0878 8077 4762 [email protected]

Ini Penyebab Sujud yang Tidak Sempurna

IBNU Abbas Radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, ” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk melakukan sujud dengan bertumpu pada 7 anggota badan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, juga dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku diperintahkan untuk bersujud dengan bertumpu pada tujuh anggota badan: dahi –dan beliau berisyarat dengan menyentuhkan tangan ke hidung beliau–, dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua kaki…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadis, tujuh anggota sujud dapat kita rinci:
• Dahi dan mencakup hidung.
• Dua telapak tangan.
• Dua lutut.
• Dua ujung-ujung kaki.
Menempelkan Hidung dan Dahi
Praktek beliau ketika sujud, hidung dipastikan menempel di lantai. Sahabat Abu Humaid Radhiyallahu ‘anhu menceritakan cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menempelkan dahi dan hidungnya ke lantai… (HR. Abu Daud dan dishahihkan al-Albani).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan agar dahi dan hidung benar-benar menempel di lantai. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah tidak menerima shalat bagi orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah, sebagaimana dia menempelkan dahinya ke tanah.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2710, Abdurrazaq dalam Mushannaf 2898, ad-Daruquthni dalam Sunannya 1335 dan dishahihkan Al-Albani).
Hadis ini menunjukkan, menempelkan hidung ketika sujud hukumnya wajib. Dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan Ibnu Habib (ulama Malikiyah). (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/208).
Bagaimana Jika Ada salah Satu Anggota Sujud tidak Menyentuh Lantai?
Praktek semacam ini sangat sering kita jumpai di masjid. Yang sering menjadi korban adalah kaki. Bagian kaki tidak menempel tanah. Terutama ketika sujud kedua. Sehingga orang ini tidak sujud dengan bertumpu pada 7 anggota sujud.
Sebagian ulama menilai, sujud semacam ini batal, sehingga shalatnya tidak sah.
Imam An-Nawawi mengatakan: Untuk anggota sujud dua tangan, dua lutut, dan dua ujung kaki, apakah wajib sujud dengan menempelkan kedua anggota badan yang berpasangan itu?
Ada dua pendapat Imam Syafi’i.

  1. Pendapat pertama, tidak wajib. Namun sunah muakkad (yang ditekankan).
  2. Pendapat kedua, hukumya wajib. Dan ini pendapat yang benar, dan yang dinilai kuat oleh as-Syafi’i Rahimahullah. Karena itu, jika ada salah satu anggota sujud yang tidak ditempelkan, shalatnya tidak sah. (al-Majmu’, 4/208).

Keterangan yang sama juga disampaikan Dr. Sholeh al-Fauzan. Dalam salah satu fatwanya, beliau mengatakan: Orang yang sujud, namun salah satu anggota sujudnya tidak menempel tanah, maka di sana ada rincian:
Jika dia tidak menempelkan sebagian anggota sujud, karena udzur yang menghalanginya untuk melakukan hal itu, seperti orang yang tidak bisa sujud dengan meletakkan salah satu anggota sujudnya,
Maka tidak ada masalah baginya untuk melakukan sujud dengan bertumpu pada anggota sujud yang bisa dia letakkan di tanah. Sementara anggota sujud yang tidak mampu dia letakkan, menjadi udzur baginya.
Namun jika dia tidak meletakkan sebagian anggota sujud tanpa ada udzur yang diizinkan syariat, maka shalatnya tidak sah. Karena dia mengurangi salah satu rukun shalat, yaitu sujud di atas tujuh anggota sujud.

