Latar belakang historis sebuah peristiwa hijrah adalah gerakan perpindahan dari kota Makkah ke kota Madinah dalam rangka mempertahankan aqidah.
“Ketika umat belum memiliki kekuatan untuk dapat mempertahankan pendirian atau keimanan, maka hijrah adalah merupakan strategi Rasulullah dalam melaksanakan risalah dakwah,” ujar Ketua Bidang Sarana, Hukum, dan Wakaf Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI) Natsir Zubaidi.
Secara historis, kata dia, ada dua hal yang menjadi momentum tepat Rasulullah melakukan Hijrah.
Pertama, adanya baiat aqobah kubro yaitu pertemuan antara Mukimin di Yathrib (kini bernama Madinah) dengan orang-orang Makkah yang menjadi pengiktut setia Rasulullah SAW.
Pertemuan itu berlangsung dalam suasana rasa ukhuwah, solidaritas sehidup semati dalam memperjuangkan Islam dan umat.
Bahkan Rasulullah SAW bersabda secara lugas kepada umat hadir pada saat itu,
“Darah kalian adalah darahku, kehancuran kalian adalah kehancuranku juga. Aku adalah bagian dari kalian, dan kalian adalah bagian dariku. Aku akan memerangi orang yang kalian perangi dan melakukan perdamaian dengan orang yang kalian adakan perdamaian dengannya.”
Di lain pihak, para elit Quraisy khawatir terhadap pengaruh Rasulullah yang mampu menyampaikan kebenaran ajaran agama Islam. Mereka mulai merasa gerah dan mengadakan pertemuan pleno di Darun Nadwah.
Mereka pun memutuskan untuk memblokade gerak Nabi dan para pengikut setianya, bahkan ingin membunuhnya.
Rasulullah SAW akhirnya meninggalkan rumah beliau pada malam 27 Shafar (12 atau 13 September 622 Masehi).
Natsir mengatakan, cara memaknai hijrah yang dilakukan Rasul dan pengikutnya bukan tanpa perhitungan yang matang.
“Tetapi dipersiapkan para sahabat Anshar yag siap mengakomodasi di tanah tujuan (Madinah), dan orang Makkah (sahabat Muhajirin) juga sudah mempersiapkan mental untuk hidup di wilayah baru,” kata dia.
Peristiwa baiat aqobah kubro adalah sebuah proses seleksi pengikut Rasulullah untuk dipersiapkan dalam memperjuangkan risalah dakwah.
Para pengikut Rasulullah (baik pemukim maupun pendatang) sudah mempersiapkan diri dengan mentalitas ukhuwah, solidaritas, sehidup semati, menginfaqkan hartanya secara ikhlas demi kejayaan Islam.
Menurut Natsir, dalam konteks kekinian, pergantian tahun baru hijriyah (1437/1438) harus juga dimaknai perlunya umat Islam memiliki jiwa dan semangat mengutamakan ukhuwah Islamiyah.
Tak hanya itu, umat Islam harus juga mempunyai solidaritas sosial, loyalitas yang istiqamah kepada Allah, Rasulullah dan pemimpin umat serta kesediaan diri untuk berdakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam kerangka NKRI.
 
Sumber : Republika
Oleh :  Ustad Nasir Zubaidi, Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI)