Seperti yang dilakukan Umar bin Khattab ketika bergunung-gunung harta Kemaharajaan Persia kilau kemilau berhasil didapat kaum muslimin dan memenuhi kota Madinah.
Semua mengucap selamat dan doa-doa indah atas keberkahannya menggelorakan jihad, meninggikan kalimat Allah, memakmurkan muslimin. Tetapi dipojok sana, sang Khalifah menangis tersedu-sedu. Dihamparan intan, emas, dan segala benda mewah, air matanya tumpah.
“Mengapa kau menangis, hai Amirul Mukminin?” tanya seorang sahabat, “bukankah Allah telah bukakan keberkahan langit dan bumi bagi ummat ini melalui tanganmu?”
Maka Umar mendongak dengan mata memerah dan pipi basah, “Dusta, Demi Allah ini Dusta! Demi Allah bukan begitu! Sebab andai semua ini kebaikan,” ujarnya menunjuk tumpukan berlian dan mas kencana, “mengapa ia tak terjadi di zaman Abu Bakar, juga tidak di zaman Rasulullah? Maka demi Allah, ini semua pasti bukan puncak kebaikan!”
Sungguh pandangan jernih. Harta berlimpah itu bukan kebaikan. Sebab jika ia kebaikan harusnya terjadi pada orang terbaik.
Sedangkan sabda Nabi adalah benar, “Sebaik-baik kurun adalah masaku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang mengikutinya.” HR. Bukhari-Muslim
Maka adakah hari ini kita menimbang kebaikan yang melimpahi dengan ukuran orang-orang terbaik soal rezeki, ibadah dan dakwah?
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media