Mencetak Generasi Penakluk Yerusalem

Tidak terlepas dari Sejarah bahwa Yerusalem Palestina dahulu pernah di taklukkan oleh sosok Jendral terhebat yaitu Shalahuddin Al-Ayyubi.
Syaikh An-Nadawi rahimahullah menyampaikan sebuah ceramah pada organisasi konferensi Islam (OKI) mengatakan, “Solusi satu-satunya untuk permasalahan Palestina, ialah memunculkan Shalahuddin di atas panggung permasalahan Palestina, yaitu ‘Datangkanlah Shalahuddin untuk yang kedua kalinya dihadapan kita. Kobarkan kembali Hitthin atau seumpama Hitthin’”.
Apakah rahasia kemenangan Shalahuddin Al-Ayyubi, kemenangan yang cemerlang, sehingga mengguncang dunia dan mengubah perjalanan sejarah?
Mari kita telusuri sejarah kehidupan jendral sang penakluk muslim yang tak terlupakan yaitu Shalahuddin Al Ayyubi.
Lahirnya Sang Penakluk
Yusuf bin ayyub bin syahdzi bin Marwan, mendapatkan julukan Sultan An-Nashir, Shalahuddin Al Ayyubi, lahir 532 H (1137 M) di Benteng Tikrit Irak, sebuah kota tua yang jaraknya lebih dekat ke Baghdad daripada ke Mosul.
Keajaiban takdir bahwa kelahiran Shalahuddin Al Ayyubi bertepatan dengan keluarnya perintah dari Mujahiddun Bahruz dengan dipaksanya sang ayah keluar dari Tikrit. Sehingga ayahnya sangat pesimis akan kelahiran Shalahuddin Al Ayyubi, salah seorang penasehat mengatakan kepada Najmuddin Ayyub bin Syadzi, “Anda tidak akan tahu bahwa anak ini akan menjadi penguasa besar yang popular!”
Tersebutlah Salahudin Al-Ayubi, pemuda yang tampan, cerdas dan mempunyai semangat tinggi. Ketangkasan beliau tidak terlepas dari kekaguman beliau kepada seorang panglima besar, yaitu Nuruddin Zanki. Shalahuddin meneruskan perjuangannya dalam membebaskan Al Quds pada saat perang salib.
Ciri-ciri Penakluk
Diantara ciri penakluk dari masa ke masa bisa dilihat dari cara berpikirnya. Pertama mengilhami hadits Rasulullah, ahli ibadah, memiliki keturunan atau nasabnya baik, bahkan trrsambung dengan Rasulullah Saw.
Shalahuddin Al Ayyubi tumbuh besar dengan penuh keberkahan, mendapatkan kemuliaan belajar menunggang kuda dan berlatih menggunakan senjata. Shalahuddin Al ayyubi tumbuh menjadi pemuda yang mencintai jihad, beliau sangat gemar menghafalkan Al quran, hadits-hadits Nabi dan belajar bahasa Arab.
Mesir sebelum kedatangan Shalahuddin Al Ayyubi menjadi markas pemerintahan Fathimiyah. Negeri ini pada masa itu diusik dengan banyak revolusi dalam negeri antara berbagai kelompok yang berbeda-beda. Di antaranya adalah orang-orang Mamalik Turki, orang-orang Sudan, dan orang-orang Maroko.
Kondisi negeri ini tidak stabil karena sering bergantinya banyak khalifah Fathimiyah dalam kurun waktu yang pendek. Sehingga orang-orang Salibis berambisi untuk dapat menguasai Mesir.
Ketika panglima Nuruddin mahmud melihat banyak pertentangan ini, dan ambisi penguasa Baitul Maqdis yang merupakan orang salibis untuk dapat menguasai mesir, maka dari Damaskus dia mengirim tentara ke Mesir dipimpin oleh panglima Asaduddin Syirkuh yang dibantu oleh keponakannya Shalahuddin.
Ketika orang-orang salibis mengetahui kedatangan Asaduddin dapat masuk dan menguasai Mesir, setelah itu kemudian Shalahuddin al Ayyubi menggantikannya sebagai Menteri di Mesir.
