Dahulu di zaman penjajahan belanda, belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak pemerintah belanda.
Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji.
Bahkan untuk yang satu ini belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan.
Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.
Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, pemerintahan Hindia-Belanda mendirikan tempat karantina jemaah haji. Pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Dengan alasan kamuflase “untuk menjaga kesehatan”, kadang saat ditemukan adanya jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda, diberi suntik mati dengan alasan beragam.
Maka tak jarang banyak yang tidak kembali ke kampung halaman karena di karantina di pulau onrust dan cipir.
Untuk memudahkan pengawasan para jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda memberikan cap (gelar) baru kepada mereka, yaitu “Haji”. Atau ditandai di depan namanya dengan huruf  “H” yang berarti orang tersebut telah naik haji ke mekah.
Memang dari sejarahnya, mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan adalah mereka yang memiliki cap haji. Ironis.. itulah asal usul mengapa di negeri kita untuk mereka yang telah berhaji diberi gelar “haji”.
Gelar haji bagi orang muslim yang pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah naik haji ternyata hanya ada di indonesia dan malaysia.
Dinegara-negara lain tidak ada gelar haji untuk kaum muslimin yang telah melaksanakan ibadah haji tersebut. Gelar haji ini pertama kali dibuat oleh bangsa belanda yang waktu itu sedang menjajah indonesia.
Pemberian gelar tersebut oleh bangsa belanda bukan tanpa maksud, hal ini dikarenakan kebanyakan orang Indonesia yang menjadi penentang belanda pada waktu itu yang berani mengajak masyarakat untuk melawan belanda adalah orang-orang yang baru pulang dari mekkah tersebut
Oleh karena itu belanda menandai orang-orang tersebut dengan huruf  “H” di depan namanya, untuk memudahkan mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakan.
Tetapi mengapa di zaman sekarang seringkali gelar haji itu menjadi seperti kebanggaan dan pembanding orang yang sudah mampu pergi haji dengan yang belum
Bahkan ada beberapa orang yang apabila tidak dipanggil pak haji atau bu haji mereka marah. Harusnya orang yang sudah pernah naik haji bisa merubah semua sifat buruk sewaktu ia belum naik haji menjadi kebaikan.
 
Sumber : History of Hajj/Kemenag

X