0878 8077 4762 [email protected]

Fakta Ilmiah Al Quran Tentang Garis Edar Tata Surya

Matahari, planet, satelit dan benda langit lainnya bergerak dalam garis edarnya masing-masing. Al Qur’an surat Al Anbiya ayat 33 dan surat Yaasin ayat 38, menjelaskan mengenai fakta ilmiah itu dan terbukti kebenaranya.
Banyak ayat dalam Alquran yang menjelaskan tentang alam semesta dan tata surya. Beberapa di antaranya seperti:
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (QS Al Anbiya:33)
“Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS Yaa Siin: 38)
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.” (QS Yaa Siin: 39)
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS Yaa Siin: 40)
Pengamatan astronomi telah membuktikan kebenaran fakta ini.  Menurut ahli astronomi, matahari bergerak sangat cepat dengan kecepatan mencapai 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang dinamakan Solar Apex.
Selain matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan menempuh jarak ini. Semua bintang yang ada di alam semesta juga berada dalam suatu gerakan serupa.

Bagaimana Rasul Bersiwak?

APA itu siwak?
Siwak (atau disebut juga miswak) merupakan kayu dari ranting pohon Aarak atau Peelu, yang lazim terdapat di jazirah Arab.
Nama latinnya: Salvadora Persica. Siwak inilah yang biasa digunakan sebagai sikat gigi sekaligus pasta gigi yang terkenal di jazirah Arab.
Dari Ali ibn Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kami bersiwak: ‘Sesungguhnya seorang hamba jika berdiri menunaikan shalat, malaikat lalu mendatanginya, berdiri di belakangnya mendengar bacaan al-Qur`an dan mendekat. Malaikat terus mendengar dan mendekat sampai ia meletakkan mulutnya di atas mulut hamba tersebut, hingga tidaklah dia membaca satu ayat pun kecuali malaikat berada di rongganya,” (Riwayat Baihaqi).
Hadist lain seputar Keutamaan Bersiwak dijelaskan sebagai berikut,
“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku, tentulah kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu,” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam redaksi lain, Nabi mengucapkan, “Kalau bukan karena akan memberatkan umatku tentulah kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat,” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Keutamaan bersiwak sangat banyak. Bahkan penelitian-penelitian modern menemukan bahwa siwak lebih baik dan alami ketimbang sikat dan pasta gigi yang sekarang beredar luas. Rasulullah SAW pun sangat menyukai bersiwak (menyikat gigi dengan siwak).
Cara Rasulullah SAW bersiwak adalah sebagai berikut:
1. Berdoa sebelum bersiwak.
Salah satu do’a yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah: “Allahumma thahhir bissiwaak Asnaaniy, wa qawwiy bihi Litsaatsiy, wa afshih bihi lisaniy
Artinya “Wahai Allah sucikanlah gigi dan mulutku dengan siwak, dan kuatkanlah Gusi gusiku, dan fashih kan lah lidahku”;
2. Memegang siwak dengan tangan kanan atau tangan kiri (ada perbedaan pendapat tentang hal ini)
Dan meletakkan jari kelingking dan ibu jari di bawah siwak, sedangkan jari manis, jari tengah, dan jari telunjuk diletakkan di atas siwak.
3. Bersiwak dimulai dari jajaran gigi atas-tengah
Lalu atas-kanan, lalu bawah-kanan, lalu bawah-tengah, kemudian atas-tengah, lalu atas-kiri, lalu bawah-kiri. Jadi seperti angka 8 yang ditulis rebah
4. Langkah ke-3 di atas dilakukan 3x putaran;
5. Selesai bersiwak, mengucapkan hamdalah, “Alhamdulillah.
 
Sumber : Pustaka Imam Syafi’i

Ahli Ibadah Diazab, Bagaimana Bisa?

SERINGKALI kita mendengar suatu kisah, bahwa ternyata yang memperoleh azab Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukan hanya orang-orang durhaka saja. Tetapi, ahli ibadah, yang kita kagumi dan hormati juga bisa memperolehnya.
Tapi, bagaimana bisa? Bukankah ia selalu beribadah kepada Allah?
Bahwa ternyata ada beberapa alasan yang menyebabkan ahli ibadah diazab oleh Allah. Apa sajakah itu?
1. Riya’
Sifat pertama yang ternyata mampu menjerumuskan seorang ahli ibadah tetap mendapatkan azab bahkan menjadi penghuni neraka adalah karena mereka riya’.
Jadi semua amalan shaleh yang dilakukannya selama di dunia itu bukan untuk mencari ridha Allah, melainkan dilakukan, karena ingin riya’ (pamer) dan mengharapkan pujian dari manusia.
2. Mengungkit-Ungkit Kebaikan
Sifat selanjutnya yang ternyata mampu menjerumuskan ahli ibadah mendapatkan azab Allah adalah mereka yang mengungkit-ungkit ibadah.
Bahkan orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah dilakukannya akan dijauhkan dari surga dan tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat.
Mengungkit kebaikan juga bisa menyakiti perasaan orang lain yang ditolong dan tentu saja hal ini tidak baik bagi hubungan persaudaraan terhadap sesama.
Oleh karena itu harus dihindari karena dapat menjadi sumber kebangkrutan di hari akhir. Sifat dan karakter ini juga termasuk golongan orang-orang yang munafik.
3. Munafik
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka …” (QS. An Nisaa’ [4]: 142)
Takutlah akan sifat munafik, karena bisa jadi hati kita disusupi karakter munafik ini. Ibnu Abi Malikah pernah mengatakan, “Aku telah menjumpai tiga puluh sahabat Nabi, seluruhnya takut akan nifak.”
Orang munafik cukup sulit dideteksi di kalangan orang beriman, karena mereka ‘menyamar’ sebagai orang beriman, bahkan mereka pun mengerjakan shalat dan merasa diri mereka seorang muslim.
Padahal mereka banyak berbuat kerusakan di muka bumi dan membuat perpecahan di kalangan umat muslim itu sendiri.
 
Sumber : Menjaga Hati, Al Malikiyah

Kelakar dan Canda Rasulullah

 
Suatu ketika melihat seorang sahabatnya sedang naik kuda, Nabi saw menegur, ”Hai, mengapa kaunaiki seekor anak kuda?
Sahabatnya itu terkejut dan menyanggah, “Bukan ya Rasulullah. Kuda saya sudah dewasa. Ini induk kuda, bukan anak  kuda.”
Nabi tertawa, “Bagaimana mungkin? Induk kuda pun anak kuda juga bukan? Apakah anak kucing?”
Sahabat itu terpingkal-pingkal setelah menyadari kebodohannya.
Pada hari yang berbeda beliau melihat seorang sahabat sedang makan kurma dalam keadaan matanya yang sebelah sakit. Nabi bertanya kaget, “Hai, sungguh mengherankan. Bagaimana caranya engkau memakan kurma, padahal matamu yang sebelah sedang sakit?”
Sahabat itu tahu Nabi sedang bercanda. Dengan nada yang sama ia menjawab, “Saya makan dengan mata yang sebelahnya lagi, ya Rasulullah.”
Nabi  memang suka berkelakar  untuk menghidupkan suasana ceria dengan para sahabatnya. Sehingga hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin berlangsung wajar dan tidak kaku.
Pernah Rasulullah terlambat tiba di masjid ketika para sahabat sudah ramai berkumpul. Biasanya Rasulullah sudah berada lebih dahulu di mesjid  sebelum para sahabat berdatangan.
Melihat  Nabi saw muncul di pintu mesjid, para sahabat langsung berdiri untuk menghormati kehadirannya.
Beliau segera mencegah seraya berkata, “Janganlah kalian berdiri menyambut kedatanganku. Aku bukan raja. Aku cuma seorang hamba Allah yang makan dan minum seperti kalian juga.” []
 
Sumber:  30 Kisah Teladan, Aburrahman Ar-Raisi, Penerbit Rosda Karya

Mengapa Syiah Mencambuk Diri di Hari Asyura?

Syiah menganggap bahwa melukai diri untuk mengenang Husain dengan melakukan niyahah, berpakaian hitam, adalah suatu ibadah mulia. Itulah yang didapati pada mereka di hari Asyura tanggal 10 Muharram yang dilakukan di masjid atau tempat ajaran Syiah.
Dalam kitab Syiah sendiri disebutkan,

إن اللطم والتطبير ولبس السواد في عاشوراء والنياحة من أعظم القربات للحسين بل هذه الأفعال من الأعمال الممدوحة

