MERDEKA merupakan suatu anugerah dari Allah kepada manusia. Kita sebagai bangsa Indonesia yang negeri telah sah merdeka dengan ditandai sebuah proklamasi kemerdekaan, adalah nikmat yang harus disyukuri.
Sebab tidak semua negara merasakan sebagaimana kita rasakan. Seperti Palestina. Negara yang masuk pada wilayah Syam itu telah lama menjadi bulan-bulanan Israel yang tak punya sifat manusiawi.
Berpuluh tahun tetesan darah tumpah demi memperebutkan tanah yang Allah berkahi itu. Negara-negara lainnya pun masih dalam keseteruan panjang.
Jika dipandang dari sisi rasa aman, kondisi mereka belum merdeka. Keamanan seakan dicabut pada hati para penghuninya. Tapi kalau dilihat dari sisi Islam, bisa jadi mereka adalah orang yang merdeka. Lalu seperti apa merdeka dalam pandang Islam?
Merdeka, seperti yang dikatakan oleh salah seorang Ulama, “Keberadaan manusia sebagai hamba Allah baik dari sudut penciptaan, perasaan maupun akhlaq.”
Maknanya bahwa seorang muslim hakekatnya tidak merdeka ketika belum berusaha melepas diri dari belenggu penghambaan kepada selain Allah.
Keberadaan diri sebagai makhluk yang ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan, tentu bakal menjadi asfalas safilin, menjadi orang yang hina-dina saat merasa nyaman dalam lingkaran penghambaan selain-Nya.
Mudah ditemukan orang yang telah biasa berharap banyak kepada manusia. Padahal bila berharap kepada makhluk tentu sering kecewa. Karena manusia memiliki kelemahan dan kekurangan.
Tak hanya itu saja. Seringkali manusia dalam suatu urusan, rasanya sulit untuk melibatkan Allah. Padahal Dialah yang Maha Berkehendak pada segala rencana manusia.
Hal seperti itu akhirnya dipandu pada sikap praduga belaka, nasib baik dan buruk seseorang. Bukan lagi diatas landasan keyakinan penuh kepada-Nya, bahwa apa yang telah terjadi pasti mengandung hikmah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai penyampai kabar gembira sekaligus peringatan, telah memutus rantai penghambaan kepada selain Allah ta’ala. Apa yang beliau dakwahkan merupakan estafet para nabi yang telah disampaikan kepada setiap umat.
Seruannya berbentuk ajakan agar menyembah Allah dan menjauhi thagut. Menetapkan Allah sebagai Rabb yang berhak diibadahi dan meniadakan segala sekutu bagi-Nya.
Hal ini pula sebagaimana yang disampaikan Rib’iy bin Amir, saat di utus Oleh khalifah Umar bin Khattab ke salah satu negara adidaya, Persia. Dengan gagahnya, utusan Khalifah ini berkata didepan panglima persia Rustum, “
ابتعثنا الله لنخرج الناس من عبادة العباد لعبادة الله وحده
“Kami (umat Islam) diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama hamba untuk menghamba kepada Allah semata.”
Maka, suatu prestasi yang gemilang dengan melihat generasi terbaik. Suatu bibit yang tumbuh dibawah naungan wahyu ilahi, yaitu jaman Rasulullah dan para sahabat.
Generasi yang sampai disebut sebagai Khoirul Ummah, melihat semua manusia yang berdiri dalam penghambaan kepada manusia, berubah begitu kerdil dimata mereka.
Sebab hati mereka telah terpaut kepada Dzat yang tidak pernah berhenti mengawasi hambanya. Yang menjadikan hati hamba-Nya merdeka dari segala penghambaan kepada yang fana dan nista.
Mereka adalah generasi merdeka. Jiwa dan raga bebas dari segala bentuk kekangan yang membuat terpenjara pada sikap bergantung pada selain-nya.
Merekapun telah berhasil merdeka dari belitan nafsu yang tidak pernah berhenti menyerang. Mereka tundukkan sebagaimana penunggang kuda telah menguasai kudanya.
Jadi, kemerdekaan adalah suatu keniscayaan saat kita berusaha membuang seluruh penghambaan kepada manusia, dan termasuk penghambaan pada nafsu kita.
Mari, jadikan totalitas kemerdekaan dengan menjadi hamba yang hanya bergantung penuh kepada-Nya. Wallahu a’lam.
Oleh: Rohmat Saputra
Anggota Kelas Menulis Islampos