Jakarta – Gempa 7 skala Richter (SR) mengguncang Pulau Seribu Masjid, Lombok. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan penjelasan perihal tindakan yang harus diambil orang yang sedang shalat saat masjid atau tempatnya bernaung diguncang gempa.
Sejumlah masjid ikut terguncang dan mengalami kerusakan akibat gempa pada Minggu (5/8) malam kemarin. Masjid Al-Ihsan di Desa Meninting, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat, adalah salah satu masjid yang mengalami kerusakan akibat gempa. Menara masjid ini roboh.
Ada pula masjid di Desa Lading Lading, Tanjung, Lombok Utara, yang roboh. Sekitar dua hingga tiga shaf jemaah dikabarkan menjadi korban saat mereka sedang menunaikan shalat isya.
Ada pula video viral dari Pulau Bali, pulau sebelah barat Lombok, yang menunjukkan seorang imam tetap khusyuk saat gempa mengguncang Musala As-Syuhada, Denpasar.
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi menjelaskan, ketika seorang muslim telah memulai shalat dengan takbiratul ihram, dia tidak boleh atau haram hukumnya membatalkan salat, kecuali karena ada halangan yang membolehkannya membatalkan salat.
Bagaimana bila seseorang sedang shalat kemudian gempa mengguncang? Haruskah dia membatalkan salatnya dan pergi menyelamatkan diri? Atau haruskah dia tetap teguh bertahan meski membahayakan diri sendiri?
Jawabannya, orang itu wajib membatalkan salatnya supaya selamat dari bahaya.
“Sebagian besar ulama memfatwakan wajib membatalkan shalat pada sebagian keadaan, seperti saat menolong yang sedang kena musibah, menyelamatkan yang tenggelam, gempa, memadamkan api, atau membatalkan shalat karena untuk menyelamatkan anak kecil atau orang buta yang akan tercebur sumur atau kobaran api,” kata Zainut, Senin (6/8/2018).
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi mengungkapkan berdasarkan pendapat sebagian besar ulama yang didasari sunah Nabi Muhammad SAW, lantas menjelaskan 3 hal yang membolehkan seseorang membatalkan salatnya. Disimpulkan 3 hal kekhawatiran orang boleh membatalkan shalatnya adalah:

  1. Kekhawatiran terhadap keselamatan diri sendiri, misalnya karena ada serangan manusia atau binatang atau karena gempa, atau bencana lainnya.
  2. Kekhawatiran terhadap keselamatan harta, misalnya ada orang yang mengambil barang kita.
  3. Menyelamatkan orang lain yang butuh pertolongan segera. Misalnya, seorang dokter diminta melakukan tindakan darurat terhadap pasien.

Ada pula kondisi yang dianjurkan bagi umat Islam untuk membatalkan shalatnya, yakni saat ada keinginan buang angin.
Bila sudah buang angin, tentu saja shalatnya sudah batal. Bila ada hal yang mengganggu kekhusyukan seperti itu, shalat dianjurkan untuk dibatalkan.
“Jadi pada prinsipnya orang tidak boleh membatalkan shalat, kecuali karena ada uzur syari, yaitu berkaitan dengan keselamatan diri sendiri, harta, atau orang lain, dan terkait kekhusyukan salat, seperti membatalkan shalat karena keinginan untuk buang hajat atau berhadas,” tutur Zainut.

X