0878 8077 4762 [email protected]

Puasa Syawal atau Bayar Qadha’ Dulu?

BANYAK orang yang bertanya, usai Ramadhan tentang puasa Syawal, bolehkah melaksanakan puasa Syawal yang hukumnya sunnah terlebih dahulu, lalu membayar yang wajib atau melaksanakan hutang puasa lalu diikuti dengan puasa Syawal?
Sesungguhnya jawaban atas semua pertanyaan semua itu pada hakikatnya adalah benar semua. Boleh melakukan puasa sunnah bulan Syawal dahulu, baru kemudian melakukan puasa qadha’ pengganti dari puasa yang tinggalkan karena uzur di bulan Ramadhan kemarin. Dan juga boleh berpuasa qadha’ terlebih dahulu, baru kemudian melakukan puasa sunnah di bulan Syawal. Tentu saja asalkan bulan Syawal masih ada.
Para ulama membolehkan semuanya, sesuai dengan logika dan ijtihad mereka masing-masing. Dan tentu satu sama lain tidak saling mengejek atau saling menyalahkan. Meski tetap berhak atas pilihannya masing-masing, selama mereka merasa pendapat mereka yang paling kuat.
Pendapat : Puasa Syawal Dahulu
Mereka yang memandang lebih baik puasa sunnah Syawwal terlebih dahulu baru kemudian puasa qadha’, tidak bisa disalahkan. Sebab logika mereka memang masuk akal. Puasa sunnah bulan Syawal itu waktu terbatas, yaitu hanya selama sebulan saja. Sedangkan waktu yang disediakan untuk mengqadha’ puasa Ramadhan terbentang luas sampai datangnya Ramadhan tahun depan.
Dengan adanya bentang waktu yang berbeda ini, tidak ada salahnya mendahulukan yang sunnah dari yang wajib, karena pertimbangan waktu dan kesempatannya.
Pendapat : Puasa Qadha Dahulu
Sebaliknya, mereka yang mendahulukan puasa Qadha’ terlebih dahulu kemudian baru puasa Sunnah bulan Syawwal, punya logika yang berbeda. Bagi mereka, lebih afdhal bila mengerjakan terlebih dahulu puasa yang hukumnya wajib, setelah ‘hutang’ itu terpenuhi, barulah wajar bila mengejar yang hukumnya sunnah.
Rasanya, logika seperti ini juga masuk akal. Hanya sedikit masalahnya adalah bila jumlah puasa Qadha’ yang harus dibayarkan cukup banyak, maka waktu untuk puasa sunnah Syawal menjadi lebih sedikit, atau malah sama sekali tidak cukup. Misalnya pada kasus wanita yang nifas di bulan Ramadhan, boleh jadi sebulan penuh Ramadhan memang tidak puasa. Maka kesempatan puasa sunnah Syawal menjadi hilang dengan sendirinya.
Mana pun pendapat yang dipilih, semuanya punya dalil dan argumen yang bisa diterima. Dan tentu kita tidak perlu menjelekkan sesama saudara muslim, hanya lantaran kita berbeda sudut pandang yang bersifat ijtihadi.
Kedua bentuk puasa di atas, tidak satu pun yang melanggar batas halal haram atau wilayah aqidah. Bahkan ketiganya hanyalah hasil nalar dan ijtihad manusiawi belaka atas dalil-dalil yang shahih dan sharih. Meski bentuknya saling berbeda, tapi insya Allah tidak sampai membuat kemungkaran.
Yang mungkar adalah yang tidak membayar puasa Qadha’-nya hingga masuk Ramadhan tahun depan. Ada pun puasa 6 hari di bulan Syawal, hukumnya sunnah. Boleh ditinggalkan, namun apabila dikerjakan mendapat pahala. Wallahu a’lam bishshawab.
 
Sumber: Rumah Fiqih Indonesia

Kecanggihan Rumus Puasa Syawal Setara Setahun Berpuasa

 
Puasa Syawal merupakan salah satu puasa sunah yang masyhur. Tak heran jika sering muncul banyak pertanyaan seputar puasa syawal.
Dar Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan.
Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan).
Dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari= 2 bulan).
Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh.
Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Ibnu Majah no. 1715, dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dan dalam Al Qur’an dijelaskan, “Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal.” (QS. Al An’am ayat 160)
Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal. Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.
 