Terjadi banyak konflik dan konspirasi dari orang-orang yang punya kepentingan dan ambisi. Namun Shalahuddin Al Ayyubi dapat menguasainya sebagaimana beliau mampu meredam fitnah-fitnah dari luar.
Shalahuddin melihat munculnya aliran kebatinan di Mesir, oleh karena itu dia mendirikan dua sekolah besar, yaitu Sekolah Nashiriyah dan Sekolah Kamiliyah. Ini bertujuan agar orang-orang berpindah kealiran atau madzhab Ahlu Sunnah, sebagai awal dari perubahan yang diinginkan sampai dia membuat kondidi di Mesir benar-benar stabil.
Setelah kematian khalifah Fathimiyah yang menentangnya pada tahun 566 H/1171 M dia mendorong para ulama untuk memanggil Al-Mutadhi’ Al-Abbasi sebagai khalifah, mendoakannya dalam setiap khutbah namanya dari atas mimbar. Dengan cara ini berakhirlah pemerintahan Fathimiyah di Mesir.
Shalahuddin memerintah Mesir sebagai wakil Nuruddin, yang pada akhirnya mengakui khilafah Abbasiyah. Akhirnya Mesir kembali lagi ke pengakuan khilafah Islamiyah. Dan Shalahuddin menjadi tuannya.
Shalahuddin menuju ke negeri Syam setelah Nuruddin Mahmud meninggal. Lalu ke kota Damaskus. Dia mampu memadamkan berbagai pemberontakan yang terjadi di Syam.
Setelah mengembalikan stabilitas pemerintahannya, kemudian dia menggabungkan kota Damaskus, menguasai Homs dan Halb. Shalahuddin Al Ayyubi berkuasa dari negeri Nobi Selatan dan Burqah Barat sampai negeri Armenia utara dan negeri Jazirah hingga Mosul Timur.
Menaklukan Al Quds
Pada tahun 583 H/1187 M sebagian besar kota dan benteng kerajaan Baitul Maqdis jatuh di tangan Shalahuddin Al Ayyubi. Setelah itu tentara Shalahuddin mengalahkan kekuatan Salib dalam perang Hittin pada 24 Rabi’ul Akhir tahun 583 H atau bertepatan dengan 4 Juli 1187 M.
Setelah peperangan dengan cepat pasukan Shalahuddin dan saudaranya Malik Adil menguasai kota-kota pesisir yang terletak di sebelah selatan Tharablus (Tripoli), Aka, Beirut, Shida, Yafa, Qaisariyah, Asqalan (Askelon). Shalahuddin memutuskan komunikasi kerajaan Quds dengan Eropa.
Dan pada paruh kedua bulan September 1187 M pasukan Shalahuddin mengepung Al Quds. Kemampuan penjaganya yang sedikit tidak mampu melawan desakan 60.000 orang kaum muslimin.
Setelah enam hari pengepungan akhirnya mereka menyerah. Pada tanggal 27 Rajab tahun 583 atau bertepatan dengan tanggal 12 Oktober 1187 M pintu-pintu Al Quds di buka dan bendera Sultan Shalahuddin Al Ayyubi yang berwarna kuning dikibarkan di atas Al Quds.
Shalahuddin Al Ayyubi memperlakukan Al Quds dan penduduknya dengan baik dan ramah daripada perlakuan tentara salib terhadap penduduknya, ketika mereka merampas kota itu dari pemerintahan Mesir kurang lebih 100 tahun yang lalu.
Disana terjadi peristiwa pembunuhan, perampasan, perusakan, dan penghancuran gereja-gereja. Jatuhnya kerajaan Al Quds membuat Roma mempersiapkan pasukan Salib yang ketiga untuk mengembalikan Al Quds. Namun mereka gagal.
Sebab-sebab Kemenangan Pasukan Shalahuddin dalam Perang Hittin
1. Persiapan Matang dan mengambil hikmah kausalitas
