Bersyukur itu melatih ketakjuban. Jika berhasil menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, yang besar akan lebih dahsyat. Kita mengucapkan terima kasih atas apa yang kita terima. Jika tak bisa berterimakasih kepada manusia, takkan utuh mensyukuri Allah.
Dalam ketakjuban kala membaca ayat dan ciptaan-Nya, terukir jalan untuk membuat terobosan mashlahat bagi umat manusia. Kata “Alhamdulillah” menjadi fadhilah nikmat atas karunia-Nya.
Dalam “lillah” (berjuang dijalan Allah) pasti ada lelah. Tetapi beserta kesulitan ada kemudahan, dan nikmatnya rehat tak diperoleh dengan bersantai. Ada galau yang membuat berdzikir. Damai yang membuat berpikir. Tafakur yang membuat tak kikir. Semua ada hikmahnya.
Bersyukur menyibak kabut. Ia menuntun ke jalan-jalan kebaikan yang kadang tersembunyi dibalik kesulitan-kesulitan menghadang.
Walaupun tidak ada penghargaan orang atas kebaikan yang kita lakukan, tetaplah syukuri berlipat. Mungkin Allah hendak menyempurnakan balasan.
Selalu ada hal untuk disyukuri. Maka selalu juga ada peluang untuk karunia-Nya ditambah berlipat kali.
Ada dua rabun dekat yang paling gawat : tak mau menginsyafi aib diri, dan tak mampu melihat nikmat yang berlimpah untuk disyukuri.
Dan terhadap nikmat Rabbmu, unjukkanlah ungkapan syukur. Dunia sudah menderita, jangan bebani dengan keluh kesah kita. Dunia merupakan tempat menikmati hal yang penting, bukan mementingkan yang nikmat.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media