk menikah. Contohnya, orang yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, dan ia tidak merasa khawatir dirinya akan terjerumus dalam perzinaan.
Makruh, jika pria yang akan meminang termasuk orang yang dimakruhkan baginya untuk menikah. Sebab, hukum sarana itu mengikuti hukum tujuan.
Khitbah yang hukumnya diharamkan menurut ijma‘ adalah mengkhitbah wanita yang sudah menikah, mengkhitbah wanita yang ditalak dengan talak raj‘i sebelum selesai masa iddahnya, sebab statusnya masih sebagai wanita yang telah menikah.
Sedangkan, khitbah juga diharamkan bagi orang yang memiliki empat istri, termasuk khitbah terhadap wanita yang antara dirinya dan istri si peminang diharamkan untuk disatukan sebagai istri, dan mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah oleh orang lain
Khitbah hukumnya wajib bagi orang yang merasa khawatir akan terjerumus dalam perzinaan jika tidak segera meminang dan menikah.
Sedangkan, khitbah hukumnya mubah dan halal jika wanita tersebut dalam kondisi kosong dari pernikahan, serta tidak ada suatu halangan hukum yang menghalangi untuk dilamar.
Sumber : Hidayatullah.com