Berseminya dakwah di Indonesia abad 15 tertuang dalam lagu ilir-ilir yang diciptakan Sunan Kalijaga. Kata Sunan Kalijaga, lir-ilir tandure wus similir, apa yang ditanam telah tumbuh. Benih-benih Islam itu telah mencuat jadi tunas-tunas indah.
Lanjut senandung Sunan Kalijaga, Tak ijo royo-royo, menghijau menyejukkan, menyegarkan, memudakan. Warna surgawi memfirdauskan bumi.
Tak sengguh temanten anyar, umpama Sunan Kalijaga. Bagai pengantin baru, dakwah ini tampan-cantik, raja-ratu sehari yang orang berebut melayani.
Cah angon-cah angon, panggil Sunan Kalijaga. Wahai gembala-gembala, wahai dia yang membimbing umatnya.
Penekno blimbing kuwi, pinta Sunan Kalijaga. Panjatlah pohon belimbing itu, ambillah aqabah; jalan yang mendaki sulit seperti Nabi.
Lunyu-lunyu penekno, bujuk Sunan Kalijaga. Walau licin, walau terjal, tetaplah mendaki; membebas budak, merawat yatim, menyantun fakir miskin.
Kanggo masuh dodotiro, jelas Sunan Kalijaga. Untuk basuh pakaianmu yang bernoda masa lalu, untuk tebus khilafmu yang membelenggu jiwa sendu.
Dodotiro, dodotiro, kumitir bedah ing pinggir, tunjuk Sunan Kalijaga. Pakaianmu itu terkoyak sobek di tepian. Amalmu cacat, iman berlubang.
Dondomono, lumatono, saran Sunan Kalijaga. Jahitlah, sulamlah, tambalah. Dengan mengikuti setiap buruk terlanjur dengan kebaikan bertubi.
Kanggo sebo mengko sore, nasihat Sunan Kalijaga. Untuk menghadap Allah kelak nanti. Untuk memantaskan diri dihadapan Rabbul Izzati.
Mumpung padang rembulane, pesan Sunan Kalijaga. Mumpung purnama itu sang candra, cahaya menyinar jalan, terang membimbing langkah.
Mumpung jembar kalangane, kata Sunan Kalijaga. Mumpung luas medan dihadapan. Telah menyingkir alang perintang. Telah pergi tiran penentang.
Dhasuraka, surak hiyo, ajak Sunan Kalijaga. Mari bersorak menegaskan kemenangan dakwah. Teruslah berkarya tanpa lelah, tanpa lengah.