Shalahuddin mempersiapkan para pemanah pilihan, mereka di bekali panah cukup banyak, 70 ekor unta disediakan untuk membawa anak panah di tengah pertempuran dan medan peperangan, 400 ekor unta untuk membawa anak panah dan sisanya yang belum dipergunakan. Unta-unta pembawa panah ini dipersiapkan agar pemanahan terus melancarkan serangan hingga datang kemenangan dengan izin Allah.
Shalahuddin memilih tempat peperangan dan waktu pertempuran, dia menempatkan pasukan di Thabaria untuk membatasi antara musuh dan sumber air.
Begitu juga pengumuman Jihad pada bulan Juli yang merupakan bulan terpanas, air menjadi sedikit dalam sumur dan kolam, sehingga haus merupakan senjata yang sangat “Mematikan”.
2. Proses Bertahap dan Kesatuan Umat.
Kemenangan Islam terwujud atas karunia Allah dan kerja keras penyatuan umat di atas akidah yang benar, seruan kesatuan Islam, dengan tidak membedakan ras, warna kulit, dan madzhab. Tidak membedakan orang Turki, orang Kurdi, orang Arab, orang Persia, orang Afrika Utara, dan bangsa lain. Semua bersatu di bawah Panji Islam.
Upaya konfrontasi dengan kekuatan salibis sudah dimulai sejak era Sultan-sultan Saljuk. Lalu Imaduddin Zanki, di gelari Al-Wahdi At-Tahriri, meletakkan prinsip kesatuan Islam dalam rangka melawan kufar salibis. Proyeknya diteruskan dengan sangat baik oleh Nuruddin Mahmud, lalu di sempurnakan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi rahimahumullah jami’an.
Prinsip yang berlaku, bahwa orang-orang Mukmin itu bersaudara, penuh cinta, kasih sayang di antara mereka, seperti tubuh yang satu. Apabila satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh badan merasa terbangun dan demam. Terkait kemenangan di Hittin, andaikan Nuruddin Mahmud tidak berjuang menyatukan Mesir dan Syam, tentu kemenangan itu tak akan pernah terwujud.
3. Pertimbangan Matang dan Kebijaksanaan Politik Cerdas
Strategi Shalahuddin dalam kebijaksanaan politiknya adalah ketika menyepakati perjanjian damai dengan Izzuddin Mas’ud (penguasa Mosul) tahun 582 H (1186 M), dan kesepakatan genjatan senjata dengan Raymond III (penguasa Tripoli), selama 4 tahun, pada tahun 581 H (1185 M). Semua kesepakatan ini membuatnya bisa konsentrasi menghadapi musuh utama.
Shalahuddin menjauhi pertempuran sengit melawan kaum salib sepanjang tahun, tidak terburu-buru, bahkan membiarkan faktor-faktor perpecahan internal di tubuh salibis semakin matang dan membuahkan kerusakan dahsyat. Terkadang menyepakati perjanjian damai sementara dengan salibis.
Jika perjanjian itu dilanggar oleh musuh, akan memberi legalitas kepadanya untuk mengobarkan perang menyeluruh. Seperti perang Hittin, yang pada awalnya merupakan percikan api konflik antara Shalahuddin Al Ayyubi dengan Renault de Chatillon, dia adalah pemimpin salibis yang gemar melanggar janji.
4. “Jangan Berperang untuk Melindungiku, tapi Berperanglah di Jalan Allah”.
Perjuangan Shalahuddin dalam peperangannya melawan kaum salib berangkat dari prinsip berperang di jalan Allah.
Shalahuddin selalu ingin berperang di jalan Allah mengangkat panji Islam, dan mematahkan bendera syirik dan orang-orang musyrik kaum salib yang menyembah salib dan menyucikannya.
