Wali Songo memahami wayang merupakan salah satu cara efektif untuk berdakwah. Wayang bukan hanya salah satu kekayaan budaya nusantara, namun ia juga cara dakwah yang dilakukan Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang saat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Wali Songo menggunakan wayang dengan beberapa perubahan atas wayang beber yang berwujud persis manusia. Namun, perubahan ini tetap mempertimbangkan adat istiadat, serta kebudayaan masyarakat setempat.
Warna agama Hindu dan pemujaan terhadap arca dalam wayang juga dihilangkan dengan mengubah bahan kertas dengan kulit kerbau.
Wujud manusia tetap masih ada, tapi dibuat aneh. Misalnya leher dibuat panjang, gambar wajah dibuat miring, tangan dibuat panjang sampai kaki. Akhirnya, wayang bisa menjadi tontonan menarik, sekaligus disisipi pesan moral dan dakwah Islam.
Penggubahan wayang yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga itu terjadi kira-kira tahun 1443 M. Para Walisongo bahkan menciptakan gamelannya.
Untuk memainkan wayang dan gamelannya itu para Wali Songo mengarang cerita yang bernapaskan nila-nilai keislaman.
Adapun Karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.
Keempat pelaku yang dimunculkan para Wali Songo ini mengandung falsafah yang amat dalam yang merujuk pada bahasa Arab, di antaranya sebagai berikut :
1. Dalang, yang diambil dari kata “Dalla” yang artinya menunjukkan.
Dalam hal ini, seorang “Dalang” adalah seseorang yang “menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang”.
2. Tokoh Semar, yang berasal dari kata “Simaar” yang berarti Paku.
Filosofisnya adalah dimana seseorang harus memiliki iman yang kuat dan kokoh laksana paku yang menancap.
3. Tokoh Petruk, yang berasal dari kata “Fat-ruuk” yang berarti tinggalkan, dimana seseorang harus meninggalkan apa yang disembah selain Allah semata.
3. Tokoh Gareng, yang berasal dari kata “Qariin” yang berarti teman. Seseorang muslim harus pandai mencari teman untuk diajak menuju jalan kebaikan.
4. Tokoh Bagong, yang berasal dari kata “Baghaa) yang berarti berontak. Seseorang muslim harus memberontak ketika melihat kedzaliman di hadapannya.
Sunan kalijaga sering keluar masuk kampung untuk melakukan pagelaran-pagelaran wayang. Beliau melakukan pagelaran tanpa memungut biaya pada penontonnya. Beliau hanya meminta mereka untuk mengucapkan dua kalimat syahadat kepada siapa saja yang menonton pertunjukkan wayangnya.
Beliau memiliki pemikiran bahwa mereka harus didekati secara perlahan. Jadi tujuan utama beliau adalah mengislamkan mereka dahulu, baru kemudian bertahap mengajarkan akidah kepada mereka.
Beliau juga berpendapat ketika seseorang telah memahami Islam, maka secara perlahan kebiasaan yang ada padanya dahulu akan hilang dengan sendirinya.
Selain Wayang Kulit, beliau juga menciptakan tembang suluk yang sangat populer salah satunya adalah Lir-Ilir. Tembang tersebut sarat akan makna tentang hakikat kehidupan dengan liriknya yang indah.
Beliau menciptakan cerita pewayangan versi Islam seperti Jimat Kalimasada dan DewaRuci, yang ceritanya hampir sama dengan kisah Nabi Khidir. Cerita itu masih berbentuk cerita menurut kepercayaan Jawa yang bernuansakan Islami dan dengan corak kehidupannya yang ada. Kalimasada adalah pusaka azimat yang ternyata untuk mengucapkan syahadat. Sehingga semua penontonnya bersyahadat masuk Islam.
Tak hanya itu, Wali Songo juga memberi kelengkapan teknik pakeliran. Misalnya, setiap pergelaran wayang digunakan layar (kelir), pohon pisang guna menancapkan wayang, blencong sebagai penerangan, kotak alat penyimpang wayang dan cempala guna memukul kotak.
Cerita pergelaran memang tetap memakai Ramayana dan Mahabharata. Sebab saat itu masyarakat masih dalam pengaruh kerajaan Hindu-Budha. Namun dalam beberapa bagian, diselipkan unsur dakwah yang mengarah pada tauhid, meskipun dalam bentuk simbol lambang.
Wayang akhirnya sering diundang untuk pentas di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai hajat seperti, tasyakuran, hitanan, perkawinan, dan sebagainya.
Melalui pentas wayang, seorang mubaligh benar-benar merasa dapat menyiarkan agama Islam secara lebih efektif dan mengena. Semua adegan digunakan untuk menyalurkan dakwah, sehingga realitas di lapangan menyebutkan bahwa setelah ditampilkan wayang tersebut banyak pola pikir masyarakat yang berubah.
Misalnya, masyarakat yang semula tidak shalat kemudian menjadi shalat, yang semula tidak mau mengaji, kemudian mau mengaji.
Banyak orang yang malam nonton wayang, siangnya datang memberi tahu bahwa dirinya sekarang sudah shalat. Bukan saja penonton wayang yang jelas-jelas menjadi sasaran dakwah tetapi juga pengrawit.
Sunan Kalijaga dengan jenius menggunakan prinsip dakwah yang multidimensi menjadikan pentas wayang sebagai media yang efektif untuk mendekatkan dan menarik simpati masyarakat terhadap agama.