Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap pekerjaan, dan buruh yang bekerja serta mendapatkan penghasilan dengan tenaganya sendiri wajib dihormati. Karena dalam perspektif Islam, bekerja merupakan kewajiban mulia bagi setiap manusia agar dapat hidup layak dan terhormat. Bahkan kedudukan buruh dalam Islam menempati posisi terhormat.
Rasulullah saw pernah menjabat tangan seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya dan berkata: “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari).
Tolak ukur pekerjaan dalam Islam adalah kualitas dari hasil kerja tersebut, maka buruh yang baik adalah buruh yang meningkatkan kualitas kerjanya, sebagaimana firman Allah Swt: “Dan masing-masing orang memperoleh derajatnya dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. al-An’am: 132).
Mengingat pentingnya kualitas kerja ini, Rasulullah saw menyatakan dalam satu hadis: “Sesungguhnya Allah senang bila salah seorang dari kamu meninggikan kualitas kerjanya.” (HR. Baihaqi).
Dalam memandu hubungan pengusaha dan buruh, Islam memiliki prinsip muswah (kesetaraan) dan ‘adlah (keadilan). Dengan prinsip kesetaraan menempatkan pengusaha dan pekerja pada kedudukan yang sama, yaitu saling membutuhkan.
Di satu pihak buruh membutuhkan upah dan di pihak lain pengusaha membutuhkan tenaga, maka pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan. Termasuk hak ibadah para buruh untuk beribadah sesuai kepercayaan.
Firman Allah Swt: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat: 13).
Semua manusia, apakah dia buruh atau pengusaha adalah sama sebagai hamba Allah. Maka hak dan kewajiban diantara keduanya juga sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Pemenuhan hak-hak buruh bukan berarti mengurangi kewajiban buruh dalam melaksanakan pekerjaan secara sungguh-sungguh, sesuai dengan perjanjian kerja. Karena itu Islam sangat menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan para majikan untuk memberikan gaji pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun.
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani).
Islam juga memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantunya atau pegawainya.
Dalam hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan, bahwa Allah berfirman:
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ… وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
“Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442)
Islam tidak hanya memberikan jaminan terhadap hak-hak buruh, tetapi juga menjamin hak-hak pengusaha. Karena itu kesepakatan atau perjanjian kerja dianggap sebagai sumpah yang harus ditunaikan oleh kedua belah pihak.
Selain itu Islam memiliki prinsip keadilan (‘adlah), merupakan prinsip yang ideal dalam konsep perburuhan.
Dengan prinsip ini akan menempatkan kedua belah pihak, baik buruh maupun majikan, untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama dan memenuhi kewajibannya.
Firman Allah Swt: “…dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177).
Diolah dari tulisan : Drs. Fauzi Abubakar, M.Kom.I (Magister Komunikasi Islam), Dosen STIKes Muhammadiyah, Lhokseumawe