Dia pernah berkata kepada seorang tentaranya: ”jangan berperang karena melindungiku, tapi berperanglah di jalan Allah”.
Shalahuddin selalu mengingatkan panglima-panglimanya, amir-amirnya, tentang perlunya keikhlasan karena Allah dan mencari ridha-Nya
5. Hikmah Penerapan Syariat Islam dan Keberkahan Negara
Selama Hidupnya, Shalahuddin berkomitmen dengan Syariat Allah, sibuk dengan ketaatan dan memperbanyak ibadah, mengajari tentaranya dan rakyat untuk berhubungan baik dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Dia memandang agung Syariat dan para ulamanya. Dia menerapkan hukum-hukum Syariat atas rakyatnya, dan memimpin mereka atas keadilan dan persamaan. Dia membungkamorang-orang sesat dan rusak, menyuruh berbuat kebaikan dan melarang kemunkaran, berendah hati kepada sesama manusia.
Dia selalu menyuruh keluarga dan panglima-panglimanya untuk berhubungan baik dengan Allah dan Kitab-Nya, melalui membaca, menghafal, merenungkan, dan beramal.
Dia mewasiatkan kepada anak-anaknya agar bertakwa kepada Allah dan taat kepada-Nya.
6. Kesuksesan Operasi Intelijen Shalahuddin
Shalahuddin mampu menembus informasi Salibis. Beberapa waktu sebelum peperangan Hitthin, Shalahuddin mengadakan kontak rahasia dengan istri penguasa Anthokhia (Bohemood III) yang bernama Madam Siebel.
Dia memberikan informasi akurat tentang langkah-langkah militer kaum salib dan agenda-agenda perangnya. Itu dilakukan saat waktu fajar sebelum Perang Hitthin.
Ibnul Atsir mengatakan:”Ratu Antokhia berkirim surat kepada Shalahuddin, memberinya petunjuk dan memberitahu informasi-informasi yang susah ditembus oleh Shalahuddin”.
Sedangkan Abu Syamah mengatakan:”Istri pangeran Antokhia, yang di kenal sebagai Madam Siebel adalah loyalis Sultan. Ia menjadi mata Sultan untuk melihat musuh, menunjuki Sultan, menasehatinya, dan membongkar rahasia salibis. Sultan menghormatinya untuk itu dan memberikan kepadanya hadiah-hadiah paling berharga.
7. Kesalahan Musuh
Kaum salibis terbelah dua sebelum perang Hittin, sebagian ikut pendapat Raymond III (penguasa Tripoli) dan sebagian ikut pendapat Renault (penguasa Kurk).
Renault menuduh Raymond sebagai pengecut, berkolusi dengan Muslimin, mengagung-agungkan kekuatan Muslimin, berlemah lembut dengan Muslimin, karena istrinya dikepung oleh Shalahuddin di Benteng Thabaria.
Untuk itu, dia akan lari jika ada kesempatan untuk lari bersama orang-orangnya, seperti ia meninggalkan istrinya di tempat yang sulit. Analisa Raymond benar, tapi justru pendapat dia tak diikuti mayoritas salibis.
Spirit dan moralitas kaum salibis sudah runtuh akibat perang habis-habisan, mereka mendapati kaum muslimin sangat kuat bak besi, sehingga mereka tak kuasa menahan kekalahan dan kehancuran.
Di sisi lain, kefasikan salibis, kedurhakaan mereka, dan tersebarnya pelacuran. Sebagian mereka pergi berperang untuk menjarah, merampas dan menumpahkan darah dengan
Sewenang-wenang, mereka tidak punya budi pekerti. Kemenangan mereka atas orang-orang bertauhid sangatlah jauh.
 