“Sesungguhnya menampar, memainkan pisau ke badan, dan mengenakan pakaian hitam di hari Asyura, juga bentuk niyahah bersedih hati saat itu merupakan di antara bentuk ibadah dalam rangka mengenang Husain.
Bahkan amalan seperti ini termasuk amalan terpuji.” (Lihat: Fatawa Muhammad Kasyif Al Ghitho war Ruhaani wat Tibriziy wa Ghoirihim min Maroji’il Imamiyah)
Syiah Kecewa atas Pembunuhan di Hari Asyura
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Setiap muslim seharusnya bersedih atas terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhu karena ia adalah sayyid-nya (penghulunya) kaum muslimin, ulamanya para sahabat dan anak dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Fathimah yang merupakan puteri terbaik beliau. Husain adalah seorang ahli ibadah, pemberani dan orang yang murah hati.
Akan tetapi kesedihan yang ada janganlah dipertontokan seperti yang dilakukan oleh Syi’ah dengan tidak sabar dan bersedih yang semata-mata dibuat-buat dan dengan tujuan riya’ (cari pujian, tidak ikhlas).
Padahal ‘Ali bin Abi Tholib lebih utama dari Husain. ‘Ali pun mati terbunuh, namun ia tidak diperlakukan dengan dibuatkan ma’tam (hari duka) sebagaimana hari kematian Husain. ‘Ali terbunuh pada hari Jum’at ketika akan pergi shalat Shubuh pada hari ke-17 Ramadhan tahun 40 H.
Begitu pula ‘Utsman, ia lebih utama daripada ‘Ali bin Abi Tholib menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. ‘Utsman terbunuh ketika ia dikepung di rumahnya pada hari tasyriq dari bulan Dzulhijjah pada tahun 36 H. Walaupun demikian, kematian ‘Utsman tidak dijadikan ma’tam (hari duka).
Begitu pula ‘Umar bin Al Khottob, ia lebih utama daripada ‘Utsman dan ‘Ali. Ia mati terbunuh ketika ia sedang shalat Shubuh di mihrab ketika sedang membaca Al Qur’an. Namun, tidak ada yang mengenang hari kematian beliau dengan ma’tam (hari duka).
Begitu pula Abu Bakar Ash Shiddiq, ia lebih utama daripada ‘Umar. Kematiannya tidaklah dijadikan ma’tam (hari duka). Kuat dugaan karena Husain menikah dengan wanita persia Iran. Sehingga lebih dimuliakan oleh ajaran Syiah yang berpusat di Iran.
Hadits berikut pun menjelaskan bahwa yang dilakukan orang Syiah di hari Asyura termasuk kesesatan.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103).
Semoga kita dijauhi dari paham sesat yang melenceng dari ajaran Islam. Sejatinya ritual syiah ini tidak diajarkan Rasulullah dan bukan dalam ajaran Islam. Dan diberikan hidayah bahwa syiah bukanlah termasuk Islam yang benar.

Perlakuan Umar dalam Penggusuran Rumah untuk Perluasan Masjid

Semakin banyaknya masyarakat yang masuk Islam pada masa ketiga tahun Umar bin Khaththab menjabat sebagai Khalifah. Masjid Nabawi senantiasa dipenuhi oleh umat Islam untuk beribadah.
Dengan banyaknya umat Islam yang melaksanakan ibadah di Masjid Nabawi menyebabkan Masjid Nabawi dirasa sempit karena tak kuasa lagi menampung jamaah yang jumlahnya semakin meningkat.
Umar bin Khaththab bermaksud memperluas masjid tersebut. Namun, dia menghadapi kendala dalam pemugaran dan perluasan masjid, karena keberadaan rumah Abbas bin Abdul Muththalib di samping masjid.
Maka, suatu hari, Umar pun menemui paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tersebut. Selepas berbagi sapa beberapa lama dengan Abbas bin Abdul Muththalib, sang khalifah kemudian berucap kepada Abbas,
“Wahai Abbas! Saya pernah mendengar Rasulullah, menjelang wafat, bermaksud akan memperluas masjid Kota Madinah ini. Tapi, rumahmu yang berada di dekat masjid ini menghalangi perluasan tersebut. Karena itu, kini, serahkanlah rumah ini kepada kami, sehingga kami bisa memperluas masjid itu. Kami akan menggantinya dengan lahan yang lebih luas.”
“Tidak, wahai Amirul Mukminin! Saya tidak akan menyerahkannya,” jawab Abbas lugas.
“Kalau begitu, kami terpaksa menggusurnya!” ucap Umar tak kalah lugas.
“Engkau tak berhak melakukan hal itu, wahai Amirul Mukminin!” kata Abbas dengan tegas. “Tetapi, sebaiknya kita tunjuk seseorang yang akan mengadili persoalan kita ini berdasarkan kebenaran.”
“Siapa yang engkau pilih?” tanya sang khalifah.
“Hudzaifah bin Al-Yaman!” jawab Abbas
Mereka berdua kemudian mengundang Hudzaifah bin Al-Yaman yang kala itu menjabat Ketua Mahkamah Agung.
Selepas mendengar penuturan kedua belah pihak, Hudzaifah berucap, “Saya pernah mendengar kisah yang sama dengan ini, suatu saat Daud ‘Alaihi sallam bermaksud akan memperluas Bait Al-Maqdis. Kebetulan dia mendapati sebuah rumah di samping tempat beribadah itu. Rumah itu milik seorang anak yatim. Daud pun meminta izin kepada anak itu untuk menyerahkan rumahnya. Tetapi, anak yatim itu menolak permintaan Daud, hingga Daud bermaksud mengambil rumah itu dengan paksa. Maka Allah mewahyukan kepadanya, “Sungguh, rumah yang paling layak terhindar dari keaniayaan adalah rumah-Ku.” Mendengar wahyu itu, Daud pun membatalkan rencananya dan membiarkan rumah itu seperti sediakala.”
Selepas mendengar uraian Hudzaifah bin Al-Yaman tersebut, Abbas bin Abdul Muththalib pun memandangi Umar bin Khaththab seraya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau masih bermaksud akan mengambil rumah saya ini demi perluasan Masjid Nabawi?”
“Tidak!” jawab Umar dengan tegas.
“Jika demikian, saya akan menyerahkan rumah saya ini kepadamu untuk memperluas masjid itu,” Ucap Abbas.
 
Sumber : JalanSirah