Seorang muslim dalam iman bersikap “adzillah” kepada sesama muslim dengan berbening sangka, berlembut hati, berlapang dada, dan bersopan dada.
Seorang muslim bersikap “a’izzah” dengan menunjukkan kemuliaan dan ketinggian pada yang kafir. Cara terbaiknya dengan akhlak mulia kepada yang kafir.
Imannya seorang muslim adalah membenarkan dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan membuktikan dengan kerja anggota badan. Tetapi seringkali manusia dihati bersembunyi, lisan bisa berdusta, amal bisa dipura-pura.
Maka Rasul-Nya mengisyaratkan : ukuran iman bukan disitu. Iman si muslim banyak ditimbangkan pada kualitas hubungan yang dibangun dengan sesama.
Ingat Nabi Ibrahim ketika meminta mukjizat yang mati dihidupkan. Allah tuntun dia menuju ketenangan lewat usaha amalnya. Bukan secara tiba-tiba memunculkan tulang belulang dari tanah, bungkus daging, lalu bungkus kulit.
Tetapi Ibrahim as harus bersipayah tangkap burung, cincang dagingnya, lalu naik-turun gunung letakkan potongan, Ibrahim as kembali ke tempat semula, dan panggil agar burung itu datang.
Kisah Ibrahim itu menunjukkan amal menjemput keajaiban lebih kokoh dalam mengikat keimanan, dibandingkan keajaiban langsung membelakkan mata.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media