 
Oleh : Maesaroh (Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Referensi:
Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi; Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis, , Penerbit Pustaka Al-Kautsar – Jakarta
Tamir Badar, Para Penakluk Muslim Yng Tak Terlupakan, Penerbit Pustaka Al-Kautsar-Jakarta, Maret 2013
 

Apa itu Hadits Muttafaq ‘Alaih?

 
Hadits didefinisikan adalah segala perkataan, perbuatan dan diamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikehidupan kesehariannya.
Hadits juga salah satu yang dijadikan sumber hukum Islam. Dalam sebuah hadits, tak jarang kita menemukan istilah muttafaq ‘alaih. Apa itu hadist muttafaq ‘alaih?
Istilah muttafaq ‘alaih ialah gabungan dari frasa :

  1. “muttafaq” (متفق) yang berarti disepakati, dan
  2. frasa “alaih” (عليه) yang artinya atasnya.

Sehingga jika kita gabungkan kedua frasa ini, muttafaq ‘alaihi artinya sesuatu yang disepakati.
Karena istilah ini digunakan dalam ilmu hadis, sehingga hadits muttafaq ‘alaih artinya : hadis yang telah disepakati ke Shahih an-nya.
Para ulama menyampaikan istilah muttafaq ‘alaih digunakan pada 3 kondisi,
1. Hadits Riwayat Bukhari & Muslim dalam kitab shahihnya
Namun hadits ini juga harus memenuhi beberapa syarat. Riwayat Bukhari – Muslim bisa disebut muttafaq ‘alaih jika memenuhi 3 syarat,

  1. Hadisnya sama, meskipun redaksinya berbeda
  2. Sahabat yang meriwayatkan sama
  3. Disebutkan dalam kitab shahihnya. Jika diriwayat Bukhari di kitabnya yang lain, seperti kitab Adabul Mufrad, kitab Tarikh atau yang lainnya, maka tidak berlaku istilah muttafaq ‘alaih.

Istilah inilah yang banyak digunakan oleh umumnya ulama hadis mutaakhirin.
2. Hadits Riwayat Bukhari, Muslim dalam kitab shahihnya dan imam Ahmad dalam al-Musnad
Ini merupakan istilah yang digunakan Majduddin Abul Barakat Abdus Salam dalam kitabnya Muntaqa al-Akhbar (al-Muntaqa fi al-Ahkam as-Syar’iyah min kalam Khoiril Bariyah).
Kitab ini diberi penjelasan as-Syaukani menjadi kitab tebal berjudul Nailul Authar.
Di mukaddimahnya dinyatakan, “Tanda untuk riwayat Bukhari & Muslim dipakai dengan istilah ‘Akhrajahu’,
Untuk riwayat selain dua orang ini (Bukhari & Muslim), yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah dipakai dengan istilah ‘Rawahul Khamsah’.
Dan jika diriwayatkan 7 perawi yaitu Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasai, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah dipakai dengan istilah ‘Rawahul Jamaah’.
Dan untuk riwayat Ahmad, Bukhari, dan Muslim dipakai dengan istilah muttafaq ‘alaih,” (Nailul Authar, 1/1).
3. Hadits shahih, meski tak diriwayatkan Bukhari, Muslim, maupun Imam Ahmad
Hadits yang sanadnya shahih, perawinya bebas dari cacat dan penilaian negatif dari para ulama, meskipun tidak diriwayatkan Bukhari, Muslim, maupun Imam Ahmad.
Dengan kata lain, hadits yang disepakati shahih menurut para ulama ahli hadits, meskipun tidak diriwayatkan Bukhari & Muslim.
Ulama yang menggunakan istilah muttafaq ‘alaih dengan makna seperti di atas adalah al-Hafidz Abu Nua’im dalam kitabnya Hilyah al-Auliya.
Syarafuddin Ali bin al-Mufadhal memberikan pejelasan penggunaan istilah muttafaq ‘alaih menurut Abu Nuaim,
“Yang dimaksud Abu Nuaim dengan istilah yang beliau sampaikan, ‘Muttafaq ‘alaih’ adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari & Muslim dalam kitab shahihnya.
Namun yang beliau maksud adalah hadist yang perawinya selamat dari celah kekurangan dan tidak ada celaan dengan illah (cacat), menurut yang saya tahu,” (al-Arba’un ‘ala at-Thabaqat, hlm. 457).
Pada penjelasan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa yang jelas hadits muttafaq ‘alaih ialah hadits yang shahih.
 
