Khalifah saat itu menerapkan kebijakan dalam mengatasi kelangkaan pangan dengan memanfaatkan negara agraris secara optimal. Diantaranya pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian.
Keberadaan diwan ‘atho (biro subsidi) dalam baitul mal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani menjadi prioritas pengeluaran baitul mal.
Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk; baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dsb; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb, sehingga arus distribusi lancar.
Islam mengajarkan memanfaatkan segala lahan produktif. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil” (HR. Bukhari).
Islam melarang menimbun dengan menahan stok barang agar harganya naik. Abu Umamah al-Bahili berkata: “Rasulullah SAW melarang penimbunan makanan” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).  Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia harus mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar sesuai kebutuhan.
Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang baik dari daerah lain.
Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khatab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Mereka hampir binasa.”
Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan ‘Amru dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Mekah (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).
Ibn Syabbah meriwayatkan dari Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya bahwa Khalifah Umar Ra memerintahkan ‘Amr bin ‘Ash untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik” (Lihat: Akhbârul-Madînah, Karya Abu Zaid Umar Ibnu Syabbh, Juz 2, hal 745).
Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Khalifah Umar Ra memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah.  (Lihat Târîkhul Umam wal Muluk, Karya Imam ath-Thobariy, Juz 4, hal. 100).
Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dan masih memperhatikan produk dalam negeri. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah SWT berfirman:“Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba (TQS Al-Baqarah: 275).
Demikianlah sekilas bagaimana syariah Islam mengatasi masalah pangan.  Masih banyak hukum-hukum syariah lainnya, yang bila diterapkan secara kaffah niscaya kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan.
Wallâhua’lam bi ash-shawâb