Kasus penistaan terhadap Alquran belakangan ini menjadi isu yang ramai dibicarakan oleh banyak pihak. Bukan hanya oleh umat Islam di Indonesia, tetapi juga mendapat perhatian masyarakat internasional. Terbukti untuk aksi  4 november yang lalu  terdapat sejumlah wartawan internasional yang datang meliput.
Tentu peristiwa ini memberikan banyak hikmah. Salah satu hikmah  yang terpenting adalah ini menjadi cara Allah agar umat  kembali memberikan perhatian kepada Alquran; sebagai kitab suci dan  mulia yang Allah turunkan kepada seluruh manusia.
Dengan demikian pada  saat yang sama semoga hal tersebut menjadi tanda kebangkitan Islam di Indonesia. Pasalnya, kemuliaan, kebangkitan, dan kejayaan Islam selalu dimulai dengan kesadaran untuk kembali kepada Alquran. Nabi saw bersabda,
“Dengan kitab suci  Alquran Allah muliakan sejumlah kaum dan dengan kitab suci Alquran pula Allah hinakan mereka.” (HR Muslim, Ahmad, Ibn Majah, ad-Darimi).
Artinya selama mereka berpegang dan kembali pada Alquran, Allah akan muliakan. Namun  sebaliknya, kejatuhan dan kehinaan umat adalah ketika mereka berpaling dari kitab suci-Nya.
Dalam sejarah, masyarakat Arab,  sebelum tersentuh dengan Alquran,  mereka merupakan komunitas jahiliyah yang jauh tertinggal, buta huruf,, dan terbelakang. Namun berkat Alquran yang terus ditanamkan dan diajarkan oleh Rasul saw sejak awal kenabian,, dalam waktu singkat, mereka berubah menjadi umat terbaik.
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia: menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS Ali-Imran (3) ayat: 110)
Tentu saja sikap kembali kepada Alquran   tidak berhenti pada sekedar melakukan demo dan unjuk rasa membela Alquran. Namun kembali kepada Alquran harus terwujud dalam sejumlah amaliyah yang komprehensif seperti yang pernah diajarkan oleh Nabi saw.
Yaitu  pertama dengan membacanya. Inilah interaksi pertama yang seharusnya ditunjukkan umat Islam terhadap Alquran.  Pada masa sekarang ini  posisi Alquran kerapkali tergantikan oleh buku, koran, majalah, televisi, dan terutama media sosial. Akhirnya tidak ada waktu untuk membuka dan membaca Alquran meski hanya beberapa menit dari dua puluh empat jam sehari.
Maka, saatnya kita harus menyadari bahwa Alquranlah yang  harus menjadi bacaan pertama dan utama  kita sebelum yang lain.
Sesibuk apapun sahabat, Rasul saw mendorong mereka untuk membaca Alquran. Sehingga  tiada hari tanpa bersamanya. Entah di waktu pagi, siang maupun petang.
Membaca Alquran  mendatangkan banyak kebaikan. Ia mendatangkan  pahala, mendatangkan ketenangan, kelapangan, dan keberkahan, serta keselamatan dunia dan akhirat. Rasul saw bersabda:
“Bacalah Al Qur’an! Sebab Alquran akan datang pada hari kiamat dengan memberikan syafaat kepada pembacanya.”
Kedua adalah  memahaminya. Alquran adalah kitab petunjuk (lihat di antaranya  QS al-Baqarah:2).Karena itu sebagai petunjuk ia tidak hanya cukup dibaca, tapi juga harus harus ditelaah dan dipelajari secara benar agar tidak salah dan tidak tersesat.
Hanya saja bagaimana caranya agar kita bisa  memahami Alquran secara  benar sepeninggal Nabi saw? Caranya adalah dengan merujuk kepada pelanjut dan pewaris Nabi saw. Yaitu para ulama (ahli tafsir) yang memiliki integritas keilmuan dan moral;  yang ilmu mereka  mengantarkan pada rasa  takut kepada Allah.
“Yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Fatir (35) ayat: 28)
Bila tidak merujuk kepada ulama semacam itu, umat akan disesatkan oleh para ulama su yang menafsirkan Alquran sesuai akal, nafsu, dan kepentingan. Apalagi di zaman sekarang.  Misalnya saat menafsirkan surat al-Maidah 51 yang sedang ramai diperbincangkan.
Para ahli tafsir dan fukaha sepakat bahwa ayat tersebut berisi larangan memberikan loyalitas kepada non-muslim, mulai dari  menjadikannya sebagai sahabat setia, orang kepercayaan, dan puncaknya sebagai  pemimpin.
Namun belakangan muncul  ulama “nyeleneh” yang  menafsirkan sesuai kepentingan. Ayat 51 dari surat al-Maidah itu diartikan dengan arti yang keluar dari mainstream para mufassir. Tidak aneh, karena sebelumnya mereka juga pernah mengatakan jilbab tidak wajib, pernikahan sejenis boleh, khamar tidak haram selama tidak memabukkan, dan riba  dibolehkan selama tidak berlipat ganda.
Tentu ulama yang semacam ini tidak bisa menjadi rujukan dalam memahami Alquran.
Ketiga, mengamalkan Alquran dalam  seluruh aspek kehidupan. Tidak hanya dalam berpolitik, tapi juga dalam berbisnis, dalam bermuamalah, dalam berkeluarga, dalam berbicara, dalam melakukan antivitas apa saja, hendaknya dihiasi dengan nilai-nilai Alquran.
Itulah yg membuat muslim tampil sebagai sosok yang indah, yang menjadi rahmat bagi semua alam. Karena dalam Alquran, setiap muslim dituntut untuk taat dan menunjukkan akhlak. Sehingga meski tidak boleh mengangkat pemimpin non-muslim misalnya, kita tetap diperintah untuk berbuat baik dan menunjukkan akhlak kepada mereka selama mereka tidak memerangi dan berbuat aniaya.
Keempat: mendakwahkan dan mengajarkan Alquran. Ini menjadi tugas setiap muslim, khusunya para dai dan ulama agar umat tidak “gagap” dan tidak tersesatkan oleh pihak-pihak  yang mempunya kepentingan dunia. Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.”
Wallahu a’lam