Sumber: konsultasisyariah

Jika Terjadi Gempa Bumi dan Bencana Alam Jangan Bercanda, Segera Bertaubat

Ketika gempa bumi menyapa, ketika bangunan hancur berkeping-keping menjadi tanah, ketika banyak korban luka dan meninggal, pada saat itu semua hendaknya kita semua lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.
Mengingat akhirat, segera bertaubat, bersemangat ibadah, dan tidak tertipu dengan dunia yang fana.
Taubat kepada Allah
Sesungguhnya peristiwa ini akan membuahkan bertambahnya iman seorang mukmin, memperkuat hubungannya dengan Allah.
Dia sadar bahwa musibah-musibah ini tidak lain dan tidak bukan adalah akibat dosa-dosa anak manusia berupa kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan.
Tidaklah terjadi suatu malapetaka melainkan karena dosa, dan malapetaka itu tidak akan dicabut oleh Allah kecuali dengan taubat.
Allah menciptakan berbagai tanda-tanda kekuasaan-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Dia pun menetapkannya untuk menakut-nakuti hamba-Nya.
Dengan tanda-tanda tersebut, Allah mengingatkan kewajiban hamba-hamba-Nya, yang menjadi hak Allah ‘
Allah Ta’ala berfirman,

أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ, أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ, أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?
Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalan naik ketika mereka sedang bermain?
Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)?
Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf ayat 97-99)
Saat terjadi gempa atau bencana lain seperti gerhana, angin ribut dan banjir, hendaklah setiap orang bersegera bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Merendahkan diri kepada-Nya dan memohon keselamatan dari-Nya, memperbanyak dzikir dan istighfar (memohon ampunan pada Allah).
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana bersabda,
Jika kalian melihat gerhana, maka bersegeralah berdzikir kepada Allah, memperbanyak do’a dan bacaan istighfar.” (H.R. Bukhari dalam Al Jumu’ah no. 999 dan Muslim dalam Al Kusuf no. 1518)
Maka tak layak menyebarkan candaan, baik meme gambar guyonan atau kalimat lawakan yang melalaikan dari mengingat Allah (tadzkirah).
Oleh karena itu, wajib bagi setiap kaum muslim agar bertaubat dan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Konsisten di atas agama, serta menjauhi larangan Allah yaitu kesyirikan dan maksiat. Sehingga dengan demikian, mereka akan selamat dari seluruh bahaya di dunia maupun di akhirat.
 
Disadur dari Rumasyo

Shalat Isya, Ini Batas Waktu Akhirnya

Seperti kita ketahui, shalat Isya mempunyai jangka waktu yang lama. Lebih dari 9 jam rata-rata. Pertanyaannya, kapan batas akhir shalat Isya sebenarnya?
Imam Ahmad menyatakan bahwa akhir shalat Isya adalah pada sepertiga malam.
Karena, dalam sebuah hadis tentang Malaikat Jibril disebutkan, bahwa beliau pernah shalat bersama Nabi SAW untuk yang kedua kalinya pada sepertiga malam, sesuai sabda Nabi SAW, “Waktu shalat Isya adalah antara dua waktu ini.”
Juga dalam hadis dari Buraidah disebutkan bahwa, “Nabi SAW mengerjakan shalat Isya pada hari yang kedua hingga memasuki sepertiga malam.”
Demikian pula ‘Aisyah RA menyatakan, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Kerjakanlah Shalat Isya pada waktu terbenamnya awan merah sampai sepertiga malam yang pertama,” (HR Muttafaqun Alaih).
 
Abu Hanifah berbeda pendapat, bahwa akhir waktu shalat Isya itu adalah sampai pertengahan malam saja.
Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, di mana ia bercerita, “Rasulullah SAW mengakhirkan shalat Isya sampai pertengahan malam,” (HR Al-Bukhari).
Dalam hadis lain dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Bahwa Rasulullah telah bersabda: ‘Waktu Shalat Isya itu sampai pertengahan malam’,” (HR Abu Dawud).
Menurut Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Fiqih Wanita Edisi Lengkap menyatakan bahwa,
“Diperbolehkan bagi wanita Muslimah mengakhirkan shalat Isya sampai pertengahan malam, di mana hal itu disebut sebagai waktu darurat yang hukumnya sama seperti waktu darurat dalam shalat Ashar.”
Jadi, diperbolehkannya melaksanakan shalat Isya pada sepertiga malam yang pertama, atau pertengahan malam dan bahkan sampai hampir memasuki waktu fajar adalah apabila benar-benar berada dalam kondisi darurat.
Adapun yang afdhal (lebih utama) adalah mengerjakan tepat pada waktunya untuk menambah pahala dari Allah SWT.
 