 
Sumber : Ustad Muhammad Abduh Tuasikal, ST, MSc

Agar Mudik Bernilai Ibadah

Selain sebagai fitrah manusia, mudik adalah pada hakekatnya adalah Perjalanan Ibadah. Di negara Islam, tradisi unik “mudik” ini hanya ada di Indonesia. Di Cina taktala Hari Raya Imlek, dimana rakyat Cina di perkotaan pulang mudik ke daerah asal mereka.
Di negara maju seperti Amerika Serikat-pun, budaya mudik ke Kampung halaman atau ke orangtua dan berkumpul dengan sanak saudara itu juga ada, yaitu pada “Hari Pengucapan Syukur (Thanksgiving Day)”.
Ibarat pedang bermata 2, mudik bisa menjadi Ibadah bisa pula tidak berarti Ibadah sama-sekali, sekedar jalan-jalan saja malah bisa jadi pamer (riya’). Semuanya akan bergantung kepada niat kita dan sikap kita selama mudik ke kampung halaman.
Meskipun tidak dicontohkan persis oleh Rasulullah SAW, mudik-pun bisa menjadi ibadah, dengan terus melaksanakan ibadah wajib dan perintah-perintah Agama. Nah bagaimana agar mudik kita bisa menjadi Ibadah?
1. Menaiki kendaraan dan mengucapkan do’a safar (bepergian).
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraannya, beliau mengucapkan takbir sebanyak tiga kali: “اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ,” kemudian berdo’a:
“سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ،
“Mahasuci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu.” (H.R. Muslim)
Salah satu tata cara bepergian yang diajarkan Islam (dari sekian banyak adabnya), yaitu seseorang mengawali perjalanannya dengan membaca doa safar yang mengandung makna yang sangat penting dan amat dalam.
Seorang Muslim selalu ingat kepada Allah Azza wa Jalla dimanapun ia berada. Selain memohon keselamatan dan kesehatan selama perjalanan. Berdoa ketika momen perjalanan memiliki nilai khusus yang tidak boleh dianggap remeh; karena termasuk salah satu waktu doa dikabulkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

“Tiga doa yang dikabulkan, tidak ada keraguan padanya, yaitu : doa orang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua kepada anaknya.” [HR. at-Tirmidzi]
2. Jika mudik tersebut ada “Birrul Walidain” atau berbakti kepada kedua orangtua kita (jika mereka masih hidup).
Ayah dan ibu adalah dua orang yang sangat berjasa kepada kita. Lewat keduanyalah kita terlahir di dunia ini. Keduanya menjadi sebab seorang anak bisa mencapai Surga. Do’a mereka ampuh. Al Qur’an memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orangtua kita.
Allah swt berfirman : “Dan Kami wajibkan manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tua..” (Al Ankabut : 8)
Rasulullah saw memerintahkan kepada kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Rasulullah saw bersabda : “Ridha Allah terletak pada ridla orang tua. Dan kemarahan Allah terletak pada kemarahan orang tua.”( HR. Tirmidzi 1899) •
3. Jika Mudik Menyambung Tali Silaturahim
Di dalam tradisi mudik, pada umumnya juga ada silaturahmi yaitu saling berkunjung ke kerabat usai shalat idul fitri.
Kita bisa saling mengunjungi sanak saudara bahkan tetangga atau teman sejawat, atasan dan bawahan. Terkadang kita secara sengaja mudik, bepergian jauh, beratus kilometer bahkan mungkin beribu kilometer, hanya sekedar untuk menjumpai orang tua atau sanak famili.
Sekedar untuk menjumpainya dan bersilaturahmi, menyegarkan ikatan kekerabatan, menyambung dan mempererat tali persaudaraan.
Tentang menyambung tali silaturahmi, dalam hadist diriwayatkan Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan.” (Shahih Muslim No.4636)
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang merasa senang bila dimudahkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung hubungan kekeluargaan (silaturahmi)”. (Shahih Muslim No.4638)
Ada janji Rasulullah yang patut untuk direnungkan agar mudik kita bernilai ibadah, maka mudik kita harus kita niatkan dalam rangka menyambung tali silaturahmi antar sanak saudara dan keluarga.
4. Jika Mudik kita Ada Saling Bermaaf-maafan
’Umumnya dalam mudik Idul Fitri juga ada tradisi bermaaf-maafan yang dilakukan usai shalat ‘Idul Fitri, dimana tua muda laki-laki dan perempuan saling bermaaf-maafan, sembari berkunjung untuk meminta maaf sebagai sesama Insan yang tidak luput dari salah dan silap yang pernah dilakukan.
Pada hari yang mulia tersebut jangan ragu-ragu untuk mengakui kekhilafan dan kesalahan yang mungkin pernah kita lakukan kepada sesama saudara kita muslim atau bukan.
Mungkin ada perasaan hasad dengki, khianat, ataupun berbagai kejahatan dan penganiaayaan yang pernah kita lakukan, maka mohonkanlah maaf.
Insya-Allah dihari baik dan bulan baik ini orang akan mudah memaafkannya.
Rasulullah saw bersabda, “Maukah kamu aku beri tahu tentang derajat yang lebih utama, dari derajat sholat, puasa dan sedekah?”
Para sahabat menjawab: “Bahkan mau” Rasulullah bersabda: “Mendamaikan antara dua orang yang berselisih, karena perselisihan antara dua manusia itulah yang membawa kehancuran.” (H.R.Abu Daud dan Tirmizi)
5. Jika Mudik Saling Berbagi Rezeki (sedekah)
Dalam mudik, biasanya orang kota menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk ia sedekahkan di kampung halamannya.
Jadi dalam tradisi mudik kita saling berbagi rezeki kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Bahkan menurut laporan pemerintah dana sebesar 20 Triliun mengalir dari kota ke desa-desa.
Dari Abu Umamah r.a., Nabi saw. bersabda, “Wahai anak Adam, seandainya engkau berikan kelebihan dari hartamu, yang demikian itu lebih baik bagimu. Dan seandainya engkau kikir, yang demikian itu buruk bagimu. Menyimpan sekadar untuk keperluan tidaklah dicela, dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggung jawabmu.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat lainnya Rasulullah saw. bersabda, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Allah swt. akan menambah kemuliaan kepada hamba-Nya yang pemaaf. Dan bagi hamba yang tawadhu’ karena Allah swt., Allah swt. akan mengangkat (derajatnya). (HR. Muslim)
Dalam hadist Qudsi Allah Tabaraka wata’ala berfirman: “Hai anak Adam, infaklah (nafkahkanlah hartamu), niscaya Aku memberikan nafkah kepadamu.” (HR. Muslim)
 
