Oleh: Adi Setiawan, Lc., MEI.
Imam Qurtubi dalam tafsirnya mengisahkan bahwa pemimpin kaum Tsaqif, Khaza’ah, dan Bani Mudlaj mengharamkan atas kaumnya untuk menikmati rezeki berupa hidangan dari hewan ternak dan hasil kebun mereka sendiri.
Kemudian Allah SWT meluruskan hal ini lewat firman-Nya, “Wahai manusia! Makanlah yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 168).
Menurut Imam Malik, tayyiban (baik) dalam ayat bermakna dan berfungsi sebagai ta’kid (penguat) dari kata halal itu sendiri. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, jika halal adalah zatnya maka tayyiban adalah rasanya, yaitu rasa yang nikmat.
Inilah dasar dari perintah Allah SWT agar manusia semuanya bekerja, mencari rezeki. Dan kemudian dengan bekerja dia mampu memenuhi diantara kebutuhan pokoknya berupa makanan. Sehingga selama makanan itu halal dan baik bagi manusia, tidak ada yang berhak mengharamkannya kecuali telah ada ketetapan khusus dari Allah SWT.
Rasulullah SAW pun menguatkan umatnya. Dari Umar bin Khattab dari Nabi SAW bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal. Pasti Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Di saat ia berangkat di pagi hari perutnya masih kosong. Dan ketika ia kembali ke sarangnya di sore hari perutnya sudah kenyang.” ( HR. Ahmad).
Allah SWT Ar-Rozzaq menjamin rezekinya burung. Maka sebagaimana Ia memberi rezeki kepada burung, begitu pula Ia akan memberi kita rezeki. Bahkan rezeki kita telah ditetapkan sebelum kita dilahirkan, saat kita masih berada dalam kandungan ibu kita.
Yang perlu disadari, kita tidak akan meninggal dunia kecuali Allah SWT telah cukupkan rezeki kita. Rasulullah SAW bersabda, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam gengaman tangan-Nya, Tidak akan meninggal setiap jiwa (manusia) sebelum sempurna jatah rezekinya. Bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik. Jangan sampai karena rezeki kalian datangnya lambat, membuat kalian mencarinya dengan cara tidak taat kepada Allah (cara yang haram). Sebab apa (rezeki) yang ada pada Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya. Pena-pena (pencatat takdir) telah diangkat dan kertasnya pun telah kering (takdir telah ditetapkan)”. (HR. Tabrani).
Ketika kita telah memiliki berbagai rezeki. Satu hal yang perlu diingat yaitu ancaman Allah SWT untuk mereka yang tidak mau berbagi dan cenderung lupa diri. Firman-Nya, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira bagi mereka, bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih. (QS. At Taubah: 34).
Jika ingin introspeksi diri apakah kita berpotensi mendapat ancaman Allah ini, perhatikan komentar Imam Qurtubi, bahwa ada dua ciri Al-Kaniz (penyimpan harta) yang cenderung ingin mempertahankan hartanya selamanya, yaitu mereka adalah orang-orang yang menolak untuk berzakat dan selalu menahan hartanya, mereka enggan mengulirkan hartanya tersebut kepada yang lain.
Mereka menyimpan harta dengan harapan agar hartanya bertambah namun Allah SWT menyangkal usaha mereka tersebut. Firman-Nya, “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) (QS. Ar Ruum: 39).
Ayat ini menerangkan bahwa justru semua harta yang dikeluarkan sesuai dengan aturan Allah SWT dan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, akan dilipatgandakan pahala dan balasannya di dunia maupun di akhirat. Dan sebaliknya Allah SWT tidak akan menambahkan keridhaan-Nya kepada harta riba walaupun secara nominal ada kemungkinan lebih banyak mendapatkan tambahan.
Namun karena tidak diridhai Allah SWT harta tersebut akan terasa tidak pernah cukup bagi para pemiliknya. Tercukupinya seluruh kebutuhan menjadi tanda kekayaan seseorang yang sesungguhnya. Bisa dicukupi dengan harta yang dimilikinya sendiri, bisa juga dicukupi dengan harta yang dimiliki oleh orang lain yang digerakkan oleh Allah SWT untuk mencukupi kebutuhan kita atau bisa juga dengan rasa kecukupan yang diberikan Allah SWT atas segala rezeki sehingga tidak pernah merasa kekurangan.
Waallahu A’lam.