Referensi: Fiqih Wanita Edisi Lengkap/ Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah/Pustaka Al-Kautsar/2012
Sumber : inspiradata

Tertinggal Dari Berdiri dan Belum Baca Al Fatihah, Apakah Dianggap Satu Rakaat?

JIKA saya terlambat memasuki shaff pada shalat jama’ah pada saat imam sedang ruku’, lalu saya langsung ikut ruku’ bersamanya, maka apakah yang demikian itu dianggap satu raka’at? Padahal saya juga belum membaca surat Al Fatihah.
Barang siapa yang mendapati imam ruku’, lalu dia ikut ruku’ bersamanya, maka hal itu dianggap satu raka’at menurut jumhur ulama, meskipun ia belum membaca surat Al Fatihah.
Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh imam Bukhori (750) dari Abu Bakrah bahwa dia mendapati Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sedang ruku’, kemudian ia ikut ruku’ bersama Nabi sebelum memasuki shaff, lalu hal itu dilaporkan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau bersabda:
” زادك الله حرصا ولا تعد “.
“Semoga Allah menambahkan keseriusanmu, namun janganlah diulangi.”
Telah diriwayatkan dengan riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
” من لم يدرك الإمام راكعا لم يدرك تلك الركعة ” أخرجه البيهقي ، وصححه الألباني في إرواء الغليل 2/262
“Barang siapa yang tidak mendapati imam dalam keadaan ruku’, maka ia tidak mendapatkan raka’at tersebut,” (HR. Al Baihaqi dan dishahihkan oleh Albani dalam Irwaul Ghalil: 2/262).
Ibnu Umar berkata: “Barang siapa yang mendapati imam sedang ruku’, maka dia ikut ruku’ sebelum imam mengangkat kepalanya, maka dia telah mendapatkan satu rakaat,” (HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Albani dalam Irwaul Ghalil: 2/263).
Disebutkan riwayat yang serupa dari Abu Bakar ash Shiddiq, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Zubair. (Baca Irwaul Ghalil: 2/264)
Imam An Nawawi –rahimahullah- berkata di dalam Al Majmu’ (4/112): “Hal inilah yang telah kami sebutkan tentang kesempurnaan satu raka’at itu dengan mendapatkan ruku’nya imam adalah benar, itulah yang benar menurut Imam Syafi’i.
Demikian juga pernyataan jumhurnya pengikut syafi’i dan jumhur (mayoritas) ulama’, hadits-hadits yang berkaitan dengan itu menjadi jelas dan telah dipraktekkan oleh masyarakat.
Dalam masalah ini terdapat sisi lemah yang mengatakan bahwa tidak dianggap mendapatkan satu raka’at penuh.”
Disebutkan di dalam ‘Aunul Ma’bud (3/102): “Ketahuilah bahwa pendapat jumhur ulama yang mengatakan, barang siapa yang mendapati imam dalam keadaan ruku’ dan ia pun mengikutinya maka hal itu dianggap satu rakaat penuh meskipun tidak mendapatkan bacaan imam.
Sebagian ulama lagi berbeda pendapat bahwa barang siapa yang mendapati imam sedang ruku’ maka tidak dianggap satu raka’at penuh, hal ini merupakan pendapat Abu Hurairah, imam Bukhori meriwayatkan “dalam hal membaca (al Fatihah) di belakang imam dari semua orang yang mewajibkan membaca (al Fatihah) di belakang imam”.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Khuzaimah, Shibghi, dan yang lainnya dari para perawi dari madzhab Syafi’i, dikuatkan oleh Syeikh Taqiyyud Diin As Subki dari kalangan belakangan, dan ditarjih oleh Al Muqbili.”
Pendapat yang rajih adalah madzhab jumhur berdasarkan hadits dan atsar di atas sebelumnya. Wallahu A’lam. Alangkah lebih baik shalat berjamaah tepat waktu sejak takbiratul ihram.
 
Sumber: Islamqa.