Oleh : Imam Puji Hartono
Edited : Aliman

Mengapa Rasulullah Mencintai Bani Tamim di Wilayah Qatar? Benteng Melawan Dajjal di Timur Tengah

Qatar adalah negara pulau mungil di Timur Tengah, sekarang tengah diblokade oleh Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan rezim-rezim Arab sekutu Amerika dan Zionis Israel.
Negara-negara Arab yang terlihat mendiamkan Zionis itu marah terhadap Qatar, karena membuka negaranya untuk menjadi suaka ulama-ulama dan pejuang-pejuang Islam terutama yang anti Zionis.
Qatar memang saat ini menampung banyak ulama-ulama yang lurus yang diburu rezim-rezim Arab. Termasuk diantara ulama ini adalah Dr Yusuf Qaradhawi, yang menjadi Ketua Persatuan Ulama Sedunia.
Qatar juga mengizinkan pejuang-pejuang Hamas dari Palestina untuk tinggal di negaranya dan bahkan konsisten membantu secara finansial pemerintah Hamas di Jalur Gaza.
Tidak cuma itu, Qatar juga menampung banyak aktivis Ikhwanul Muslimin yang sekarang diburu oleh rezim As Sisi yang bengis dan kejam.
Ketika Presiden Mohammad Mursi dari IM berkuasa, Qatar adalah negara pertama dan paling banyak membantu pemerintah Mursi dengan bantuan keuangan.
Tidak banyak yang tahu, Dinasti Emir Tamim bin Hamad Al Thani yang berkuasa di Qatar sekarang berasal dari Bani Tamim.
Emir Qatar adalah anggota dinasti Al-Thani. Qatar didirikan pada tahun 1868 oleh Muhammad bin Thani. Keluarga Al-Thani merupakan keturunan Tamim.
Bani Tamim bukan saja salah satu kabilah atau klan Arab terbesar, tetapi juga klan sahabat Rasullullah, Abu Bakar As Siddiq.
Bani Tamim juga salah satu klan yang dicintai Rasulullah SAW dan kabilah yang akan mendukung Imam Mahdi melawan Dajjal.
Berikut hadits-haditsnya:
Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW telah mengambil tangan Ali RA dan bersabda: “Akan keluar dari sulbi pemuda ini (Ali) yang memenuhi dunia dengan keadilan (Imam Mahdi). Bilamana kamu melihat yang demikian itu, maka wajib kamu mencari Putera dari Bani Tamim, dia datang dari sebelah Timur dan dia adalah pemegang panji-panji Al Mahdi” (HR. Tabrani)
Dari Abu Hurairah RA dia berkata; “Saya akan senantiasa mencintai Bani Tamim, karena tiga hal yang pernah saya mendengar dari Rasulullah SAW tentang mereka:
Pertama, saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Mereka (Bani Tamim) adalah umatku yang paling gigih melawan Dajjal.’
Kedua, ada seorang tawanan perempuan dari Bani Tamim di rumah Aisyah. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Hai Aisyah, bebaskanlah ia! Karena ia adalah keturunan Ismail.’
Ketiga, Rasulullah SAW pernah bersabda ketika ada zakat dari Bani Tamim: ‘Ini adalah zakat kaum kami.’ (HR. Bukhari)
Ikrimah RA berkata; seorang lelaki sahabat Nabi SAW menceritakan kepadaku, bahwa pernah Bani Tamim disebut-sebut di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba seorang laki-laki berkata; “Suku dari Bani Tamim ini berlambat-lambat dalam perkara ini (zakat).”
Rasulullah SAW kemudian memandang ke arah lelaki suku Muzainah itu seraya berkata: “Mereka (Bani Tamim) tidak lebih lambat dari kalian.”
Suatu hari seorang laki-laki juga pernah berkata, “Mereka dari suku Bani Tamim itu lamban dalam memberikan sedekahnya.”
Ikrimah melanjutkan, “Maka datanglah unta dan kain indah milik suku Bani Tamim”.
Rasulullah SAW lantas bersabda: ‘Ini adalah unta kaumku.’
Kemudian suatu hari ada seorang laki-laki dari suku Bani Tamim berada di sisi Rasulullah SAW, beliau lalu bersabda: “Janganlah kalian katakan sesuatu kepada Bani Tamim kecuali yang baik, sebab mereka adalah orang-orang yang lemparannya paling jauh kepada Dajjal.” (HR. Ahmad)
Adakah blokade kepada Dinasti Bani Tamim di Qatar menjadi salah satu tanda-tanda mendekatnya Yaumus Sa’ah (hari Kiamat)?
Wallahu ‘alam
 
Sumber : ngelmu.id

Imam Syafi'i : Dunia, Seperti Daun Licin Dan Kampung Kumuh

 
Saudaraku, janganlah kalian menetap di suatu negeri yang di dalamnya tak ada seorang ulama yang memberikan fatwa tentang agamamu, dan seorang dokter yang memberitahu penyakitmu.
Saudaraku,
Jika kau khawatir terjebak dalam ‘ujub
Maka lihatlah siapa yang engkau hadapi saat bersujud,
Pahalakah yang kaumaksud?
Azabkah yang kautakut?
Nikmat kesehatan mana yang kausyukuri?
Musibah apa yang kaukufuri?
Jika kau memikirkan salah satu dari hal-hal tersebut akan terlihat kerdil amalanmu.
Saudaraku,
Perdalamlah ilmu agama sebelum kau menjadi pemimpin, karena saat kau menjadi pemimpin maka tak ada lagi waktu untuk mendalami ilmu.
Saudaraku,
Cukuplah ilmu menjadi sebuah keutamaan saat orang yang tak memiliki mengaku-ngaku memilikinya dan merasa senang jika dipanggil dengan gelar ilmuwan.
Cukuplah kebodohan menjadi aib saat orang yang bodoh merasa terbebas darinya dan marah jika digelari dengannya.
Barangsiapa mempelajari Al Qur’an, akan naik harga dirinya.
Barangsiapa mendalami fikih, akan berkembang kemampuannya.
Barangsiapa menulis hadits, akan kuat argumentasinya.
Barangsiapa berkecimpung dalam ilmu Bahasa, akan lembut perasaannya.
Barangsiapa berkecimpung dalam ilmu Matematika, akan luas akalnya.
Barangsiapa tidak menjaga hawa nafsunya, takkan bermanfaat ilmunya.
Saudaraku,
Barangsiapa mengejar kekuasaan, ia akan lari darinya. Jika terjadi sesuatu ia akan lupa terhadap ilmu.
Saudaraku,
Dunia adalah batu yang licin dan kampung yang kumuh. Bangunannya kelak roboh, penduduknya adalah calon penghuni kubur, apa yang dikumpulkan akan ditinggalkan, apa yang dibanggakan akan disesalkan, mengejarnya sulit, tetapi meninggalkannya mudah.
 
Sumber: Diambil dari kitab Mawa’idh Imam Syafi’i

Mengkaji Doa Buka Puasa yang Dhaif, Hasan dan Shahih

Masyhur tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada doa berbuka puasa. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu shahih derajatnya.
Terkabulnya doa dan ditetapkannya pahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari setiap doa yang kita panjatkan tentunya adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita mengkaji secara ringkas, doa berbuka puasa yang terkenal di tengah masyarakat, kemudian membandingkannya dengan yang shahih. Setelah mengetahui ilmunya nanti, mudah-mudahan kita akan mengamalkannya. Amin.
Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat
Lafazh pertama:
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”
Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai Dhaif (lemah) oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.
Perawi hadist bernama Mua’dz ini tidak dianggap sebagai perawi yang tsiqah. Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.
Lafazh kedua:
اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”
Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.
Berbuka Puasa dengan Doa-doa berikut Ini
1. Do’a pertama:
Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki
(Hadits shahih , Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678)
Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”
Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa) pada waktunya (waktu berbuka).
Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka.
Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”.
(HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)
2. Do’a kedua:
Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma adalah,

اَللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ

“Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”
[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku]
(HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342)
 
Disadur : Konsultasi Syariah